adalah cinta

pernah aku titipkan seutas peluh pada
sudut matamu di awal bulan kesembilan
dalam rekta mega dan kawanan maruta mencerca
yang aku berdiri di tengah pongah masa

dalam jelajah tigabelas purnama
dalam kepolosan langkah seorang suta
telah kita kecup sisi dingin mentari
telah kita bawa lentera di kesederhanaan malam hari

aku terpaku rindu dalam sua kesekian
hingga cumbu malam bersama sang kirana
dan tiap nafas yang menjelma adalah:
titisan tirta suci
yang akan bersemayam di lingkar jari manis kita

(Edo Anggara)

dan kusambut
angga
titiktitik nirmala rasamu
yang genap didaur satuan masa kesembilan,
kubagi cercahnya dalam sapta pesona balutan kebaya

maka katamu:
tak layak dia, tak mereka, tak pun siapa-siapa
yang harus memangku rindumu
cukup aku, satu
peri bergaun ungu kini
disanding dalam gelar adat reriuhan
tunang
oleh seorang lajang yang padanya dulu
kupanggil ia dengan sebutan
: sayang

(R. Mega Ayu Krisandi Dewi)

Adalah Cinta

Beralas tenang panorama uluwatu

adalah cinta,
saat hembusan nafasnafas hidup pada balik matamu
merangkak di lembaran angin
menyeka tiaptiap peluh

(Edo Anggara)

Bersaksi lapang pesisir watu ulo

adalah cinta,
ketika aku mendengarmu
bicara lewat sajaksajak
gita paduan suara
berdasar nadanada mayor
tenor
katamu di mataku
: partitur yang takkan pernah luntur


Dan adalah cinta,
saat hanya di selembar daun lontar
perihal surat undangan tlah sah kau tuliskan


(R. Mega Ayu Krisandi Dewi)

Pada Sasi, Kutitip Titis Cintaku

; Sasi

Adalah padamu--bethari tunggal penerus keturunan
kutitipkan selawat sakral atas cintaku
pada lapak
pun terhadap pria yang kau panggil bapak

isyaratkan padanya Nak
Di ranah Gautama,tepian gangga
pula antara pemuja sang Durga
seraya mendaur ilmu tetap ku kidung kasih rindu
tak kecuali padamu--yang puput pusar pun tak sempat ku memangku

Jika di lapak
Dua puluh sembilan sasi sembilan belas hari lagi
Tak ku dengar nukilan rawi asmaradana
Pun riuh karawitan penyambut hadir darinya
Bilang, kain putih serupa sari yang ku bawa
Akan kukenakan di samping keranda
Sebagai janda

( Sasi,jika mutlak meluncur ucap talak
entah laku atau tidak surga di telapak
; aku mati telak )

*seorang ibu meninggalkan anaknya..
tapi tetap, apapun itu, bagaimanapun ibu
bagi anak, surga di telapak selamanya melekat..

Prolog Pertentangan

Jika padamu melekat lidah pada mulut,
Julurkan ia
Biar ku teteskan cuka atau obat peretas sekarat nyawa

Jika padamu terhias tembang pertentangan
Kemarikan badanmu
Biar kulumuri minyak pelumas atas segala hasrat puas

Lalu
jika darimu, kata hujat tak sempat tersurat
Biar ku teriak laknat yang menyirat
lebih dahulu

Puisi (Terakhir) Di Besakih

Kan sudah kubilang
; pada Bli, juga Lus Sri di Besakih

Tak ingin ku kembali pada tumpuk bata di sudut pura
Atau bertengger di depan altar pun pojokan gereja tua
Sebab aku
Tak lagi menyisih rindu

Dan sudah kutegaskan
Pada Bli juga Luh Sri yang terkasih
Di kanal tanpa jeram
Akan kualirkan sesaji berupa puisi
Dan berawal ombak di laut
Telah kubiarkan sajak-sajak mautku hanyut

Ini tradisi
Mengabadikan puisi menjadi elegi
: mati

Puisi Duri Duri Dam

Pak, putra putri kita selalu saja bermain.
Si Buyung tak hanya meneliti puting beliung, tapi juga ahli merayu dan memilin puting perawan ting-ting.
Sedang Upik,yang biasanya ongkang-ongkang kaki makan kripik sambil nonton duyung atau doraemon, kini sudah lihai selurup ujung kondom dan rutin suntik hormon.

Sungguh hebatnya mereka.Dari Ibtidaiyah, Aliyah mereka belajar yang namanya falsafah akhlak dan aqidah.Tapi saat orang tua melarang keluar rumah, mereka lupa tata krama.
Di jawabnya,’Ini jamannya anak muda berdisco, clubbing sampai nungging-nungging, bukan era pingitan ala putri Solo atau dikebiri layak anak kambing”.
Ah, pintar benar Buyur Upik menampik.

Menarilah dan terus tertawa
Meski dunia tak seindah surga...

Anak kita memang luar biasa.kesana kemari selalu tertawa.
Tak lagi pemuja bahkan peduli terhadap Miyabi.Tapi malah menggandrungi dan terus mengagungkan si Ryan dari Jombang.Bahkan sekarang, perempuan berani makan perempuan.Kata orang itu yang disebut lesbian.
Perlahan seorang Bapak mulai gencar memburu wanita-wanita pujaan, yang tubuhnya sudah seharga jajanan pasar, koran-koran emperan, juga VCD bajakan.Dan Ibu-ibu sudah keranjingan dengan arisan, sebab acara puncaknya adalah lelang para gigolo.Tak ayal anak-anak kita berlaku ala Surti-Tejo.
Menggelar tikar di tengah ladang, mendominasi sudut-sudut pematang tempat sang kodok biasa jongkok. Ah, benar-benar lucu tingkah laku anak-anak kita itu.Mengartikan cinta seharga nafsu gilanya.

(Duri duri dam dam duri duri dam...., backsound terakhir atas kekacauan yang terjadi disuatu malam)

Aku Rindu(Padamu Cah Ayu Lambang Merbabu)

Untukmu--Cah Ayu berdagu kemayu
Putri penggugah rinduku
Ku terabas hutan penyemai ketakutan
Ku sembunyikan sejarah napak tilasku
Di sela bongkahan batu berlubang itu

Lalu kutemukan kau
Pada tiap patah ilalang
Di alur syahdu dedaun pinang
Pun di tanah,
Bekas tapakku melangkah.
Ah, sungguh rindunya aku padamu

Demimu - -Gadis pengelana mayapada
Pendaki gunung tak terperi
Bahkan nyawaku sudah tak kuanggap berarti
Bergelayut mengingin mati
Mencintaimu : Abadi

/Di Selo kutahu roh kembara kita akan bertemu

Sebab kau,adalah perlambang ayu puncak Merbabu
; abadi sesantun gemercik air.tirtha alam perasuk tenang

Dan sebab aku,pengandaian sakral sang Merapi
; Sejati dengan naluri berapi.agni yang murni/

