Izinkanlah Aku Untuk Percaya

Meski waktu tak banyak mengajariku cara menyimpan harapan
Meski kekalutan justru sering memaksaku menjerang air mata
Meski mimpi tak selalu bisa untuk kuraih semuanya

Meski kesendirian memberiku jarak paling dekat dengan sunyi dan rasa hampa
Meski ketidakberdayaanku menjadi dalih agar keberadaanku menjadi terpinggirkan
Meski akhirnya aku tahu, aku tak cukup kuat berjalan menempuh separuh kehidupan ini

Tapi izinkanlah aku untuk percaya,Tuhan..
Bahwa selalu ada Engkau yang peduli
Dan izinkanlah aku untuk percaya
Bahwa keajaiban itu ada
dan pasti akan terjadi

Kalaulah Boleh,Gitar Ini Kugadaikan..


Jika ada kau di sini mungkin pelan-pelan kamar tak lagi bisa di sebut sunyi, dan melankolia sepi yang hadir dari petikan gitar ini, tak lagi bisa menyayat penghayatanku sendiri.
Aku lebih memilih memainkan alat musik ini.
Memangkunya diantara paha dan dekapan dada, diantara rindu dan rasa ragu.
Aku memetik senar-senar tipis, memegang pick yang katamu bentuk bulatnya persis buah almond yang sangat kau suka, lalu mengenang tentang kebiasaanmu yang tiba-tiba menempelkan punggung ke belakang punggungku, membagi kehangatan.
Dan sambil bersandar ,dengan lugu dan bahasa dinginmu kau akan bilang, “ajari aku main gitar ..”

Seperti senar-senar yang bergetar saat kau petik dulu,
seperti bunyi nada-nada yang berdengung kemana-mana dengan irama yang tak teratur,
dan seperti suara gerak jari-jari tangan kirimu yang kaku dan ragu-ragu ketika menekan senar karena kau tak paham frets yang mungkin bisa mempermudahmu mencari not-not dan bermain dengan melodi,
Seperti itu lah aku.. gemetar, berdengung, kaku.
Betapa perasaan rindu memang terkadang memilukan..
Mungkin kita lupa untuk menghitung sudah berapa lama kita berjarak seperti ini,
Seperti halnya kita lupa, bahwa internet dan handphone lah yang selama ini menjadi dewa di atas kita. Menyampaikan kegundahan, ketakutan, dan kemarahan melalui layanan pesan pendek di handphone. Mengungkap rindu, kesal, bosan, lewat email, status facebook, twitter, atau akun-akun lain.

Betapa kita mampu bertahan karena semua itu hingga saat ini.
Lalu di sini, di suatu hari yang aku ingat betapa tanganmu begitu hangat saat menepuk pundakku, yang tanpa sadar kau menjadi satu-satunya nama yang paling sering aku sebut menjelang aku memainkan senar-senar gitar ini, menjadi hal yang membuatku semakin ingin menemuimu.. mendatangimu,
Lalu menempelkan dingin punggungku dengan punggungmu.
Saling menyandarkan diri,menghangatkan diri,
 lalu aku yang akan terlebih dulu bilang, “ajari aku mengatur rindu….”

 -- Kalaulah boleh, ingin kugadaikan saja gitar ini sekarang Lalu menggantinya dengan waktu berdua denganmu. lebih lama.. Sampai aku tahu bagaimana caranya mengatur rindu --

Dalam Geming

Kau mau bagian tubuhku yang mana yang ingin kau lukai?
Kau perlu pisau atau pecahan beling untuk melukai?
Aku harus duduk ataukah berdiri untuk menunggu dilukai?
Aku harus menghadap utara ataukah selatan biar gampang terlukai?
Katakan saja.

Lukaku sudah terlanjur menganga.
Sedikit tusukan atau goresan takkan lagi ada artinya.
Tusuk bagian yang ingin kau tusuk.
Hujam segala bagian yang masih bisa terhujam
Bila nanti aku telah mati rasa
mati suri atau telah benar-benar mati
 kumohon, sekali saja. terakhir kalinya
basuh sedikit lukaku dengan setetes air mata,
milikmu

Membingkaimu

Melihatmu seperti ini yang kusuka..
Mengambil gambarmu dari belakang, membiarkan ilalang terbang ke ujung gaun
Tapi melihatmu seperti ini, sekaligus hal yang tak kusuka

Membiarkanmu hanya tampak punggung
Seakan hendak pergi untuk kesekian kali
 Ingin kubingkai kau, dalam tiap mimpi setiap hari

