Jakarta Dalam Sepasang Mata


Pernah mengalami masa-masa sulit untuk bangkit adalah hal yang lumrah dialami oleh setiap orang.
Ga punya motivasi untuk belajar, bekerja, keluar jalan-jalan bersama teman atau motivasi menjalani hubungan serius dengan seseorang juga masih wajar terjadi. Banyak orang yang mengalami masa-masa 'krisis' seperti itu.
Apalagi di Jakarta. Kota besar yang katanya sangat rentan persaingan.
Tinggal di Jakarta yang daya saingnya sangat tinggi membuat siapapun bisa berada di dua titik, antara punya motivasi tinggi untuk bersaing, atau motivasi rendah dan akhirnya lebih ingin ga ngapa-ngapain.

Gue ga pernah mikir apa jadinya Jakarta jika pelan-pelan penduduknya tumbuh menjadi orang yang tidak punya motivasi. Tapi okelah, jangan coba dibayangkan.. Karena yang dibayangan gue sekarang cuma ada anggapan kalau orang Jakarta itu didominasi oleh orang yang tiap harinya punya motivasi tinggi. untuk berkompetisi.
Bayangin aja, pagi-pagi bangun- mandi-sarapan lalu mereka berangkat kerja. Buru-buru di jalanan, ngebut-ngebutan.. Jalanan diubah gitu aja jadi arena kompetisi persis Moto GP. liuk kanan-liuk kiri, menikung, lurus, hampir ga pernah ada kata berhenti. Lampu merah cuma jadi ornamen jalanan biar suasana pagi lebih berwarna. Awareness mereka sudah ga ada sama bahaya kecelakaan yang mungkin bisa terjadi. Kenapa? karena mereka adalah atlet-atlet Jakarta yang sudah terlatih tiap harinya. Mereka percaya, lebih baik cacat dari pada terlambat..
Ga habis pikir sih.. tapi lagi-lagi gue coba deh buat berempati.. Akhirnya gue mikir gini "Ooo.. mungkin kalau cacat mereka dapet pesangon gede, atau bisa dapat duit dari asuransi. tapi kalau terlambat, boro-boro kan dapet duit. yang ada lo diomelin atasan, dikasi laporan yang harus beres dalam waktu beberapa jam.. sampe akhirnya,saking sibuknya lo sampe lupa dan kelewat waktu makan siang".

Jakarta memang kejam kata banyak orang. Tapi entah kekejaman itu terjadi karena siapa. Orang-orang cenderung bilang Jakarta kejam, padahal mereka ga sadar kalau yang berbuat kejam satu sama lain itu ya mereka sendiri.  Orang yang bilang Jakarta kejam bisa jadi karena dua hal : 1. Dia juga kejam, jadi dia dapat balasan ; 2. Dia ga punya bekal apa-apa waktu datang ke Jakarta.
Lo akan di bully sama keadaan ketika lo ga ngerti gimana caranya melakukan perlawanan. Dan itu artinya juga, lo akan dibuat menderita di Jakarta ketika lo ga punya pengetahuan, lo ga punya jiwa berpetualang, atau lo ga punya satu jimat penting di diri lo yaitu "keberuntungan".

Yang ga punya hal itu bisa jadi lo akan kalah, dan tergusur, terus menyerah..Tapi yang punya motivasi tinggi , mereka justru mencari peluang di tengah kejamnya kota Jakarta. Salah satu buktinya, mereka justru seolah-olah menjadi sebagai seorang korban kekejaman kota metropolitan yang memang sebagian besar dari mereka bisa berhasil memancing belas kasihan dan tentunya mendulang uang. Menjadi pengamen atau pengemis jalanan adalah hal yang membuat mereka bertahan di Jakarta. Mereka berlagak sebagai korban kekejaman Jakarta. Padahal setiap harinya mereka berkompetisi dengan para manager-manager perusahaan untuk menumpuk uang, yang bahkan bila dibandingkan, gaji level manager masih kalah dengan pendapatan seorang pengemis jalanan.
Dan ini memang serius terjadi.