Kung

Sudah ku ikat di palang atap
; Rampai silsilah yang belum rampung kau sadur itu

Sedang canang, bertumpang arang kemenyan
Tempayan lempung di dapur
tengah kuendapkan di selokan--dawuh terakhir darimu

Juga keramatnya hari adalah palsu bagimu
Menyekutu
Hingga tak perlu adat sesaji
Pun sesembahan berpatung batu

Pahing bertemu kliwon,
Khalayak bilang adalah bala dalam hukum primbon
Tapi kau tetap kau--putu dari darah patih dan kanjeng Putri
Dan kau biarkan neptu putramu bersatu dengan marga menantu
hingga waktunya,pada mayapada terlahirlah aku

Sejenak kugelar segenap trap nama leluhur
Lalu
Di pojok gardu,antara bakung di dukuh lereng Merbabu
Karenamu,kucabut palang silsilah dari atap pintu
Kemudian
akan kutelusupkan dibantal anak cucuku

( Kung,adalah risalah terakhirmu
ketika jaman pudarkan sejarah dan Kung bertuah
: Kun Fa Yakun )







catatan khusus : Ini untukmu--orang yang mengajariku agar tidak melupakan silsilah&sejarah. Eyang kakung, R.Sastrodiwirdjo (alm).

*(Kun Fa Yakun--Jika harus pudar, maka pudarlah.
Tapi semoga saja silsilah itu takkan pudar,hingga anak cucuku nanti)

Untukmu, Pria Bersorban dari Pakistan.

; Arya

Sebab dulu
kutahu lewat sela lipat sorbanmu
Senja telah sujud di bukit Uhud

Juga pada celah atas jubah,
antara Shafa dan bukit Marwah
Kulirik kau menyelip kelopak mawar kering
Dan sebelah anting bermata biru

sebab itu
Ada sumpah dalam tapak jagadku
kasih yang berlabuh,gemuruh rindu yang bertabuh
hanya kuhibah atas namamu

Untukmu,kekasih Tuhan dari Pakistan
Di tepi hilir Musi ku nanti seperangkat mahar

(Sebab dari Jabal Marwah,
kutahu cintamu juga rebah terhadapku
kelopak mawar kering, pula anting bermata biru
itu milikku..)

Sembilan Depa Dari Depan Biaro Bahal

Kemudian,
sembilan depa dari depan biaro
ku terawang samar wajah Romo
Titis yang meninggalkanku
kental sembilan bulan dalam rahim

Lewat jejer stupa, pula samping rata baris arca
ku katakan padanya
: Ini, kubawakan abu rindu milik ibu
Yang sewindu kusimpan rapi dalam kendi

Buang abu jasad itu di pelataran biaro Bahal,
Atau tuang saja di parit dangkal
Sebab di sana,
Awal mulaku jatuh, tetas di dasar buana
; sebagai piatu

Duratmaka

Ingsun tresna
Dalu ing Semeru
Cemeng!

Setan Alas

Pejantanku...

Diriak lembab air matamu menetes
Ada apa sayangku?
Berhentilah!
Tak usah kau semburkan tangis iblis seperti itu

Dirembang petang ucap manismu menetas
Untuk apa sayangku?
Ah,bicaramu fasih benar berlogat setan
Terjebak muak dibuatnya

Pejantan angkuhku..

Hasratmu terlalu angkara terhadapku
Berhentilah memburu!
Laras senapan dibelakang pintu
Sudah bersiap melempar jauh setan alas sepertimu

Antara Kita, Terhalang Cinta Kudusmu

Bunyikan lonceng itu sekali.
Sebab padamu, telah genap segala tutur
Bahwa tak mungkin kuselip salib di satu ujung kerudungku.
Pun mustahil pada bawah sajadah kusembunyikan abu dupa kebaktianmu.Matur maafku padamu, Hai Putra yang indah bersama cahaya kudus Sang Kristus.
Sebab pada empat tiang cungkup leluhur,sudah ku ikat sumpah.Aku putri kemayu dalam pingitan, tetap akan diam dalam suci pada satu alir darah turunan sufi.
Sejenak bahana burung gereja berkoar, lonceng sakral telah dibunyikan.
Dan pada denting ketiga nyaring gema keenam..
Ku tasbihkan : kening cinta kuikhlaskan rebah di jalan Islam

(tempatku di sini, membenah jilbab sebagai hijab bertafakur luhur)

Sebab Aku, Ingin Syahid Bersama Jihadmu

; Baskara

Sebab kasihmu, aku menunggu tujuh setengah sasi berlalu
Beranjak dari balai candidasa
Ku katon wajahmu di riak jambangan,
Disela arca pancuran, pula pada kelok keraton berpatung trah purtra bangsawan

sebab rindu, kubasuh air sembahyang dari sucinya petirtaan
"ingat aku, dalam khusyuk masyuk sujudmu"
kenangku akan sejarah titahmu itu.

Di sana, entah dimana
Jihadmu telah menyentuh ulu hatiku Hai satria pemuja syahid keabadian
Dan padaku, tampuk reinkarnasi srikandi jatuh berawal
pedang, keris, pun tabuh genderang perang pada segenap mungkar yang dulu pernah kau dalilkan
sudah pula kutanam di benak,dalam satu hijab
: jilbab dan kitab

(Karenamu, mungkar bagiku tak ikut berperang di Jalan Tuhan.Dan laknatku, jika tak syahid dalam jihad bersamamu. Dariku yang mencintaimu, Duhai ksatria kekasih Tuhan..)



catatan khusus : masih dam satu proses dan nafas yang sama.
dan lagi-lagi, ini hanya ketertarikanku memahami waktu..
(teinspirasi dari istri para tereksekusi mati bom bali)

Pada Kita, Takdir Cinta Bercanda

Di sini tak ada tembang kemayu Kanda..
Hanya lagu melayu berjumpalitan, mendayu di sela-sela dedaunan tak bertulang
Tak ada dipan berkayu jati atau pun mahoni berpahat rapi di sini,
Hanya sebuah bangku berlapis sengon dengan sandarannya dua sulur batang bambu
Itu pun sudah mulai rapuh berdebu..

Tak ada apa-apa di sini Kanda...Kau hanya akan menemui aku.Gadis penjaga tungku yang biasa kau sebut dengan Dinda nun ayu...
Yang tanpa ritual penobatan telah kau daulat aku sebagai putri tercantik seluruh negeri
Ah, sungguh terlampau legam muslihat cintamu Kanda.Di pematang sawah ku jamah setampuk gabah.Kupikul menuju pulang.
Ku letakkan di bawah atap rumbia berubin daun kering tanpa gairah warna
”Untuk apa Dinda?” tanyamu waktu itu
”Mengabadikan cinta”. kau merenung. Sebab kau kenal aku Kanda, ..
Aku akan berdiam tanpa laku , hingga kau mampu menafsirkan semua
Tanpa harus aku pula yang mencecer maksudnya
Kau diam...
Dan aku, diam-diam menyulut api itu sendiri
: di belakangmu

Sekarang sungguh telah hampa di sini.Tak ada apa-apa..alpa tanpa sisa...Hanya kepul asap pengap berblingsat di udara
Kanda...
Mengabadikan takdir cinta memang tak harus ini jalannya.Tapi, ucap kerabatmu yang sungguh beradab pun lekat adat memaksaku melebur tubuhmu juga aku untuk satu
: jadi abu

”Tak butuh yang namanya cinta..sebab pria yang kau sebut Kanda hanya akan ada pada garis penerus tahta.Dan padanya tercipta harta...
Sedang wanita, telah kami siapkan pada setiap depa tepi gerbang penyambutan kehadirannnya.. Sebelum kau terbakar sesal dan hangus maki nestapa
Pergi! tinggalkan ia.. Dan ingat, cinta bukan alasan untuk takdir menyatukan kalian...”