Ketika Masanya Tiba

Aku ingin menikah

Dengan mahar
Sebuah gaun dari kafan

Berpenghujung Bulan

Desember
Mula dari lotus mekar di telaga
Awal siluet pancaroba mampir didua bola mata
Dan debu-debu yang menempel dibulu-bulu matamu mengantar lagi sebuah kepergian

Ah! Sungguh singkat pertemuan kita

Takdirku Tak Bisa Bertamu

Aku mengetuk beberapa kali
Di depan pintu hatimu
Tak ada jawaban, nihil balasan salam

Aku lelah berdiri
Aku pamit pergi

Senja di Stasiun Tugu

pukul 01.00 WIB


Aku tunggu
di stasiun tugu

Buku Kedua. Dan terlahirlah ia dengan nama : TRAH

Buku ini dipersembahkan untuk dua orang paling agung dalam hidupku :

R.M Sastra Diwirja (alm.)
Lahir 01-01-1888, wafat 17-06-1996
Dan
R.A. Koesnia
Lahir 01-01-1930


ini bukti, ketika tak ada lagi yg bisa kulakukan untuk menghargai sebuah kenang,
selain membukukannya



Untuk awal dari segala sesuatu, pun pada akhir tiap perjalananku, selalu ada rasa terimakasih dan sujud syukurku pada Allah SWT. Tak terkecuali rasa terimakasih kepada kedua orang terkasih yang benar-benar agung di mataku, Eyang kakung dan Eyang putri. --Sastradiwirja & Koesnia
Dua sosok yang menjejaliku dengan pengetahuan tentang rupa adat, tata krama, darma, dan mengajarkan betapa manusia sungguh papa jika berada di hadapan-Nya.
Inilah titik awal aku akan berkisah tentang sekelumit perjalanan hidup, roman-roman keterpurukan, kemiskinan, ketidakberdayaan,dan sebuah perbedaan kebudayaan yang dulu pernah kulihat, kunikmati hingga akhirnya mengendap padat mungkin hingga alam bawah sadarku.

”Bacalah kisahku, sebelum nanti aku memutuskan untuk mati”

--Aku lahir dari sebuah peradaban lama, yang diantara tubuhku berhiaskan penuh bunga padma, mekarnya kelopak kamboja, tangkai gemulai teratai, juga mawar yang beradu padu di pinggiran kolam air tawar. Apa kau percaya?--

Merunuti ceritaku adalah sama dengan mengintip masa-masa lampau yang khas dengan hal-hal kuno, lawas, yang jarang atau mungkin bahkan sulit dipercaya.
Darah Trah Sastradiwirja mengalir dalam tubuhku. Darah yang kental akan adat budaya tua, dan religi islami yang benar-benar ketat buatku.
Seringkali pada masa kecil aku dihadapkan pada sesuatu yang memang sangat berkesan, berjalan kaki beberapa kilometer dengan menyusur sungai di sebuah desa menuju makam yang ada di lereng gunung, makam Kakek Gliman katanya, seseorang yang telah membabat hutan hingga akhirnya menjadi sebuah desa. Juga belajar mengasah parang, keris, membantu memasak jenang Suro, jenang Safar di bulan Safar, pengajian, bahkan lebih banyak mengunjungi keraton, makam-makam Sunan, raja-raja, atau pun makam leluhur, daripada diajak shopping, jalan-jalan ke taman bermain, atau tempat-tempat yang sudah modern.
Mereka, yang biasa kupanggil Eyang putri dan Eyang Kung, lebih mengarahkan untuk mengenalkanku pada kehidupan-kehidupan lawas atau kuno seperti itu. Yang sekarang bagiku cukup dirasa memiliki unsur-unsur magis, mistis tersendiri jika mengingat semuanya.

Pun dulunya, aku pernah cukup lama menjalani masa kecilku di sebuah pulau yang adat budayanya lebih nyata dan eksotis, Denpasar-Bali. Bersama seorang wanita sepuh yang merupakan nenek dari ibu,
--Eyang Buyut - yang kupanggil beliau dengan sebutan Dadong Bali

”Di Jimbaran
Aku masih hafal betul gamang suaramu
Betapa rutin kau memangku. Pun renyah tawamu begitu tahu
−aku mencuri sajen di atas-atas gapura, undak-undak griya
Di halaman, bahkan depan sebuah pura
” (Sajak Teruntuk Dong Bali)

Dari sana lah berbagai macam tradisi,adat budaya baru, tempat-tempat yang bernuansa rupawan, pelan-pelan mulai kuperhatikan. Aroma Pulau Bali seperti benar-benar melekat dalam indera penciumanku. Terlebih lagi suasana di Pura Besakih.
Begitu pula dengan tanah Jogjakarta, yang acapkali membuatku tertarik pada sesuatu hal yang terkadang bersifat ’sakral’, mistis, serta unsur-unsur budaya yang begitu tajam dan mendalam. Pojok-pojoknya hampir semua bisa kuhafal.Suasana dingin di kawasan Kaliurang, adalah hal terdamai yang kurasakan tiap kali harus menginjakkan kaki kembali di tanah itu. Tanah penuh seni. Tanah sastra.