Jakarta tanpa kompetisi itu seperti Amplop tanpa perangko. Sama halnya seperti amplop-perangko butuh lem, kompetisi di Jakarta juga butuh kekejaman. Yah setidaknya itu yang Jakarta utarakan ke gue lewat kebisingan-kebisingan tiap malamnya.
Kompetisi itu hidup dan mendarah-daging di Jakarta. Ga cuma orang-orangnya yang kelihatan bersaing, di pinggir-pinggir jalan aja gue bisa melihat ada banyak kompetisi.
Lo pernah ngitungin banyak minimarket yang lo lewatin dalam sekali jalan? atau ngitungin berapa pasang minimarket beda jenis yang posisinya berdekatan atau berdampingan pas lo lagi dalam perjalanan pulang?
gue pernah. Minimarket yang beda jenis ini yang sering menarik perhatian gue.. Mereka hebat. sebagai minimarket beda jenis posisi mereka bisa berdampingan dengan sangat rukun bak pengantin lagi berdiri di pelaminan.

konyol sih ngitungin minimarket yang kadang lambangnya aja bikin gue lieur saking miripnya.Tapi pernah ga kepikiran kalau fungsi dari ngitungin itu bisa aja bermanfaat? Bisa jadi lo nanti tiba-tiba ketemu orang nanya letak toko karena dia sedang butuh sesuatu dan terdesak beli barang itu segera, tapi karena lo udah hafal berapa banyak minimarket di daerah itu dan dimana aja posisinya, lo bisa dengan mudah bilang ke dia sambil nunjuk tangan "DI SANA!", atau mungkin ada orang yang mulai teratrik franchisee minimarket itu, lo bisa dengan enteng bilang "itu udah berderet tante di daerah situ.. yang masih jarang tuh di daerah sini..". Dan lebih pentingnya lagi, fungsi dari ngitungin hal-hal yang tampak jelas di depan mata itu bisa membuat lo semakin paham tentang gambaran seberapa ketatnya persaingan di Jakarta (atau mungkin juga kota-kota lainnya). Semakin bangunan itu berdekatan, semakin ketat indikasi kompetisi yang terjadi. Lebih-lebih lagi kalau dua jenis minimarket tiba-tiba nanti dibuka dalam satu gedung tapi beda lantai, bisa kebayang kan kompetisi model apa yang sedang terjadi?

Hidup itu keras, Bung.. Tapi sekeras-kerasnya hidup jangan sampai kita kehilangan motivasi untuk hidup.
Boleh jadi lo kehilangan motivasi untuk bekerja, belajar, atau memanfaatkan masa muda, tapi jangan pernah lo kehilangan motivasi untuk hidup.khususnya di Jakarta.
Kalau  lo cuma kehilangan motivasi kerja, belajar dan lainnya, lo masih akan selamat. karena setelah itu lo pasti punya keinginan untuk mendapat hidup yang lebih baik..jadi pasti lo akan cari kerja lagi dan mulai belajar  lagi .
Tapi kalau lo kehilangan motivasi untuk hidup, lo akan kehilangan semuanya..
Dan Jakarta akan kehilangan satu  dari sekian orang yang selalu menyebutnya sebagai kota yang 'kejam'.


Lalu sebagai pembalasan, di akhir hidup lo Jakarta akan berkata "Siapa suruh datang Jakarta!"


Mimpi di Negeri Setengah Demokrasi .

Aku punya mimpi.. dimana kepala-kepala daerah,orang-orang di pemerintahan sana bisa leluasa untuk bersikap semena-mena atau tak lagi mendengarkan aspirasi dari rakyatnya.

Aku punya mimpi..dimana badan kehormatan negara tak lagi memikirkan kehormatannya,melainkan memikirkan "bagaimana cara untuk kaya".

Aku punya mimpi..bahwa di setiap kota akan ada banyak laki-laki dan perempuan yang tak lagi berhati. Bisa sebebas-bebasnya menginjak hak asasi manusia lainnya atau mencaci-maki setiap orang yang berbeda pandangan dengan dirinya.

Aku bermimpi, tentang adanya pendukung-pendukung salah satu kubu politik bisa sepuas-puasnya berpikiran fanatik hingga kemudian mampu menggilas saudara,teman,dan kenalannya dengan berbagai macam bentuk hujatan ketika yang dipilihnya itu ternyata : berbeda.

Aku pernah punya mimpi, agar suatu hari situasi politik bisa tampak sangat kotor,bahkan lebih kotor dari sekotor-kotornya lumpur.