Garis Keturunan

Padaku,
Terendus garis trah kerajaan (darah dari titis magis tak sempat dibaptis)
Sejarah mengulang,
Putri tak hendak diikat di puri

Aku pergi
Lepas nama Kutai, gelar kisah pada bumi Kuta melandai

Padaku,
Tak ada lagi adat peradaban usang
Hanya titis trah merembes tetes lewat darah--warisan yang tak bisa kuhapus hingga jaman penghabisan

Silsilah hanya tinggal kertas kusam berlubang
Melintang di tiang bambu tengah tanpa atap
muntab,lenyap
terhisap waktu pun selaksa prajurit tak bersayap
: rayap

Baginya, aku hina di Hindustan

; Padma

Bilang padanya--pria yang sejatinya berakar di tanah Jawa
Padaku tak ada kain sari,mahendi,pun bindya di kepala
Cadarku masih utuh separuh menghijab di wajah

Tak usah ia tuang abu kerudung itu di ranjang
Percuma..
Buang saja di persemayaman riak gelombang laut selatan
Biar angin darat menghanyutkannya
Mungkin bisa mengembalikannya pada sejarah tua di Hindustan
; sama saat ujung sebelah kerudungku,basah begitu ia menampik rindu

Padanya,
Katakan aku rindu tembang macapat
Maka saat abu dari jasadku yang sempat dihinakannya menapak
Cepat kubur aku
Atau tanam di bawah gandapura,sebelah tangkai padma
Di belakang rumahnya

( ; Padma
Air muara gangga saksinya.aku tetap setia memegang satya
: aku masih suci )

Tragedi : Sari--Adi (Pati)

Adi mencintai Sari
; pati

Adi rindu layak sayang bulan Sura
; pati

Berblingsat ia,teriak di tengah kota
Bukan di Kudus,tak pula Jepara
;melainkan Pati

Adi waspada terhadap pati
sebab Adi ingat janji
(untuk masih) mencari sari
; dari Pati

Hilanglah tampuk mahkota sang adi--pati
Tergeletak
Retak
Kuak muka seri sang Sari

Padanya ,Gerhana Di Atas Pura

Bermula dari mimpi

Syahdan kata-kata sungkur melipat makna
Katanya,
Bejana bertampung orok jaddahnya
Janin putera sang berhala
adalah petaka
; bencana teramat nyata

Berkisah tentang mimpi(lagi)

Lamat terkelindan rasa dibenak
Tak percaya bodhong dipusarnya
adalah tanda
; ia nakal, binal
Sebab ditangan putih berkuku bersih
Ada canang penuh wewangi kembang

Mengulang awal bermimpi tentang mimpi

Fakta tak dinyana
Lewat separuh tiang pura ia menghadap
Suara halus,eluh meluluh ulu
"aku titisan darah musi,
merajang,mengerang di kota hujan
hingga terhibah hadiah mewah
katanya
: jabang bayi jaddah,

bertaut merunut mimpi(yang takkan ada akhir)

Pada buncitnya,
Kulihat seribu purnama hendak tertawa
Di dalamnya mengenyambah seruah berkah
Dan padanya,
Maaf,terhambur lacur
pecah ketuban saat bulan tengah ketiduran

(selamanya,segalanya,selalu adalah awal bagi mimpi)

Rindu tirtha Sang Bathara

Tak ada tirta..
Menyendat ia dalam pipa-pipa rawa
Lama tanpa nyawa

Mana tirta..
Tersumbatkah ia pada mulut,ketiak,paha atau selangkang para dewa?
Atau terkecam mumbulkah ia sebab murka sang Bathara?

Sudah setengah lingkar dasa warsa
(masih) tak ada tirta...
Pada undak Pura Dasar Bhuana aku terkesiap iba
Terserap di sana kepul serbuk dupa
Pun sekumpul doa tersiar dibalik bilik pendapa tua
Oh Sang Hyang Widhi,berkarib dua gerhana pun tujuh kali purnama kami di sini
Cangkir itu belum pula hendak Kau berkahi isi

Di loka mana sebenarnya menyumber tirta?
Kemana pula alir tirta bermuara?
Pada dhaksinakah wajib kami berlari??

Duhai Betara Agung,buih di mulut sudah tak berujung
Kelopak pun malas sudi bersenggama airmata
Segenap wangsa merana dahaga
Hanya sisa satu ucap menyembul
"Turun tirta.. turun saking luhur.
muncrat mumbul sami pada lebur "

Pada undak kedua Pura Dasar Bhuana,
(Terserak kertas beraksara caraka)
‘Airmatamu
: Tirta abadinya Sang Hyang Widhi’

Darah Trah Dewata

Sesemat kata muncrat di angkasa
Termaktub kesumat lupa tak tersebut
Ksatriaku, (yang hidup terlingkup megah nirwana)
Disinilah aku,(yang menelungkup dalam griya rumbia)
Mari cinta...,kita tertawa
Menabuh genta tak bernyawa

Ini cemeti,
Yang ini belati..
Dengan mana kita pilih mati??
Tak perlu cawan menadah darahmu
Tuang saja ke mulutku,biar kucium anyir itu
samakah dengan amis punyaku.

Jubah tak senama,(yang kaummu sebut sahaya--sudra)
Telah ku koyak di pinggiran jalan
Sekarang,
aku telanjang!
Tak berkasta

Kemari cinta...
Ini prasasti, sudah kuukir tadi sembari menggurat nadi
Dan ini peti mati..
Tempat kita bergelinjang malam pertama nanti

Mari cinta,Kemarilah sang ksatria..
Bahanakan kesumat kita!
Kesumat cinta berkalang kasta

Lalu pada prasasti akan termaktub kata sejarah
'Darah trah dewata tumpah di tanah sudra'

Peziarah Yang Tak Sempat Singgah

Tepekur aku di batu hitam
Menggerayang lembut wangi batang cempaka
Candhik kala memangku mesra rinduku
Duh Gusti...
Sudah kutulis cinta di satu nisan
Pun kusiapkan sayang dalam mahar selembar kafan
Kapankah pinangan ini Kau sambut??