Memang tak banyak yang bisa kuingat dari semua hal yang kulalui dulu,tapi justru karena itulah, dari semua hal-hal usang dan perjalanan silam yang pernah terlewati itu, alam bawah sadarku secara reflek menemukan sebuah perasaan takjub tersendiri setiap kali aku harus melihatnya kembali di saat seperti ini. Ada rasa seolah-olah dulunya begitu dekat dengan hal tersebut, merasa tak asing dengan suasana itu.
Aku sangat menyukai suasana-suasana klasik tersebut, karena dengan begitu aku bisa dengan mudah kembali merasakan betapa dekatnya aku dengan masa-masa silamku yang sarat dengan keunikan dan keluguan diri dalam menghadapi dinamika kehidupan kala itu.
Mungkin hal itulah yang kemudian membawa pengaruh mencolok pada sebagian besar coretan-coretanku yang berupa sajak di buku ini. Meski tak bisa dipungkiri pula bahwa sebagian lagi adalah realita-realita pengalaman yang banyak kudapatkan di kota-kota besar lainnya.

”Bacalah kisahku, selagi aku masih mau memberimu waktu”

--Aku adalah perempuan yang beranak sajak. Yang setiap hari kusuapi, kususui, dan kutimang ia dalam imajinasi--

”Kenapa kau menulis sajak? Apa yang kau dapat dari menulis sajak?”
Ah, tak banyak yang bisa kujelaskan ketika ada orang yang menanyakan hal itu kepadaku. Tapi akan kucoba menjawabnya...

Mungkin karena aku tak berbakat menjadi seorang pelawak, presenter di sebuah stasiun televisi , atau aktris sinetron (meskipun aku berkutat dengan yang namanya dunia teater), maka kupilih saja menulis sajak. Yang setiapkali bisa memberikan kebebasan padaku untuk bercerita tentang apapun yang kumau, dan kapanpun aku butuh.
Alasan yang cukup sederhana bukan?

Aku mendapatkan kebanggaan dan kepuasan dari proses menulis. Ya meskipun ia tak memberiku sebuah piala atau piagam penghargaan karena keberhasilannya membuat para pembaca terbahak-bahak, terisak-isak atau paling tidak menitikkan air mata, tapi aku tetap puas dan bangga. Karena seburuk apapun ia,
ia tetap anakku.
Anak yang kujaga sejak berupa janin hingga akhirnya lahir dari rahim imajinasiku.
Yang nantinya akan kuperkenalkan ia pada dunia luar, dunia yang mungkin akan menertawainya, mencibirnya, atau mungkin saja akan sedikit menyanjung ,mungkin juga sudi belajar mencintainya.

Tak banyak yang kuharapkan darinya, selain menginginkannya mampu menyuarakan keharuan dan sisi dramatis perjalanan hidupku ketika nanti ia telah berada di tengah orang-orang yang bisa menghargai keberadaannya.
Menghargai setiap sisi kehidupan yang coba ia uraikan nantinya.

Dan aku hanya akan tinggal diam di ruang 3x4 ini.Menunggunya pulang, mendekapnya, lalu mendengarkan ceritanya,tentang tempat mana saja yang rampung dijelajahinya, sudah berapa orang yang kenal dirinya, dan sudah sejauh mana ia mengenal orang-orang di sana.


kanthi kersaning tyas,



*Silsilah : asal-usul suatu keluarga berupa bagan; susur galur (keturunan)
*Trah : Sekelompok individu yang saling memiliki hubungan kekerabatan (silsilah) satu-sama lain

Pupus

Pastikah berujung segala yang tumpul?
Seperti pensil yang tajamnya kian mengecil
Rindu kita terlipat begitu saja
Dan rasa sayang hangus sebelum masa membakarnya
Dan rasa-rasa lainnya turut tumpul
Menemukan ujung sebelum terbiarkan lebur

Mencintaimu Adalah Racun Bagiku

Bisakah aku minum darahmu?
Menggantikan anggur yang gagal kubeli minggu lalu.
Bisakah? Jika tak bisa, bisakah sekali saja untuk bisa?