Aku punya mimpi dimana para pemimpin negri ini bisa menjabat dengan sendirinya, bebas memilih kursinya sendiri,dan tak usah susah-payah pakai acara pilih memilih segala.

Aku punya mimpi tentang negri yg daya tarik politiknya ini tak pernah bisa kumengerti. Tapi diantara mimpi-mimpi yang kusebutkan tadi, ada satu mimpi yang masih menjadi mimpi terbesarku saat ini :
"Aku mau orang-orang itu, yang sudah puas dan bebas melakukan apapun di negri ini, esok pagi tiba-tiba mati.
Dikubur. Ditimbun tanah, pun kerikil tajam bercampur lumpur."


Sebab sejatinya..aku cuma ingin mimpi-mimpi burukku tadi pada akhirnya tidak pernah menjadi nyata.

Karena Hidup Bukan Melulu Tentang Cinta

Adalah benar apa yang engkau ucapkan. Bahwa hidup tidak melulu tentang cinta.

Dengan aku berkata mencintaimu, dunia tidak lantas berubah damai. Konflik di Palestina tak lantas reda dan ego yahudi di israel sana tak pula hilang seketika.

Dengan aku berkata mencintaimu, partaipartai masih tetap saja sibuk berkoalisi, tetap membicarakan atau mungkin sibuk membagi-bagi kursi, dan pemerintahan masih saja berisi kemunafikan, ketidakadilan.

Dengan aku berkata mencintaimu, tak ada yang berubah disekelilingku. Hutan kita tetap berkurang beberapa hektar tiap harinya, area pemukiman menggerus lahan pertanian kita, polusi udara dimana mana, bahkan sesekali bukannya berjalan kaki atau bersepeda, kita justru asyik mengendarai mobil. Bukannya menanam pohon, aku justru membawa pulang bungabunga mawar yang kau belikan setiap bulannya.

Dengan aku berkata mencintaimu, pendapatan per kapita indonesia tidak serta merta melonjak seketika, debatdebat tak pula segera lenyap, dan harga barang pokok tidak begitu saja berhenti untuk merangkak naik.

Adalah benar yang kau ucapkan. Bahwa cintacinta kita tak berkorelasi dengan apapun yang terjadi dengan negara.
Bahwa cintaku adalah sesuatu di luar itu semua.

Bahkan meski aku ganti berkata "aku mencintai negri ini", itupun tak lantas mengubah apa-apa yang terjadi disekelilingku saat ini.
Terlalu banyak kemunafikan, kebencian yang disebar, dan ketidakadilan yang pada akhirnya aku tahu ia tak akan cukup dilawan dengan hanya sekedar kata "aku cinta".

Ah.. mencintai negri ini sama rumitnya dengan mencintaimu.
yg selalu berkata "aku juga mencintaimu. tapi Sayangku... hidup itu bukan melulu tentang cinta".

Lalu tentang apa?
Dan sambil mereka-reka, aku jadi berpikir, kira-kira selama ini aku lebih mencintai mana.

Kau.., negri ini... atau mungkin diriku sendiri?

TRAH-ku yang Telah Tiba di Tanah Lombok

DARI ISTANA YANG RAPUH, MENUJU DUNIA NYATA DAN KEMBALI RAPUH : Resensi oleh Yogi S. Memeth

Identitas
Judul Buku     : Antologi Puisi ”TRAH”
Penulis            : Krisandi
Penerbit          : IBC, Jogjakarta
Cetakan          : Pertama 2010
Tebal              : 106 halaman

Salah satu perkataan Tuhan yang pernah muncul tentang semua ini adalah ”tiap-tiap manusia itu diciptakan dalam keadaan suci, dan orang tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi atau Nasrani”, yang bila diterjemahkan bebas orang tualah yang menjadikan anak mereka rupa-rupa bentuk dan rupa-rupa warna. Dalam hal ini, orang tua telah mengalami pelebaran makna pada diri saya, orang tua ini bukan saja hanya mereka yang telah melahirkan, memberi susu dan makan sampai membersihkan popok dan pakaian. Melainkan, orang tua adalah mereka yang ada di sekitar lingkungan, baik masyarakat, pendidikan dan keluarga. Karena sesungguhnya, dalam tahap usia anak-anak sampai dewasa, seseorang sangat sulit mendengarkan wejangan-wejangan, akan tetapi lebih gampang melakukan peniruan. Tanpa sempat berfikir apakah yang ditiru itu baik atau buruk. Dalam hal ini, penulis antologi puisi Trah bertemu dengan ketiga lingkungan tersebut, yang barang tentu memiliki kultur budaya dan latar belakang yang berbeda.