Duhai langit,(penghulu penghalau kelabu)
Wahai bumi,(saksi setiap derak sujud meditasiku)
Menyibaklah sebagai hijab,biar terkabul satu ijab

Rumput--lumut--semut
Kuselip antara kalian sebuah cungkup
Malam--siang--petang...
Kutitip takdir akhirku pada kalian

Bias candhik kala menyilau mataku
Satu keranda berkelebat
Ranjang yang kuhampar
Pinggiran yang kuhias dengan batang cempaka
Juga cungkup berkayu cendana
Ditakdir untuk jasad orang lain

Duh Gusti Pangeran...
Candhik kala itu menabuh rinduku menjadi tetesan di batu hitam
Lalu seleret memberi isyarat

Duh Gusti!
Terkesiap aku sadar
Satu dari lima waktuku telat,terlewat!
Satu meditasi harus terkejar dengan ayat semburat
Inikah tanda kenapa belum sudi Kau ijinkan aku mati??

Tiga denyut nadi dalam dua tarikan nafas
Menyongsongku terhenyak ingat tentang jenazah tadi
Duh Gusti Pangeran,
Terhitungkah itu sebagai dosa

Jika pada chandik kala sudah tegas kuberkata
"Sampaikan maafku,aku hanya peziarah yang tak sempat singgah"...

Lembaran Mayang

Angin mulai gila
Mencari arah tak kunjung bertandang
Di ranah tak kukenal segaraku tumpah
Tanah pun berubah jingga,merona dijilat lidah senja

Tak ada pengakuan!
Aku diam,
Mengejan
Sebab karang membantah muntahkan bahasa petir

Mayang-mayang bertebaran
Segala kalam,
Terinjak, dihujat!
Oh Biyung..,kembalikan aku ke pangkuan

Di tanah lapang tak berhumus ini
Ku cari siapa aku
Ribuan bahkan beratus sajak yang ku tulis
Tak ada makna, tak ada membaca

Aku adalah penyair!
Yang bahasa jadi panah,Meski papa---nanah
melarat kata, kehilangan abjad
Kunobatkan diri jadi penyair

Oh Biyung..,kembalikan aku ke pangkuan
Sebab aku penyair
Yang karyanya laruh merenggut nyawa
Hanya untuk mencari sebuah pengakuan!

Teruntuk Ken

Ken

ken dur ------untuk sayangmu

du ri -----kau bagiku
ken
du
ri

ken

du

rin

du
Ken

ken du ri ---- kupaksa rasaku

kenduri ----kugelar atas matimu

( Untuk Ken,
Dariku yang merindukanmu...)

Siluet Kematian

Siluet kasih itu kupancang di tiang-tiang malam
Kulukiskan ornamen rindu dikubah langit selatan
Tetap tak bisa kucandra wajahmu pada mimpiku
Hanya semburat buram,suram,seram membayang

Kecewaku bergelinjang di serabut benak yang tak sejenak
Rindu ini,suka ini..yang dulu menderu
kini berselubung debu
kau kemana ke sana?Dimana kau di sana?

Antara surga yang kau buru dan neraka yang kau tak tahu
Aku pun terbias hawa barzah di atas dunia ini
Meski di telapak kaki bumi telah tertelungkup kening cinta kita
Pun kita menyimpuh sujud demi meraih restu dunia
Mati itu tak bisa dihadang

Dan kini pada belati kucium harum melati,
Aroma semerbak..
Perlahan mendekat,seketika menyergap
dan menggulungku dalam wangi kematian

Air niraku menetes,di tanah basah bercampur darah
"aku mencintaimu, hingga kematian menjemputku"
Ucapmu itu sungguh manis sayang...
Tapi sungguh sayang,bagiku itu tak berlaku

Sayang...
Aku mencintaimu,maka biarkan aku sendiri yang menjemput kematian itu
sekarang!

Pada belati tak lagi terendus melati
Ada anyir mengalir dalam satu hela nafas terakhir...

Prasetya Dewabrata

Pras..
Diantara huma dan ladang tak bernyawa aku singgah
Ada sebuah kastil tua yang kudirikan dengan pagar kesetiaan disana
Setiap sisi ruangnya kusepuh dengan tirai kasih tulus
Kupancangkan pasak-pasak harapan di tiap lekuk bangunannya
Pun tak lupa kuwarnai dinding-dinding hati dengan warna putih biru..
Warna yang kau bilang lambang dari kasih yang suci juga rindu

Pras...
Setengah windu Pras,
Setengah windu aku menunggumu
Dan tanah tak bertuan ini lah yang kau janjikan menjadi tempat kita bertamu dan bertemu

Pras...
Dihari ketujuh,pada pertengahan tahun sewindu yang lalu
Aku tak pernah lupa,saat itu bulan sedang tidak purnama
Dan kala itu lah,
Kau ucap sebait kalimat,yang lalu kuanggap sebagai prasetya
Sebuah janji yang pasti kau tepati
"Tunggu aku di kabisat kedua.Dalam tahun,hari,juga waktu yang sama"

Tapi Pras,
Kabisat kedua sudah lewat
Setengah windu itu sudah berlalu tepat tujuh hari yang lalu
Tetap saja aku tak merasakan kepulanganmu Pras..

Sebenarnya titah apa yang hendak kau bawa,
Dan akan kau haturkan pada siapa

Pras...
Sudah lenyapkah kesadaranmu
Sudah hilangkah separuh akalmu
Hingga kau tafsir titah tak bernama itu sebagai cinta
Lalu hendak kemana titah itu kau bawa?
Dan akan kau haturkan pada siapa?

Kau pergi dengan alasan untuk menyampaikan titah itu,
Lalu bagaimana dengan aku,
yang lebih dari setengah windu kau suruh untuk menunggu??

Di sini,
Diantara huma,ladang tak bernyawa,juga kastil tua
Telah kupahat prasasti dengan namamu Pras..
pun ku tuliskan riwayat Prasetya Dewabrata di sana
Lengkap dengan ukiran nelangsa juga goresan nestapa
Tidakkah kau tahu Pras?,
Prasasti itu ku ukir dengan pena cinta yan masih tersisa
dan juga tinta air mata...

Itu lah aku Pras...
Aku yang masih bertahan menunggumu
Aku yang tetap memegang janjiku kala itu,
"Ya,Aku akan menunggumu dikabisat kedua.bahkan kabisat ketiga,keempat dan berikutnya..."

catatan khusus : Arghh,sepertinya otakku sudah mulai berkarat Pras...
Apalagi hatiku, sepertinya memang ikut sekarat.
Aku kenal betul siapa kau Pras,bahkan caruk-maruk dalam ceruk hatimu aku pun bisa ikut merasakan...
Coretan ini adalah tentangmu Pras,
Ttg seorang "Dwi Prastiani", sahabat sekaligus saudara bagiku,yang saat ini menunggu Prasetya Dewabratanya.
Seseorang yang diharapkan mampu memegang janjinya/setia(prasetya).