Biar tak lagi kuminum anggur, yang katamu adalah racun
Maka gantikan ia dengan darahmu saja.
Bukankah,telah kau simpan racun serupa didalamnya?
Jika tak bisa meski cuma sekali saja
Maka diamlah!
Bagiku, kau sudah terlanjur menjadi lebih racun ketimbang sebotol anggur

Mandalawangi

Dalam dua kali dua puluh empat jam
aku berucap
"Aku ingin ke lembah kasih
mandalawangi"

Tapi masih juga tak kau acuhkan
Kau lebih memilih memunguti daun-daun kering depan pintu
atau menyapunya hingga ujung pagar
Melupakanku

Badai Yang Belum Usai

Tik-tok di dinding beradu dengan tik-tik-tik di genting..
Badai yang terjadi kali ini mengusir kantuk
Menggusur tempatku duduk

Badai yang tak ramai
badai berderai
Badai kali ini entah kapan usai

Cinta Itu Sudah Purba, Sudah Purna

Sebentar saja kubiarkan kau melihat senja itu di mataku
bahwa segala yang kau tinggal telah semakin menua

dan akar-akar cinta sudah lama pula meranggas,
rindu melumer, kenang-kenang sudah purna kuhilangkan dari kepala
atau pun harapan yang menggulung dulu
sudah tuntas dientaskan

bahwa puisi-puisimu tak ada lagi
di kantong bajuku
pun di tas dan sela buku harianku
Apa kau tahu?
api-api kecewa membakarnya sekejap

Sebentar lagi, akan kubiarkan kau menatapku sekali
biar mata rabun ini membiaskan betapa cintaku sudah berubah senja
sudah purba
sudah purna

BEDA

Matamu
Mataku
Tak saling tuju

Undangan Perjamuan Sederhana

Aku mengundangmu pada sebuah perjamuan sederhana.
Sudah kusiapkan anggur, sirup, atau arak bali, paling netral hanya air putih yang kusediakan dalam cawan paling besar.
Perjamuan yang sengaja kugelar dalam malam yang sama sekali tidak bingar.
Di bawah sinar bulan. di bawah kurungan kelelawar, diantara seribu kunang-kunang liar.
Kau hanya perlu bertandang. Tak usahlah bertanya untuk apa perhelatan ini kurancang.
Kau hanya akan mengetahuinya jika telah sampai diakhir acara.

Dimalam yang esoknya mungkin akan terjadi bencana besar-besaran.
Dimalam yang esoknya bisa saja terjadi hujan meteor terdahsyat. atau peluang terjadinya reformasi atas segala hal yang dianggap mutlak. Ataupun terjadinya pemboikotan massal, atas upaya sekelompok orang yang sangat kukuh berperilaku transgender dan transeksual.yang katanya dalam berbagai level sudah melanggar norma kultural.
Dimalam yang tak siapapun tahu pasti, akan terjadi apa esok hari, telah kukumpulkan kau dalam ruang labirin ini.  Yang pagarnya telah kuikat dengan senar-senar gitar yang kukumpulkan sejak silam. biar kau tak kabur keluar. Kulapisi lantainya dengan alas dari kertas-kertas yang dulunya kau tulisi bermacam sajak, naskah, dan puisi.
Lalu pada dindingnya kuletakkan gambar-gambar yang kau lukis juga ornamen2 khusus. Dengan saputan cat yang nyaris mulus.mengkilap hampir tanpa cacat. Dan dibelakang, sudar kuputarkan piringan hitam.
Kupilih musik blues. Sebab darinya, rentak musik lain ikut berirama di dua gendang telinga, cahaya-cahaya cinta bertebaran, dan berkelebat bebas tepat di depan inti retina.
Juga kembang-kembang padi mulai mekar belum saatnya, dalam bayang-bayang yang hidup disaraf kepala. Maka tak kulewatkan kau untuk juga hadir di malam ini. Malam perjamuan sederhana..
Yang diundangannya cuma kutulis :

 " Perjamuan ini tak lebih dari sekedar 'dolanan'.
Ajang mengulang kenang. Mencatat apa-apa yang terlewat. 
Bukankan rengekan kita masih serupa bocah yang rindu untuk menjajal permainan baru..? 
Maka, untuk malam ini saja, telah kugelar perayaan. 
Perjamuan atas kau sekalian.Perhelatan perdana kita. 
Dan biarkan, dolanan kita malam ini berakhir dalam sebuah prosesi meditasi.. 
membayangkan kembang-kembang padi mekar sebelum saatnya, dalam otak kepala kita."