Krisandi atau akrab dipanggil Chaa adalah seorang gadis belia, selayaknya gadis-gadis seusianya yang masih mencari jati diri. Dalam banyak keluh kesahnya tentang kelahiran tak pernah direncanakan, Chaa mencoba meneriakkan suara-suara minor dalam jantung membuat aliran udara pernafasannya sesak, meski suara-suara itu harus terbentur pada dinding kamar, langit-langit rumah, atau ia harus rela untuk sekedar lewat. Sebab, sebentar lagi suara-suara itu harus ia larungkan pada laut dengan sampan impiannya. Perlawanan-demi perlawanan berkecamuk dalam jiwanya, tapi ia tak berani bersuara sebab, darahnya telah ”terkutuk” dalam sebuah trah.
Seperti pada salah satu puisinya :

//Garis Keturunan//
”Padaku,
Terendus garis trah kerajaan (darah dari titis magis tak sempat di baptis)
Sejarah berulang,
Putri tak hendak diikat di puri” (Cha: 2010)
Sebuah ”ketidak siapan” dan ”kebanggaan yang samar” terasa kental pada paragraf selanjutnya dalam puisi yang berjudul sama
”silsilah hanya tinggal kertas kusam berlubang
Melintang di tiap bambu tengah tanpa atap
Muntab, lenyap
Terhisap waktu pun selaksa prajurt tak bersayap
: rayap”

Darah segala rupa sudah barang tentu tak boleh meninggalkannya sebab ia ”anak raja”, dari darah pujangga, darah tikus, darah anjing, darah apapun jua, boleh ada pada dirinya, tetapi bagi Chaa. Ia memilih darah pujangga, seperti suara gamelan yang pelan, darah itu mengantarkannya pada sebuah muara tentang kesejatian hidup dan manusia. Darah itu semakin ”kental dan binal” setelah ”persetubuhannya” dengan dunia bermain peran yang kemudian meledak membakar dirinya.

//Darah Trah Dewata//
”Sesemat kata muncrat di angkasa
Termaktub kesumat lupa tak tersebut
Ksatriaku (yang hidup lingkup megah nirwana)
Di sinilah aku (yang menelungkup dalam griya rumbia)
Mari cinta kita tertawa
Menabuh genta tak bernyawa”

Terasa seperti mengintip masa lampau dengan hal-hal kuno. Dengan darah Trah Sastradiwirja mengalir dalam tubuh sang aku. Darah yang kental akan adat budaya tua, dan religi islami yang benar-benar ketat. 
“Seringkali pada masa kecil aku dihadapkan pada sesuatu yang memang sangat berkesan, berjalan kaki beberapa kilometer dengan menyusur sungai menuju sebuah makam yang ada di lereng gunung, makam Kakek Gliman, seseorang yang telah membabat hutan hingga akhirnya menjadi sebuah desa, katanya. Juga belajar mengasah parang, keris, membantu memasak jenang Suro, jenang Safar di bulan Safar, pengajian, bahkan lebih banyak mengunjungi makam-makam Sunan, raja-raja, atau pun makam leluhur, daripada diajak shopping, jalan-jalan ke taman bermain, atau tempat-tempat yang sudah modern. Mereka, yang biasa kupanggil Mbah putri dan Kung, lebih mengarahkan untuk mengenalkanku pada kehidupan-kehidupan lawas atau kuno seperti itu. Yang sekarang bagiku cukup dirasa memiliki unsur-unsur magis, mistis tersendiri jika mengingat semuanya”. (Cha: 2010)

Selayaknya seorang remaja, Chaa adalah seorang anak manusia yang masih mencari jati dirinya. Bertanya – tanya, sampai pertanyaan itu menjejal kepala dan kemudian ia muntahkah dalam sebuah karya. Sebab mulutnya tidak terlalu berani untuk berteriak dan melawan keadaan yang batinnya sendiri menolaknya dengan kuat. Sebab semua itu harus ia lebur pada sebuah nama ”penghormatan”.