Sabarlah Pras, Prasetyamu pasti datang.
meski tak bisa kupastikan prasetyamu akan hadir dengan wujud yang sama seperti sebelumnya ataukah muncul prasetya lain yang berbeda...

adalah cinta

pernah aku titipkan seutas peluh pada
sudut matamu di awal bulan kesembilan
dalam rekta mega dan kawanan maruta mencerca
yang aku berdiri di tengah pongah masa

dalam jelajah tigabelas purnama
dalam kepolosan langkah seorang suta
telah kita kecup sisi dingin mentari
telah kita bawa lentera di kesederhanaan malam hari

aku terpaku rindu dalam sua kesekian
hingga cumbu malam bersama sang kirana
dan tiap nafas yang menjelma adalah:
titisan tirta suci
yang akan bersemayam di lingkar jari manis kita

(Edo Anggara)

dan kusambut
angga
titiktitik nirmala rasamu
yang genap didaur satuan masa kesembilan,
kubagi cercahnya dalam sapta pesona balutan kebaya

maka katamu:
tak layak dia, tak mereka, tak pun siapa-siapa
yang harus memangku rindumu
cukup aku, satu
peri bergaun ungu kini
disanding dalam gelar adat reriuhan
tunang
oleh seorang lajang yang padanya dulu
kupanggil ia dengan sebutan
: sayang

(R. Mega Ayu Krisandi Dewi)

Adalah Cinta

Beralas tenang panorama uluwatu

adalah cinta,
saat hembusan nafasnafas hidup pada balik matamu
merangkak di lembaran angin
menyeka tiaptiap peluh

(Edo Anggara)

Bersaksi lapang pesisir watu ulo

adalah cinta,
ketika aku mendengarmu
bicara lewat sajaksajak
gita paduan suara
berdasar nadanada mayor
tenor
katamu di mataku
: partitur yang takkan pernah luntur


Dan adalah cinta,
saat hanya di selembar daun lontar
perihal surat undangan tlah sah kau tuliskan


(R. Mega Ayu Krisandi Dewi)

Pada Sasi, Kutitip Titis Cintaku

; Sasi

Adalah padamu--bethari tunggal penerus keturunan
kutitipkan selawat sakral atas cintaku
pada lapak
pun terhadap pria yang kau panggil bapak

isyaratkan padanya Nak
Di ranah Gautama,tepian gangga
pula antara pemuja sang Durga
seraya mendaur ilmu tetap ku kidung kasih rindu
tak kecuali padamu--yang puput pusar pun tak sempat ku memangku

Jika di lapak
Dua puluh sembilan sasi sembilan belas hari lagi
Tak ku dengar nukilan rawi asmaradana
Pun riuh karawitan penyambut hadir darinya
Bilang, kain putih serupa sari yang ku bawa
Akan kukenakan di samping keranda
Sebagai janda

( Sasi,jika mutlak meluncur ucap talak
entah laku atau tidak surga di telapak
; aku mati telak )

*seorang ibu meninggalkan anaknya..
tapi tetap, apapun itu, bagaimanapun ibu
bagi anak, surga di telapak selamanya melekat..

Prolog Pertentangan

Jika padamu melekat lidah pada mulut,
Julurkan ia
Biar ku teteskan cuka atau obat peretas sekarat nyawa

Jika padamu terhias tembang pertentangan
Kemarikan badanmu
Biar kulumuri minyak pelumas atas segala hasrat puas

Lalu
jika darimu, kata hujat tak sempat tersurat
Biar ku teriak laknat yang menyirat
lebih dahulu

Puisi (Terakhir) Di Besakih

Kan sudah kubilang
; pada Bli, juga Lus Sri di Besakih

Tak ingin ku kembali pada tumpuk bata di sudut pura
Atau bertengger di depan altar pun pojokan gereja tua
Sebab aku
Tak lagi menyisih rindu

Dan sudah kutegaskan
Pada Bli juga Luh Sri yang terkasih
Di kanal tanpa jeram
Akan kualirkan sesaji berupa puisi
Dan berawal ombak di laut
Telah kubiarkan sajak-sajak mautku hanyut

Ini tradisi
Mengabadikan puisi menjadi elegi
: mati

Puisi Duri Duri Dam

Pak, putra putri kita selalu saja bermain.
Si Buyung tak hanya meneliti puting beliung, tapi juga ahli merayu dan memilin puting perawan ting-ting.
Sedang Upik,yang biasanya ongkang-ongkang kaki makan kripik sambil nonton duyung atau doraemon, kini sudah lihai selurup ujung kondom dan rutin suntik hormon.

Sungguh hebatnya mereka.Dari Ibtidaiyah, Aliyah mereka belajar yang namanya falsafah akhlak dan aqidah.Tapi saat orang tua melarang keluar rumah, mereka lupa tata krama.
Di jawabnya,’Ini jamannya anak muda berdisco, clubbing sampai nungging-nungging, bukan era pingitan ala putri Solo atau dikebiri layak anak kambing”.
Ah, pintar benar Buyur Upik menampik.

Menarilah dan terus tertawa
Meski dunia tak seindah surga...

Anak kita memang luar biasa.kesana kemari selalu tertawa.
Tak lagi pemuja bahkan peduli terhadap Miyabi.Tapi malah menggandrungi dan terus mengagungkan si Ryan dari Jombang.Bahkan sekarang, perempuan berani makan perempuan.Kata orang itu yang disebut lesbian.
Perlahan seorang Bapak mulai gencar memburu wanita-wanita pujaan, yang tubuhnya sudah seharga jajanan pasar, koran-koran emperan, juga VCD bajakan.Dan Ibu-ibu sudah keranjingan dengan arisan, sebab acara puncaknya adalah lelang para gigolo.Tak ayal anak-anak kita berlaku ala Surti-Tejo.
Menggelar tikar di tengah ladang, mendominasi sudut-sudut pematang tempat sang kodok biasa jongkok. Ah, benar-benar lucu tingkah laku anak-anak kita itu.Mengartikan cinta seharga nafsu gilanya.

(Duri duri dam dam duri duri dam...., backsound terakhir atas kekacauan yang terjadi disuatu malam)

Aku Rindu(Padamu Cah Ayu Lambang Merbabu)

Untukmu--Cah Ayu berdagu kemayu
Putri penggugah rinduku
Ku terabas hutan penyemai ketakutan
Ku sembunyikan sejarah napak tilasku
Di sela bongkahan batu berlubang itu

Lalu kutemukan kau
Pada tiap patah ilalang
Di alur syahdu dedaun pinang
Pun di tanah,
Bekas tapakku melangkah.
Ah, sungguh rindunya aku padamu

Demimu - -Gadis pengelana mayapada
Pendaki gunung tak terperi
Bahkan nyawaku sudah tak kuanggap berarti
Bergelayut mengingin mati
Mencintaimu : Abadi

/Di Selo kutahu roh kembara kita akan bertemu

Sebab kau,adalah perlambang ayu puncak Merbabu
; abadi sesantun gemercik air.tirtha alam perasuk tenang

Dan sebab aku,pengandaian sakral sang Merapi
; Sejati dengan naluri berapi.agni yang murni/