Izinkanlah Aku Untuk Percaya

Meski waktu tak banyak mengajariku cara menyimpan harapan
Meski kekalutan justru sering memaksaku menjerang air mata
Meski mimpi tak selalu bisa untuk kuraih semuanya

Meski kesendirian memberiku jarak paling dekat dengan sunyi dan rasa hampa
Meski ketidakberdayaanku menjadi dalih agar keberadaanku menjadi terpinggirkan
Meski akhirnya aku tahu, aku tak cukup kuat berjalan menempuh separuh kehidupan ini

Tapi izinkanlah aku untuk percaya,Tuhan..
Bahwa selalu ada Engkau yang peduli
Dan izinkanlah aku untuk percaya
Bahwa keajaiban itu ada
dan pasti akan terjadi

Kalaulah Boleh,Gitar Ini Kugadaikan..


Jika ada kau di sini mungkin pelan-pelan kamar tak lagi bisa di sebut sunyi, dan melankolia sepi yang hadir dari petikan gitar ini, tak lagi bisa menyayat penghayatanku sendiri.
Aku lebih memilih memainkan alat musik ini.
Memangkunya diantara paha dan dekapan dada, diantara rindu dan rasa ragu.
Aku memetik senar-senar tipis, memegang pick yang katamu bentuk bulatnya persis buah almond yang sangat kau suka, lalu mengenang tentang kebiasaanmu yang tiba-tiba menempelkan punggung ke belakang punggungku, membagi kehangatan.
Dan sambil bersandar ,dengan lugu dan bahasa dinginmu kau akan bilang, “ajari aku main gitar ..”

Seperti senar-senar yang bergetar saat kau petik dulu,
seperti bunyi nada-nada yang berdengung kemana-mana dengan irama yang tak teratur,
dan seperti suara gerak jari-jari tangan kirimu yang kaku dan ragu-ragu ketika menekan senar karena kau tak paham frets yang mungkin bisa mempermudahmu mencari not-not dan bermain dengan melodi,
Seperti itu lah aku.. gemetar, berdengung, kaku.
Betapa perasaan rindu memang terkadang memilukan..
Mungkin kita lupa untuk menghitung sudah berapa lama kita berjarak seperti ini,
Seperti halnya kita lupa, bahwa internet dan handphone lah yang selama ini menjadi dewa di atas kita. Menyampaikan kegundahan, ketakutan, dan kemarahan melalui layanan pesan pendek di handphone. Mengungkap rindu, kesal, bosan, lewat email, status facebook, twitter, atau akun-akun lain.

Betapa kita mampu bertahan karena semua itu hingga saat ini.
Lalu di sini, di suatu hari yang aku ingat betapa tanganmu begitu hangat saat menepuk pundakku, yang tanpa sadar kau menjadi satu-satunya nama yang paling sering aku sebut menjelang aku memainkan senar-senar gitar ini, menjadi hal yang membuatku semakin ingin menemuimu.. mendatangimu,
Lalu menempelkan dingin punggungku dengan punggungmu.
Saling menyandarkan diri,menghangatkan diri,
 lalu aku yang akan terlebih dulu bilang, “ajari aku mengatur rindu….”

 -- Kalaulah boleh, ingin kugadaikan saja gitar ini sekarang Lalu menggantinya dengan waktu berdua denganmu. lebih lama.. Sampai aku tahu bagaimana caranya mengatur rindu --

Dalam Geming

Kau mau bagian tubuhku yang mana yang ingin kau lukai?
Kau perlu pisau atau pecahan beling untuk melukai?
Aku harus duduk ataukah berdiri untuk menunggu dilukai?
Aku harus menghadap utara ataukah selatan biar gampang terlukai?
Katakan saja.

Lukaku sudah terlanjur menganga.
Sedikit tusukan atau goresan takkan lagi ada artinya.
Tusuk bagian yang ingin kau tusuk.
Hujam segala bagian yang masih bisa terhujam
Bila nanti aku telah mati rasa
mati suri atau telah benar-benar mati
 kumohon, sekali saja. terakhir kalinya
basuh sedikit lukaku dengan setetes air mata,
milikmu

Membingkaimu

Melihatmu seperti ini yang kusuka..
Mengambil gambarmu dari belakang, membiarkan ilalang terbang ke ujung gaun
Tapi melihatmu seperti ini, sekaligus hal yang tak kusuka

Membiarkanmu hanya tampak punggung
Seakan hendak pergi untuk kesekian kali
 Ingin kubingkai kau, dalam tiap mimpi setiap hari