Penulis: Yogi S. Memeth 

Jakarta Dalam Sepasang Mata


Pernah mengalami masa-masa sulit untuk bangkit adalah hal yang lumrah dialami oleh setiap orang.
Ga punya motivasi untuk belajar, bekerja, keluar jalan-jalan bersama teman atau motivasi menjalani hubungan serius dengan seseorang juga masih wajar terjadi. Banyak orang yang mengalami masa-masa 'krisis' seperti itu.
Apalagi di Jakarta. Kota besar yang katanya sangat rentan persaingan.
Tinggal di Jakarta yang daya saingnya sangat tinggi membuat siapapun bisa berada di dua titik, antara punya motivasi tinggi untuk bersaing, atau motivasi rendah dan akhirnya lebih ingin ga ngapa-ngapain.

Gue ga pernah mikir apa jadinya Jakarta jika pelan-pelan penduduknya tumbuh menjadi orang yang tidak punya motivasi. Tapi okelah, jangan coba dibayangkan.. Karena yang dibayangan gue sekarang cuma ada anggapan kalau orang Jakarta itu didominasi oleh orang yang tiap harinya punya motivasi tinggi. untuk berkompetisi.
Bayangin aja, pagi-pagi bangun- mandi-sarapan lalu mereka berangkat kerja. Buru-buru di jalanan, ngebut-ngebutan.. Jalanan diubah gitu aja jadi arena kompetisi persis Moto GP. liuk kanan-liuk kiri, menikung, lurus, hampir ga pernah ada kata berhenti. Lampu merah cuma jadi ornamen jalanan biar suasana pagi lebih berwarna. Awareness mereka sudah ga ada sama bahaya kecelakaan yang mungkin bisa terjadi. Kenapa? karena mereka adalah atlet-atlet Jakarta yang sudah terlatih tiap harinya. Mereka percaya, lebih baik cacat dari pada terlambat..
Ga habis pikir sih.. tapi lagi-lagi gue coba deh buat berempati.. Akhirnya gue mikir gini "Ooo.. mungkin kalau cacat mereka dapet pesangon gede, atau bisa dapat duit dari asuransi. tapi kalau terlambat, boro-boro kan dapet duit. yang ada lo diomelin atasan, dikasi laporan yang harus beres dalam waktu beberapa jam.. sampe akhirnya,saking sibuknya lo sampe lupa dan kelewat waktu makan siang".

Jakarta memang kejam kata banyak orang. Tapi entah kekejaman itu terjadi karena siapa. Orang-orang cenderung bilang Jakarta kejam, padahal mereka ga sadar kalau yang berbuat kejam satu sama lain itu ya mereka sendiri.  Orang yang bilang Jakarta kejam bisa jadi karena dua hal : 1. Dia juga kejam, jadi dia dapat balasan ; 2. Dia ga punya bekal apa-apa waktu datang ke Jakarta.
Lo akan di bully sama keadaan ketika lo ga ngerti gimana caranya melakukan perlawanan. Dan itu artinya juga, lo akan dibuat menderita di Jakarta ketika lo ga punya pengetahuan, lo ga punya jiwa berpetualang, atau lo ga punya satu jimat penting di diri lo yaitu "keberuntungan".

Yang ga punya hal itu bisa jadi lo akan kalah, dan tergusur, terus menyerah..Tapi yang punya motivasi tinggi , mereka justru mencari peluang di tengah kejamnya kota Jakarta. Salah satu buktinya, mereka justru seolah-olah menjadi sebagai seorang korban kekejaman kota metropolitan yang memang sebagian besar dari mereka bisa berhasil memancing belas kasihan dan tentunya mendulang uang. Menjadi pengamen atau pengemis jalanan adalah hal yang membuat mereka bertahan di Jakarta. Mereka berlagak sebagai korban kekejaman Jakarta. Padahal setiap harinya mereka berkompetisi dengan para manager-manager perusahaan untuk menumpuk uang, yang bahkan bila dibandingkan, gaji level manager masih kalah dengan pendapatan seorang pengemis jalanan.
Dan ini memang serius terjadi.