Kung

Sudah ku ikat di palang atap
; Rampai silsilah yang belum rampung kau sadur itu

Sedang canang, bertumpang arang kemenyan
Tempayan lempung di dapur
tengah kuendapkan di selokan--dawuh terakhir darimu

Juga keramatnya hari adalah palsu bagimu
Menyekutu
Hingga tak perlu adat sesaji
Pun sesembahan berpatung batu

Pahing bertemu kliwon,
Khalayak bilang adalah bala dalam hukum primbon
Tapi kau tetap kau--putu dari darah patih dan kanjeng Putri
Dan kau biarkan neptu putramu bersatu dengan marga menantu
hingga waktunya,pada mayapada terlahirlah aku

Sejenak kugelar segenap trap nama leluhur
Lalu
Di pojok gardu,antara bakung di dukuh lereng Merbabu
Karenamu,kucabut palang silsilah dari atap pintu
Kemudian
akan kutelusupkan dibantal anak cucuku

( Kung,adalah risalah terakhirmu
ketika jaman pudarkan sejarah dan Kung bertuah
: Kun Fa Yakun )







catatan khusus : Ini untukmu--orang yang mengajariku agar tidak melupakan silsilah&sejarah. Eyang kakung, R.Sastrodiwirdjo (alm).

*(Kun Fa Yakun--Jika harus pudar, maka pudarlah.
Tapi semoga saja silsilah itu takkan pudar,hingga anak cucuku nanti)

Untukmu, Pria Bersorban dari Pakistan.

; Arya

Sebab dulu
kutahu lewat sela lipat sorbanmu
Senja telah sujud di bukit Uhud

Juga pada celah atas jubah,
antara Shafa dan bukit Marwah
Kulirik kau menyelip kelopak mawar kering
Dan sebelah anting bermata biru

sebab itu
Ada sumpah dalam tapak jagadku
kasih yang berlabuh,gemuruh rindu yang bertabuh
hanya kuhibah atas namamu

Untukmu,kekasih Tuhan dari Pakistan
Di tepi hilir Musi ku nanti seperangkat mahar

(Sebab dari Jabal Marwah,
kutahu cintamu juga rebah terhadapku
kelopak mawar kering, pula anting bermata biru
itu milikku..)

Sembilan Depa Dari Depan Biaro Bahal

Kemudian,
sembilan depa dari depan biaro
ku terawang samar wajah Romo
Titis yang meninggalkanku
kental sembilan bulan dalam rahim

Lewat jejer stupa, pula samping rata baris arca
ku katakan padanya
: Ini, kubawakan abu rindu milik ibu
Yang sewindu kusimpan rapi dalam kendi

Buang abu jasad itu di pelataran biaro Bahal,
Atau tuang saja di parit dangkal
Sebab di sana,
Awal mulaku jatuh, tetas di dasar buana
; sebagai piatu

Duratmaka

Ingsun tresna
Dalu ing Semeru
Cemeng!

Setan Alas

Pejantanku...

Diriak lembab air matamu menetes
Ada apa sayangku?
Berhentilah!
Tak usah kau semburkan tangis iblis seperti itu

Dirembang petang ucap manismu menetas
Untuk apa sayangku?
Ah,bicaramu fasih benar berlogat setan
Terjebak muak dibuatnya

Pejantan angkuhku..

Hasratmu terlalu angkara terhadapku
Berhentilah memburu!
Laras senapan dibelakang pintu
Sudah bersiap melempar jauh setan alas sepertimu

Antara Kita, Terhalang Cinta Kudusmu

Bunyikan lonceng itu sekali.
Sebab padamu, telah genap segala tutur
Bahwa tak mungkin kuselip salib di satu ujung kerudungku.
Pun mustahil pada bawah sajadah kusembunyikan abu dupa kebaktianmu.Matur maafku padamu, Hai Putra yang indah bersama cahaya kudus Sang Kristus.
Sebab pada empat tiang cungkup leluhur,sudah ku ikat sumpah.Aku putri kemayu dalam pingitan, tetap akan diam dalam suci pada satu alir darah turunan sufi.
Sejenak bahana burung gereja berkoar, lonceng sakral telah dibunyikan.
Dan pada denting ketiga nyaring gema keenam..
Ku tasbihkan : kening cinta kuikhlaskan rebah di jalan Islam

(tempatku di sini, membenah jilbab sebagai hijab bertafakur luhur)

Sebab Aku, Ingin Syahid Bersama Jihadmu

; Baskara

Sebab kasihmu, aku menunggu tujuh setengah sasi berlalu
Beranjak dari balai candidasa
Ku katon wajahmu di riak jambangan,
Disela arca pancuran, pula pada kelok keraton berpatung trah purtra bangsawan

sebab rindu, kubasuh air sembahyang dari sucinya petirtaan
"ingat aku, dalam khusyuk masyuk sujudmu"
kenangku akan sejarah titahmu itu.

Di sana, entah dimana
Jihadmu telah menyentuh ulu hatiku Hai satria pemuja syahid keabadian
Dan padaku, tampuk reinkarnasi srikandi jatuh berawal
pedang, keris, pun tabuh genderang perang pada segenap mungkar yang dulu pernah kau dalilkan
sudah pula kutanam di benak,dalam satu hijab
: jilbab dan kitab

(Karenamu, mungkar bagiku tak ikut berperang di Jalan Tuhan.Dan laknatku, jika tak syahid dalam jihad bersamamu. Dariku yang mencintaimu, Duhai ksatria kekasih Tuhan..)



catatan khusus : masih dam satu proses dan nafas yang sama.
dan lagi-lagi, ini hanya ketertarikanku memahami waktu..
(teinspirasi dari istri para tereksekusi mati bom bali)

Pada Kita, Takdir Cinta Bercanda

Di sini tak ada tembang kemayu Kanda..
Hanya lagu melayu berjumpalitan, mendayu di sela-sela dedaunan tak bertulang
Tak ada dipan berkayu jati atau pun mahoni berpahat rapi di sini,
Hanya sebuah bangku berlapis sengon dengan sandarannya dua sulur batang bambu
Itu pun sudah mulai rapuh berdebu..

Tak ada apa-apa di sini Kanda...Kau hanya akan menemui aku.Gadis penjaga tungku yang biasa kau sebut dengan Dinda nun ayu...
Yang tanpa ritual penobatan telah kau daulat aku sebagai putri tercantik seluruh negeri
Ah, sungguh terlampau legam muslihat cintamu Kanda.Di pematang sawah ku jamah setampuk gabah.Kupikul menuju pulang.
Ku letakkan di bawah atap rumbia berubin daun kering tanpa gairah warna
”Untuk apa Dinda?” tanyamu waktu itu
”Mengabadikan cinta”. kau merenung. Sebab kau kenal aku Kanda, ..
Aku akan berdiam tanpa laku , hingga kau mampu menafsirkan semua
Tanpa harus aku pula yang mencecer maksudnya
Kau diam...
Dan aku, diam-diam menyulut api itu sendiri
: di belakangmu

Sekarang sungguh telah hampa di sini.Tak ada apa-apa..alpa tanpa sisa...Hanya kepul asap pengap berblingsat di udara
Kanda...
Mengabadikan takdir cinta memang tak harus ini jalannya.Tapi, ucap kerabatmu yang sungguh beradab pun lekat adat memaksaku melebur tubuhmu juga aku untuk satu
: jadi abu

”Tak butuh yang namanya cinta..sebab pria yang kau sebut Kanda hanya akan ada pada garis penerus tahta.Dan padanya tercipta harta...
Sedang wanita, telah kami siapkan pada setiap depa tepi gerbang penyambutan kehadirannnya.. Sebelum kau terbakar sesal dan hangus maki nestapa
Pergi! tinggalkan ia.. Dan ingat, cinta bukan alasan untuk takdir menyatukan kalian...”