Ketika Masanya Tiba

Aku ingin menikah

Dengan mahar
Sebuah gaun dari kafan

Berpenghujung Bulan

Desember
Mula dari lotus mekar di telaga
Awal siluet pancaroba mampir didua bola mata
Dan debu-debu yang menempel dibulu-bulu matamu mengantar lagi sebuah kepergian

Ah! Sungguh singkat pertemuan kita

Takdirku Tak Bisa Bertamu

Aku mengetuk beberapa kali
Di depan pintu hatimu
Tak ada jawaban, nihil balasan salam

Aku lelah berdiri
Aku pamit pergi

Senja di Stasiun Tugu

pukul 01.00 WIB


Aku tunggu
di stasiun tugu

Buku Kedua. Dan terlahirlah ia dengan nama : TRAH

Buku ini dipersembahkan untuk dua orang paling agung dalam hidupku :

R.M Sastra Diwirja (alm.)
Lahir 01-01-1888, wafat 17-06-1996
Dan
R.A. Koesnia
Lahir 01-01-1930


ini bukti, ketika tak ada lagi yg bisa kulakukan untuk menghargai sebuah kenang,
selain membukukannya



Untuk awal dari segala sesuatu, pun pada akhir tiap perjalananku, selalu ada rasa terimakasih dan sujud syukurku pada Allah SWT. Tak terkecuali rasa terimakasih kepada kedua orang terkasih yang benar-benar agung di mataku, Eyang kakung dan Eyang putri. --Sastradiwirja & Koesnia
Dua sosok yang menjejaliku dengan pengetahuan tentang rupa adat, tata krama, darma, dan mengajarkan betapa manusia sungguh papa jika berada di hadapan-Nya.
Inilah titik awal aku akan berkisah tentang sekelumit perjalanan hidup, roman-roman keterpurukan, kemiskinan, ketidakberdayaan,dan sebuah perbedaan kebudayaan yang dulu pernah kulihat, kunikmati hingga akhirnya mengendap padat mungkin hingga alam bawah sadarku.

”Bacalah kisahku, sebelum nanti aku memutuskan untuk mati”

--Aku lahir dari sebuah peradaban lama, yang diantara tubuhku berhiaskan penuh bunga padma, mekarnya kelopak kamboja, tangkai gemulai teratai, juga mawar yang beradu padu di pinggiran kolam air tawar. Apa kau percaya?--

Merunuti ceritaku adalah sama dengan mengintip masa-masa lampau yang khas dengan hal-hal kuno, lawas, yang jarang atau mungkin bahkan sulit dipercaya.
Darah Trah Sastradiwirja mengalir dalam tubuhku. Darah yang kental akan adat budaya tua, dan religi islami yang benar-benar ketat buatku.
Seringkali pada masa kecil aku dihadapkan pada sesuatu yang memang sangat berkesan, berjalan kaki beberapa kilometer dengan menyusur sungai di sebuah desa menuju makam yang ada di lereng gunung, makam Kakek Gliman katanya, seseorang yang telah membabat hutan hingga akhirnya menjadi sebuah desa. Juga belajar mengasah parang, keris, membantu memasak jenang Suro, jenang Safar di bulan Safar, pengajian, bahkan lebih banyak mengunjungi keraton, makam-makam Sunan, raja-raja, atau pun makam leluhur, daripada diajak shopping, jalan-jalan ke taman bermain, atau tempat-tempat yang sudah modern.
Mereka, yang biasa kupanggil Eyang putri dan Eyang Kung, lebih mengarahkan untuk mengenalkanku pada kehidupan-kehidupan lawas atau kuno seperti itu. Yang sekarang bagiku cukup dirasa memiliki unsur-unsur magis, mistis tersendiri jika mengingat semuanya.

Pun dulunya, aku pernah cukup lama menjalani masa kecilku di sebuah pulau yang adat budayanya lebih nyata dan eksotis, Denpasar-Bali. Bersama seorang wanita sepuh yang merupakan nenek dari ibu,
--Eyang Buyut - yang kupanggil beliau dengan sebutan Dadong Bali

”Di Jimbaran
Aku masih hafal betul gamang suaramu
Betapa rutin kau memangku. Pun renyah tawamu begitu tahu
−aku mencuri sajen di atas-atas gapura, undak-undak griya
Di halaman, bahkan depan sebuah pura
” (Sajak Teruntuk Dong Bali)

Dari sana lah berbagai macam tradisi,adat budaya baru, tempat-tempat yang bernuansa rupawan, pelan-pelan mulai kuperhatikan. Aroma Pulau Bali seperti benar-benar melekat dalam indera penciumanku. Terlebih lagi suasana di Pura Besakih.
Begitu pula dengan tanah Jogjakarta, yang acapkali membuatku tertarik pada sesuatu hal yang terkadang bersifat ’sakral’, mistis, serta unsur-unsur budaya yang begitu tajam dan mendalam. Pojok-pojoknya hampir semua bisa kuhafal.Suasana dingin di kawasan Kaliurang, adalah hal terdamai yang kurasakan tiap kali harus menginjakkan kaki kembali di tanah itu. Tanah penuh seni. Tanah sastra.