Jakarta tanpa kompetisi itu seperti Amplop tanpa perangko. Sama halnya seperti amplop-perangko butuh lem, kompetisi di Jakarta juga butuh kekejaman. Yah setidaknya itu yang Jakarta utarakan ke gue lewat kebisingan-kebisingan tiap malamnya.
Kompetisi itu hidup dan mendarah-daging di Jakarta. Ga cuma orang-orangnya yang kelihatan bersaing, di pinggir-pinggir jalan aja gue bisa melihat ada banyak kompetisi.
Lo pernah ngitungin banyak minimarket yang lo lewatin dalam sekali jalan? atau ngitungin berapa pasang minimarket beda jenis yang posisinya berdekatan atau berdampingan pas lo lagi dalam perjalanan pulang?
gue pernah. Minimarket yang beda jenis ini yang sering menarik perhatian gue.. Mereka hebat. sebagai minimarket beda jenis posisi mereka bisa berdampingan dengan sangat rukun bak pengantin lagi berdiri di pelaminan.

konyol sih ngitungin minimarket yang kadang lambangnya aja bikin gue lieur saking miripnya.Tapi pernah ga kepikiran kalau fungsi dari ngitungin itu bisa aja bermanfaat? Bisa jadi lo nanti tiba-tiba ketemu orang nanya letak toko karena dia sedang butuh sesuatu dan terdesak beli barang itu segera, tapi karena lo udah hafal berapa banyak minimarket di daerah itu dan dimana aja posisinya, lo bisa dengan mudah bilang ke dia sambil nunjuk tangan "DI SANA!", atau mungkin ada orang yang mulai teratrik franchisee minimarket itu, lo bisa dengan enteng bilang "itu udah berderet tante di daerah situ.. yang masih jarang tuh di daerah sini..". Dan lebih pentingnya lagi, fungsi dari ngitungin hal-hal yang tampak jelas di depan mata itu bisa membuat lo semakin paham tentang gambaran seberapa ketatnya persaingan di Jakarta (atau mungkin juga kota-kota lainnya). Semakin bangunan itu berdekatan, semakin ketat indikasi kompetisi yang terjadi. Lebih-lebih lagi kalau dua jenis minimarket tiba-tiba nanti dibuka dalam satu gedung tapi beda lantai, bisa kebayang kan kompetisi model apa yang sedang terjadi?

Hidup itu keras, Bung.. Tapi sekeras-kerasnya hidup jangan sampai kita kehilangan motivasi untuk hidup.
Boleh jadi lo kehilangan motivasi untuk bekerja, belajar, atau memanfaatkan masa muda, tapi jangan pernah lo kehilangan motivasi untuk hidup.khususnya di Jakarta.
Kalau  lo cuma kehilangan motivasi kerja, belajar dan lainnya, lo masih akan selamat. karena setelah itu lo pasti punya keinginan untuk mendapat hidup yang lebih baik..jadi pasti lo akan cari kerja lagi dan mulai belajar  lagi .
Tapi kalau lo kehilangan motivasi untuk hidup, lo akan kehilangan semuanya..
Dan Jakarta akan kehilangan satu  dari sekian orang yang selalu menyebutnya sebagai kota yang 'kejam'.


Lalu sebagai pembalasan, di akhir hidup lo Jakarta akan berkata "Siapa suruh datang Jakarta!"


Mimpi di Negeri Setengah Demokrasi .

Aku punya mimpi.. dimana kepala-kepala daerah,orang-orang di pemerintahan sana bisa leluasa untuk bersikap semena-mena atau tak lagi mendengarkan aspirasi dari rakyatnya.

Aku punya mimpi..dimana badan kehormatan negara tak lagi memikirkan kehormatannya,melainkan memikirkan "bagaimana cara untuk kaya".

Aku punya mimpi..bahwa di setiap kota akan ada banyak laki-laki dan perempuan yang tak lagi berhati. Bisa sebebas-bebasnya menginjak hak asasi manusia lainnya atau mencaci-maki setiap orang yang berbeda pandangan dengan dirinya.

Aku bermimpi, tentang adanya pendukung-pendukung salah satu kubu politik bisa sepuas-puasnya berpikiran fanatik hingga kemudian mampu menggilas saudara,teman,dan kenalannya dengan berbagai macam bentuk hujatan ketika yang dipilihnya itu ternyata : berbeda.

Aku pernah punya mimpi, agar suatu hari situasi politik bisa tampak sangat kotor,bahkan lebih kotor dari sekotor-kotornya lumpur.