Garis Keturunan

Padaku,
Terendus garis trah kerajaan (darah dari titis magis tak sempat dibaptis)
Sejarah mengulang,
Putri tak hendak diikat di puri

Aku pergi
Lepas nama Kutai, gelar kisah pada bumi Kuta melandai

Padaku,
Tak ada lagi adat peradaban usang
Hanya titis trah merembes tetes lewat darah--warisan yang tak bisa kuhapus hingga jaman penghabisan

Silsilah hanya tinggal kertas kusam berlubang
Melintang di tiang bambu tengah tanpa atap
muntab,lenyap
terhisap waktu pun selaksa prajurit tak bersayap
: rayap

Baginya, aku hina di Hindustan

; Padma

Bilang padanya--pria yang sejatinya berakar di tanah Jawa
Padaku tak ada kain sari,mahendi,pun bindya di kepala
Cadarku masih utuh separuh menghijab di wajah

Tak usah ia tuang abu kerudung itu di ranjang
Percuma..
Buang saja di persemayaman riak gelombang laut selatan
Biar angin darat menghanyutkannya
Mungkin bisa mengembalikannya pada sejarah tua di Hindustan
; sama saat ujung sebelah kerudungku,basah begitu ia menampik rindu

Padanya,
Katakan aku rindu tembang macapat
Maka saat abu dari jasadku yang sempat dihinakannya menapak
Cepat kubur aku
Atau tanam di bawah gandapura,sebelah tangkai padma
Di belakang rumahnya

( ; Padma
Air muara gangga saksinya.aku tetap setia memegang satya
: aku masih suci )

Tragedi : Sari--Adi (Pati)

Adi mencintai Sari
; pati

Adi rindu layak sayang bulan Sura
; pati

Berblingsat ia,teriak di tengah kota
Bukan di Kudus,tak pula Jepara
;melainkan Pati

Adi waspada terhadap pati
sebab Adi ingat janji
(untuk masih) mencari sari
; dari Pati

Hilanglah tampuk mahkota sang adi--pati
Tergeletak
Retak
Kuak muka seri sang Sari

Padanya ,Gerhana Di Atas Pura

Bermula dari mimpi

Syahdan kata-kata sungkur melipat makna
Katanya,
Bejana bertampung orok jaddahnya
Janin putera sang berhala
adalah petaka
; bencana teramat nyata

Berkisah tentang mimpi(lagi)

Lamat terkelindan rasa dibenak
Tak percaya bodhong dipusarnya
adalah tanda
; ia nakal, binal
Sebab ditangan putih berkuku bersih
Ada canang penuh wewangi kembang

Mengulang awal bermimpi tentang mimpi

Fakta tak dinyana
Lewat separuh tiang pura ia menghadap
Suara halus,eluh meluluh ulu
"aku titisan darah musi,
merajang,mengerang di kota hujan
hingga terhibah hadiah mewah
katanya
: jabang bayi jaddah,

bertaut merunut mimpi(yang takkan ada akhir)

Pada buncitnya,
Kulihat seribu purnama hendak tertawa
Di dalamnya mengenyambah seruah berkah
Dan padanya,
Maaf,terhambur lacur
pecah ketuban saat bulan tengah ketiduran

(selamanya,segalanya,selalu adalah awal bagi mimpi)

Rindu tirtha Sang Bathara

Tak ada tirta..
Menyendat ia dalam pipa-pipa rawa
Lama tanpa nyawa

Mana tirta..
Tersumbatkah ia pada mulut,ketiak,paha atau selangkang para dewa?
Atau terkecam mumbulkah ia sebab murka sang Bathara?

Sudah setengah lingkar dasa warsa
(masih) tak ada tirta...
Pada undak Pura Dasar Bhuana aku terkesiap iba
Terserap di sana kepul serbuk dupa
Pun sekumpul doa tersiar dibalik bilik pendapa tua
Oh Sang Hyang Widhi,berkarib dua gerhana pun tujuh kali purnama kami di sini
Cangkir itu belum pula hendak Kau berkahi isi

Di loka mana sebenarnya menyumber tirta?
Kemana pula alir tirta bermuara?
Pada dhaksinakah wajib kami berlari??

Duhai Betara Agung,buih di mulut sudah tak berujung
Kelopak pun malas sudi bersenggama airmata
Segenap wangsa merana dahaga
Hanya sisa satu ucap menyembul
"Turun tirta.. turun saking luhur.
muncrat mumbul sami pada lebur "

Pada undak kedua Pura Dasar Bhuana,
(Terserak kertas beraksara caraka)
‘Airmatamu
: Tirta abadinya Sang Hyang Widhi’

Darah Trah Dewata

Sesemat kata muncrat di angkasa
Termaktub kesumat lupa tak tersebut
Ksatriaku, (yang hidup terlingkup megah nirwana)
Disinilah aku,(yang menelungkup dalam griya rumbia)
Mari cinta...,kita tertawa
Menabuh genta tak bernyawa

Ini cemeti,
Yang ini belati..
Dengan mana kita pilih mati??
Tak perlu cawan menadah darahmu
Tuang saja ke mulutku,biar kucium anyir itu
samakah dengan amis punyaku.

Jubah tak senama,(yang kaummu sebut sahaya--sudra)
Telah ku koyak di pinggiran jalan
Sekarang,
aku telanjang!
Tak berkasta

Kemari cinta...
Ini prasasti, sudah kuukir tadi sembari menggurat nadi
Dan ini peti mati..
Tempat kita bergelinjang malam pertama nanti

Mari cinta,Kemarilah sang ksatria..
Bahanakan kesumat kita!
Kesumat cinta berkalang kasta

Lalu pada prasasti akan termaktub kata sejarah
'Darah trah dewata tumpah di tanah sudra'

Peziarah Yang Tak Sempat Singgah

Tepekur aku di batu hitam
Menggerayang lembut wangi batang cempaka
Candhik kala memangku mesra rinduku
Duh Gusti...
Sudah kutulis cinta di satu nisan
Pun kusiapkan sayang dalam mahar selembar kafan
Kapankah pinangan ini Kau sambut??