Memang tak banyak yang bisa kuingat dari semua hal yang kulalui dulu,tapi justru karena itulah, dari semua hal-hal usang dan perjalanan silam yang pernah terlewati itu, alam bawah sadarku secara reflek menemukan sebuah perasaan takjub tersendiri setiap kali aku harus melihatnya kembali di saat seperti ini. Ada rasa seolah-olah dulunya begitu dekat dengan hal tersebut, merasa tak asing dengan suasana itu.
Aku sangat menyukai suasana-suasana klasik tersebut, karena dengan begitu aku bisa dengan mudah kembali merasakan betapa dekatnya aku dengan masa-masa silamku yang sarat dengan keunikan dan keluguan diri dalam menghadapi dinamika kehidupan kala itu.
Mungkin hal itulah yang kemudian membawa pengaruh mencolok pada sebagian besar coretan-coretanku yang berupa sajak di buku ini. Meski tak bisa dipungkiri pula bahwa sebagian lagi adalah realita-realita pengalaman yang banyak kudapatkan di kota-kota besar lainnya.

”Bacalah kisahku, selagi aku masih mau memberimu waktu”

--Aku adalah perempuan yang beranak sajak. Yang setiap hari kusuapi, kususui, dan kutimang ia dalam imajinasi--

”Kenapa kau menulis sajak? Apa yang kau dapat dari menulis sajak?”
Ah, tak banyak yang bisa kujelaskan ketika ada orang yang menanyakan hal itu kepadaku. Tapi akan kucoba menjawabnya...

Mungkin karena aku tak berbakat menjadi seorang pelawak, presenter di sebuah stasiun televisi , atau aktris sinetron (meskipun aku berkutat dengan yang namanya dunia teater), maka kupilih saja menulis sajak. Yang setiapkali bisa memberikan kebebasan padaku untuk bercerita tentang apapun yang kumau, dan kapanpun aku butuh.
Alasan yang cukup sederhana bukan?

Aku mendapatkan kebanggaan dan kepuasan dari proses menulis. Ya meskipun ia tak memberiku sebuah piala atau piagam penghargaan karena keberhasilannya membuat para pembaca terbahak-bahak, terisak-isak atau paling tidak menitikkan air mata, tapi aku tetap puas dan bangga. Karena seburuk apapun ia,
ia tetap anakku.
Anak yang kujaga sejak berupa janin hingga akhirnya lahir dari rahim imajinasiku.
Yang nantinya akan kuperkenalkan ia pada dunia luar, dunia yang mungkin akan menertawainya, mencibirnya, atau mungkin saja akan sedikit menyanjung ,mungkin juga sudi belajar mencintainya.

Tak banyak yang kuharapkan darinya, selain menginginkannya mampu menyuarakan keharuan dan sisi dramatis perjalanan hidupku ketika nanti ia telah berada di tengah orang-orang yang bisa menghargai keberadaannya.
Menghargai setiap sisi kehidupan yang coba ia uraikan nantinya.

Dan aku hanya akan tinggal diam di ruang 3x4 ini.Menunggunya pulang, mendekapnya, lalu mendengarkan ceritanya,tentang tempat mana saja yang rampung dijelajahinya, sudah berapa orang yang kenal dirinya, dan sudah sejauh mana ia mengenal orang-orang di sana.


kanthi kersaning tyas,



*Silsilah : asal-usul suatu keluarga berupa bagan; susur galur (keturunan)
*Trah : Sekelompok individu yang saling memiliki hubungan kekerabatan (silsilah) satu-sama lain

Pupus

Pastikah berujung segala yang tumpul?
Seperti pensil yang tajamnya kian mengecil
Rindu kita terlipat begitu saja
Dan rasa sayang hangus sebelum masa membakarnya
Dan rasa-rasa lainnya turut tumpul
Menemukan ujung sebelum terbiarkan lebur

Mencintaimu Adalah Racun Bagiku

Bisakah aku minum darahmu?
Menggantikan anggur yang gagal kubeli minggu lalu.
Bisakah? Jika tak bisa, bisakah sekali saja untuk bisa?