Aku punya mimpi dimana para pemimpin negri ini bisa menjabat dengan sendirinya, bebas memilih kursinya sendiri,dan tak usah susah-payah pakai acara pilih memilih segala.

Aku punya mimpi tentang negri yg daya tarik politiknya ini tak pernah bisa kumengerti. Tapi diantara mimpi-mimpi yang kusebutkan tadi, ada satu mimpi yang masih menjadi mimpi terbesarku saat ini :
"Aku mau orang-orang itu, yang sudah puas dan bebas melakukan apapun di negri ini, esok pagi tiba-tiba mati.
Dikubur. Ditimbun tanah, pun kerikil tajam bercampur lumpur."


Sebab sejatinya..aku cuma ingin mimpi-mimpi burukku tadi pada akhirnya tidak pernah menjadi nyata.

Karena Hidup Bukan Melulu Tentang Cinta

Adalah benar apa yang engkau ucapkan. Bahwa hidup tidak melulu tentang cinta.

Dengan aku berkata mencintaimu, dunia tidak lantas berubah damai. Konflik di Palestina tak lantas reda dan ego yahudi di israel sana tak pula hilang seketika.

Dengan aku berkata mencintaimu, partaipartai masih tetap saja sibuk berkoalisi, tetap membicarakan atau mungkin sibuk membagi-bagi kursi, dan pemerintahan masih saja berisi kemunafikan, ketidakadilan.

Dengan aku berkata mencintaimu, tak ada yang berubah disekelilingku. Hutan kita tetap berkurang beberapa hektar tiap harinya, area pemukiman menggerus lahan pertanian kita, polusi udara dimana mana, bahkan sesekali bukannya berjalan kaki atau bersepeda, kita justru asyik mengendarai mobil. Bukannya menanam pohon, aku justru membawa pulang bungabunga mawar yang kau belikan setiap bulannya.

Dengan aku berkata mencintaimu, pendapatan per kapita indonesia tidak serta merta melonjak seketika, debatdebat tak pula segera lenyap, dan harga barang pokok tidak begitu saja berhenti untuk merangkak naik.

Adalah benar yang kau ucapkan. Bahwa cintacinta kita tak berkorelasi dengan apapun yang terjadi dengan negara.
Bahwa cintaku adalah sesuatu di luar itu semua.

Bahkan meski aku ganti berkata "aku mencintai negri ini", itupun tak lantas mengubah apa-apa yang terjadi disekelilingku saat ini.
Terlalu banyak kemunafikan, kebencian yang disebar, dan ketidakadilan yang pada akhirnya aku tahu ia tak akan cukup dilawan dengan hanya sekedar kata "aku cinta".

Ah.. mencintai negri ini sama rumitnya dengan mencintaimu.
yg selalu berkata "aku juga mencintaimu. tapi Sayangku... hidup itu bukan melulu tentang cinta".

Lalu tentang apa?
Dan sambil mereka-reka, aku jadi berpikir, kira-kira selama ini aku lebih mencintai mana.

Kau.., negri ini... atau mungkin diriku sendiri?

TRAH-ku yang Telah Tiba di Tanah Lombok

DARI ISTANA YANG RAPUH, MENUJU DUNIA NYATA DAN KEMBALI RAPUH : Resensi oleh Yogi S. Memeth

Identitas
Judul Buku     : Antologi Puisi ”TRAH”
Penulis            : Krisandi
Penerbit          : IBC, Jogjakarta
Cetakan          : Pertama 2010
Tebal              : 106 halaman

Salah satu perkataan Tuhan yang pernah muncul tentang semua ini adalah ”tiap-tiap manusia itu diciptakan dalam keadaan suci, dan orang tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi atau Nasrani”, yang bila diterjemahkan bebas orang tualah yang menjadikan anak mereka rupa-rupa bentuk dan rupa-rupa warna. Dalam hal ini, orang tua telah mengalami pelebaran makna pada diri saya, orang tua ini bukan saja hanya mereka yang telah melahirkan, memberi susu dan makan sampai membersihkan popok dan pakaian. Melainkan, orang tua adalah mereka yang ada di sekitar lingkungan, baik masyarakat, pendidikan dan keluarga. Karena sesungguhnya, dalam tahap usia anak-anak sampai dewasa, seseorang sangat sulit mendengarkan wejangan-wejangan, akan tetapi lebih gampang melakukan peniruan. Tanpa sempat berfikir apakah yang ditiru itu baik atau buruk. Dalam hal ini, penulis antologi puisi Trah bertemu dengan ketiga lingkungan tersebut, yang barang tentu memiliki kultur budaya dan latar belakang yang berbeda.

