Kembang Ungu Di Halaman Mess

Di Sebuah senja yang usang.senja yang tua, capung itu berkeliaran.
Seolah hendak menemaniku yang saat itu hanya duduk terpaku di bangku, di bawah pohon rambutan,
dan diantara kaktus, bunga krisan, mawar dan beberapa tumbuhan pekarangan lainnya.
Sebuah buku catatan, kamera digital, laptop, pena bertinta emas, kuas, dan sebuah kanvas tergeletak di beranda. Entah, hendak apa aku dengan semua itu.

Ah, lama-lama aku jengah. Terhadap senja, terhadap burung kakak tua yang terkurung didepanku, dan terhadap apa-apa yang ada disekelilingku ketika itu.
Menulis ataupun melukis, aku belum hendak.
Apalagi berkutat dengan laptop atau mencatat di buku agenda bersampul coklat itu. Aku tak mau.
Seolah telah kurapal bahasa yang dulu pernah kudengar dari seorang yang namanya tak sempat kukenal,
 ” Tak usahlah kau menunggu sebuah moment besar itu datang, sebab saat kau berkutat dengan itu, kau akan kehilangan momen-momen kecil yang sebenarnya bisa lebih berkesan..

Ah, Kuraih kamera digital. Memilih mengabadikan gambar di sekitar area mess perkebunan.
Sebuah ayunan tua di samping beranda, pucuk-pucuk bunga pohon pepaya, daun-daun kemangi,kumpulan kuncup krisan, dan tangkai-tangkai kembang ungu depan mess telah kuabadikan.
Ya, momen besar yang kutunggu adalah melihat bintang-bintang dan purnama sebuah bulan di mess perkebunan yang selama sebulan sudah kutinggali. Tapi seakan itu tak mungkin, sebab tengah hari tadi, cuaca tak mendukung. Sangat mendung. Maka sudah kuambil satu momen kecil.kuabadikan dalam gambar, dan kusimpan dalam tabung memoriku.

Lalu sebelum esok pagi aku pergi, aku hanya tinggal berucap dalam hati, ”kembang ungu itu sejenis dengan yang aku tanam dulu, pemberian dari seorang terkasih yang telah lama menghilang. Melihat bunga itu di sini, sudah mencipta momen yang membuatku terkenang tentangnya kembali.. Sesuatu yang tak kuharap, namun tak ingin hilang dari ingat..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kembang Ungu Di Halaman Mess

Di Sebuah senja yang usang.senja yang tua, capung itu berkeliaran.
Seolah hendak menemaniku yang saat itu hanya duduk terpaku di bangku, di bawah pohon rambutan,
dan diantara kaktus, bunga krisan, mawar dan beberapa tumbuhan pekarangan lainnya.
Sebuah buku catatan, kamera digital, laptop, pena bertinta emas, kuas, dan sebuah kanvas tergeletak di beranda. Entah, hendak apa aku dengan semua itu.

Ah, lama-lama aku jengah. Terhadap senja, terhadap burung kakak tua yang terkurung didepanku, dan terhadap apa-apa yang ada disekelilingku ketika itu.
Menulis ataupun melukis, aku belum hendak.
Apalagi berkutat dengan laptop atau mencatat di buku agenda bersampul coklat itu. Aku tak mau.
Seolah telah kurapal bahasa yang dulu pernah kudengar dari seorang yang namanya tak sempat kukenal,
 ” Tak usahlah kau menunggu sebuah moment besar itu datang, sebab saat kau berkutat dengan itu, kau akan kehilangan momen-momen kecil yang sebenarnya bisa lebih berkesan..

Ah, Kuraih kamera digital. Memilih mengabadikan gambar di sekitar area mess perkebunan.
Sebuah ayunan tua di samping beranda, pucuk-pucuk bunga pohon pepaya, daun-daun kemangi,kumpulan kuncup krisan, dan tangkai-tangkai kembang ungu depan mess telah kuabadikan.
Ya, momen besar yang kutunggu adalah melihat bintang-bintang dan purnama sebuah bulan di mess perkebunan yang selama sebulan sudah kutinggali. Tapi seakan itu tak mungkin, sebab tengah hari tadi, cuaca tak mendukung. Sangat mendung. Maka sudah kuambil satu momen kecil.kuabadikan dalam gambar, dan kusimpan dalam tabung memoriku.

Lalu sebelum esok pagi aku pergi, aku hanya tinggal berucap dalam hati, ”kembang ungu itu sejenis dengan yang aku tanam dulu, pemberian dari seorang terkasih yang telah lama menghilang. Melihat bunga itu di sini, sudah mencipta momen yang membuatku terkenang tentangnya kembali.. Sesuatu yang tak kuharap, namun tak ingin hilang dari ingat..”