Duhai langit,(penghulu penghalau kelabu)
Wahai bumi,(saksi setiap derak sujud meditasiku)
Menyibaklah sebagai hijab,biar terkabul satu ijab

Rumput--lumut--semut
Kuselip antara kalian sebuah cungkup
Malam--siang--petang...
Kutitip takdir akhirku pada kalian

Bias candhik kala menyilau mataku
Satu keranda berkelebat
Ranjang yang kuhampar
Pinggiran yang kuhias dengan batang cempaka
Juga cungkup berkayu cendana
Ditakdir untuk jasad orang lain

Duh Gusti Pangeran...
Candhik kala itu menabuh rinduku menjadi tetesan di batu hitam
Lalu seleret memberi isyarat

Duh Gusti!
Terkesiap aku sadar
Satu dari lima waktuku telat,terlewat!
Satu meditasi harus terkejar dengan ayat semburat
Inikah tanda kenapa belum sudi Kau ijinkan aku mati??

Tiga denyut nadi dalam dua tarikan nafas
Menyongsongku terhenyak ingat tentang jenazah tadi
Duh Gusti Pangeran,
Terhitungkah itu sebagai dosa

Jika pada chandik kala sudah tegas kuberkata
"Sampaikan maafku,aku hanya peziarah yang tak sempat singgah"...

Lembaran Mayang

Angin mulai gila
Mencari arah tak kunjung bertandang
Di ranah tak kukenal segaraku tumpah
Tanah pun berubah jingga,merona dijilat lidah senja

Tak ada pengakuan!
Aku diam,
Mengejan
Sebab karang membantah muntahkan bahasa petir

Mayang-mayang bertebaran
Segala kalam,
Terinjak, dihujat!
Oh Biyung..,kembalikan aku ke pangkuan

Di tanah lapang tak berhumus ini
Ku cari siapa aku
Ribuan bahkan beratus sajak yang ku tulis
Tak ada makna, tak ada membaca

Aku adalah penyair!
Yang bahasa jadi panah,Meski papa---nanah
melarat kata, kehilangan abjad
Kunobatkan diri jadi penyair

Oh Biyung..,kembalikan aku ke pangkuan
Sebab aku penyair
Yang karyanya laruh merenggut nyawa
Hanya untuk mencari sebuah pengakuan!

Teruntuk Ken

Ken

ken dur ------untuk sayangmu

du ri -----kau bagiku
ken
du
ri

ken

du

rin

du
Ken

ken du ri ---- kupaksa rasaku

kenduri ----kugelar atas matimu

( Untuk Ken,
Dariku yang merindukanmu...)

Siluet Kematian

Siluet kasih itu kupancang di tiang-tiang malam
Kulukiskan ornamen rindu dikubah langit selatan
Tetap tak bisa kucandra wajahmu pada mimpiku
Hanya semburat buram,suram,seram membayang

Kecewaku bergelinjang di serabut benak yang tak sejenak
Rindu ini,suka ini..yang dulu menderu
kini berselubung debu
kau kemana ke sana?Dimana kau di sana?

Antara surga yang kau buru dan neraka yang kau tak tahu
Aku pun terbias hawa barzah di atas dunia ini
Meski di telapak kaki bumi telah tertelungkup kening cinta kita
Pun kita menyimpuh sujud demi meraih restu dunia
Mati itu tak bisa dihadang

Dan kini pada belati kucium harum melati,
Aroma semerbak..
Perlahan mendekat,seketika menyergap
dan menggulungku dalam wangi kematian

Air niraku menetes,di tanah basah bercampur darah
"aku mencintaimu, hingga kematian menjemputku"
Ucapmu itu sungguh manis sayang...
Tapi sungguh sayang,bagiku itu tak berlaku

Sayang...
Aku mencintaimu,maka biarkan aku sendiri yang menjemput kematian itu
sekarang!

Pada belati tak lagi terendus melati
Ada anyir mengalir dalam satu hela nafas terakhir...

Prasetya Dewabrata

Pras..
Diantara huma dan ladang tak bernyawa aku singgah
Ada sebuah kastil tua yang kudirikan dengan pagar kesetiaan disana
Setiap sisi ruangnya kusepuh dengan tirai kasih tulus
Kupancangkan pasak-pasak harapan di tiap lekuk bangunannya
Pun tak lupa kuwarnai dinding-dinding hati dengan warna putih biru..
Warna yang kau bilang lambang dari kasih yang suci juga rindu

Pras...
Setengah windu Pras,
Setengah windu aku menunggumu
Dan tanah tak bertuan ini lah yang kau janjikan menjadi tempat kita bertamu dan bertemu

Pras...
Dihari ketujuh,pada pertengahan tahun sewindu yang lalu
Aku tak pernah lupa,saat itu bulan sedang tidak purnama
Dan kala itu lah,
Kau ucap sebait kalimat,yang lalu kuanggap sebagai prasetya
Sebuah janji yang pasti kau tepati
"Tunggu aku di kabisat kedua.Dalam tahun,hari,juga waktu yang sama"

Tapi Pras,
Kabisat kedua sudah lewat
Setengah windu itu sudah berlalu tepat tujuh hari yang lalu
Tetap saja aku tak merasakan kepulanganmu Pras..

Sebenarnya titah apa yang hendak kau bawa,
Dan akan kau haturkan pada siapa

Pras...
Sudah lenyapkah kesadaranmu
Sudah hilangkah separuh akalmu
Hingga kau tafsir titah tak bernama itu sebagai cinta
Lalu hendak kemana titah itu kau bawa?
Dan akan kau haturkan pada siapa?

Kau pergi dengan alasan untuk menyampaikan titah itu,
Lalu bagaimana dengan aku,
yang lebih dari setengah windu kau suruh untuk menunggu??

Di sini,
Diantara huma,ladang tak bernyawa,juga kastil tua
Telah kupahat prasasti dengan namamu Pras..
pun ku tuliskan riwayat Prasetya Dewabrata di sana
Lengkap dengan ukiran nelangsa juga goresan nestapa
Tidakkah kau tahu Pras?,
Prasasti itu ku ukir dengan pena cinta yan masih tersisa
dan juga tinta air mata...

Itu lah aku Pras...
Aku yang masih bertahan menunggumu
Aku yang tetap memegang janjiku kala itu,
"Ya,Aku akan menunggumu dikabisat kedua.bahkan kabisat ketiga,keempat dan berikutnya..."

catatan khusus : Arghh,sepertinya otakku sudah mulai berkarat Pras...
Apalagi hatiku, sepertinya memang ikut sekarat.
Aku kenal betul siapa kau Pras,bahkan caruk-maruk dalam ceruk hatimu aku pun bisa ikut merasakan...
Coretan ini adalah tentangmu Pras,
Ttg seorang "Dwi Prastiani", sahabat sekaligus saudara bagiku,yang saat ini menunggu Prasetya Dewabratanya.
Seseorang yang diharapkan mampu memegang janjinya/setia(prasetya).

Sabarlah Pras, Prasetyamu pasti datang.
meski tak bisa kupastikan prasetyamu akan hadir dengan wujud yang sama seperti sebelumnya ataukah muncul prasetya lain yang berbeda...