Krisandi atau akrab dipanggil Chaa adalah seorang gadis belia, selayaknya gadis-gadis seusianya yang masih mencari jati diri. Dalam banyak keluh kesahnya tentang kelahiran tak pernah direncanakan, Chaa mencoba meneriakkan suara-suara minor dalam jantung membuat aliran udara pernafasannya sesak, meski suara-suara itu harus terbentur pada dinding kamar, langit-langit rumah, atau ia harus rela untuk sekedar lewat. Sebab, sebentar lagi suara-suara itu harus ia larungkan pada laut dengan sampan impiannya. Perlawanan-demi perlawanan berkecamuk dalam jiwanya, tapi ia tak berani bersuara sebab, darahnya telah ”terkutuk” dalam sebuah trah.
Seperti pada salah satu puisinya :

//Garis Keturunan//
”Padaku,
Terendus garis trah kerajaan (darah dari titis magis tak sempat di baptis)
Sejarah berulang,
Putri tak hendak diikat di puri” (Cha: 2010)
Sebuah ”ketidak siapan” dan ”kebanggaan yang samar” terasa kental pada paragraf selanjutnya dalam puisi yang berjudul sama
”silsilah hanya tinggal kertas kusam berlubang
Melintang di tiap bambu tengah tanpa atap
Muntab, lenyap
Terhisap waktu pun selaksa prajurt tak bersayap
: rayap”

Darah segala rupa sudah barang tentu tak boleh meninggalkannya sebab ia ”anak raja”, dari darah pujangga, darah tikus, darah anjing, darah apapun jua, boleh ada pada dirinya, tetapi bagi Chaa. Ia memilih darah pujangga, seperti suara gamelan yang pelan, darah itu mengantarkannya pada sebuah muara tentang kesejatian hidup dan manusia. Darah itu semakin ”kental dan binal” setelah ”persetubuhannya” dengan dunia bermain peran yang kemudian meledak membakar dirinya.

//Darah Trah Dewata//
”Sesemat kata muncrat di angkasa
Termaktub kesumat lupa tak tersebut
Ksatriaku (yang hidup lingkup megah nirwana)
Di sinilah aku (yang menelungkup dalam griya rumbia)
Mari cinta kita tertawa
Menabuh genta tak bernyawa”

Terasa seperti mengintip masa lampau dengan hal-hal kuno. Dengan darah Trah Sastradiwirja mengalir dalam tubuh sang aku. Darah yang kental akan adat budaya tua, dan religi islami yang benar-benar ketat. 
“Seringkali pada masa kecil aku dihadapkan pada sesuatu yang memang sangat berkesan, berjalan kaki beberapa kilometer dengan menyusur sungai menuju sebuah makam yang ada di lereng gunung, makam Kakek Gliman, seseorang yang telah membabat hutan hingga akhirnya menjadi sebuah desa, katanya. Juga belajar mengasah parang, keris, membantu memasak jenang Suro, jenang Safar di bulan Safar, pengajian, bahkan lebih banyak mengunjungi makam-makam Sunan, raja-raja, atau pun makam leluhur, daripada diajak shopping, jalan-jalan ke taman bermain, atau tempat-tempat yang sudah modern. Mereka, yang biasa kupanggil Mbah putri dan Kung, lebih mengarahkan untuk mengenalkanku pada kehidupan-kehidupan lawas atau kuno seperti itu. Yang sekarang bagiku cukup dirasa memiliki unsur-unsur magis, mistis tersendiri jika mengingat semuanya”. (Cha: 2010)

Selayaknya seorang remaja, Chaa adalah seorang anak manusia yang masih mencari jati dirinya. Bertanya – tanya, sampai pertanyaan itu menjejal kepala dan kemudian ia muntahkah dalam sebuah karya. Sebab mulutnya tidak terlalu berani untuk berteriak dan melawan keadaan yang batinnya sendiri menolaknya dengan kuat. Sebab semua itu harus ia lebur pada sebuah nama ”penghormatan”.



Penulis: Yogi S. Memeth