Biar tak lagi kuminum anggur, yang katamu adalah racun
Maka gantikan ia dengan darahmu saja.
Bukankah,telah kau simpan racun serupa didalamnya?
Jika tak bisa meski cuma sekali saja
Maka diamlah!
Bagiku, kau sudah terlanjur menjadi lebih racun ketimbang sebotol anggur

Mandalawangi

Dalam dua kali dua puluh empat jam
aku berucap
"Aku ingin ke lembah kasih
mandalawangi"

Tapi masih juga tak kau acuhkan
Kau lebih memilih memunguti daun-daun kering depan pintu
atau menyapunya hingga ujung pagar
Melupakanku

Badai Yang Belum Usai

Tik-tok di dinding beradu dengan tik-tik-tik di genting..
Badai yang terjadi kali ini mengusir kantuk
Menggusur tempatku duduk

Badai yang tak ramai
badai berderai
Badai kali ini entah kapan usai

Cinta Itu Sudah Purba, Sudah Purna

Sebentar saja kubiarkan kau melihat senja itu di mataku
bahwa segala yang kau tinggal telah semakin menua

dan akar-akar cinta sudah lama pula meranggas,
rindu melumer, kenang-kenang sudah purna kuhilangkan dari kepala
atau pun harapan yang menggulung dulu
sudah tuntas dientaskan

bahwa puisi-puisimu tak ada lagi
di kantong bajuku
pun di tas dan sela buku harianku
Apa kau tahu?
api-api kecewa membakarnya sekejap

Sebentar lagi, akan kubiarkan kau menatapku sekali
biar mata rabun ini membiaskan betapa cintaku sudah berubah senja
sudah purba
sudah purna

BEDA

Matamu
Mataku
Tak saling tuju

Undangan Perjamuan Sederhana

Aku mengundangmu pada sebuah perjamuan sederhana.
Sudah kusiapkan anggur, sirup, atau arak bali, paling netral hanya air putih yang kusediakan dalam cawan paling besar.
Perjamuan yang sengaja kugelar dalam malam yang sama sekali tidak bingar.
Di bawah sinar bulan. di bawah kurungan kelelawar, diantara seribu kunang-kunang liar.
Kau hanya perlu bertandang. Tak usahlah bertanya untuk apa perhelatan ini kurancang.
Kau hanya akan mengetahuinya jika telah sampai diakhir acara.

Dimalam yang esoknya mungkin akan terjadi bencana besar-besaran.
Dimalam yang esoknya bisa saja terjadi hujan meteor terdahsyat. atau peluang terjadinya reformasi atas segala hal yang dianggap mutlak. Ataupun terjadinya pemboikotan massal, atas upaya sekelompok orang yang sangat kukuh berperilaku transgender dan transeksual.yang katanya dalam berbagai level sudah melanggar norma kultural.
Dimalam yang tak siapapun tahu pasti, akan terjadi apa esok hari, telah kukumpulkan kau dalam ruang labirin ini.  Yang pagarnya telah kuikat dengan senar-senar gitar yang kukumpulkan sejak silam. biar kau tak kabur keluar. Kulapisi lantainya dengan alas dari kertas-kertas yang dulunya kau tulisi bermacam sajak, naskah, dan puisi.
Lalu pada dindingnya kuletakkan gambar-gambar yang kau lukis juga ornamen2 khusus. Dengan saputan cat yang nyaris mulus.mengkilap hampir tanpa cacat. Dan dibelakang, sudar kuputarkan piringan hitam.
Kupilih musik blues. Sebab darinya, rentak musik lain ikut berirama di dua gendang telinga, cahaya-cahaya cinta bertebaran, dan berkelebat bebas tepat di depan inti retina.
Juga kembang-kembang padi mulai mekar belum saatnya, dalam bayang-bayang yang hidup disaraf kepala. Maka tak kulewatkan kau untuk juga hadir di malam ini. Malam perjamuan sederhana..
Yang diundangannya cuma kutulis :

 " Perjamuan ini tak lebih dari sekedar 'dolanan'.
Ajang mengulang kenang. Mencatat apa-apa yang terlewat. 
Bukankan rengekan kita masih serupa bocah yang rindu untuk menjajal permainan baru..? 
Maka, untuk malam ini saja, telah kugelar perayaan. 
Perjamuan atas kau sekalian.Perhelatan perdana kita. 
Dan biarkan, dolanan kita malam ini berakhir dalam sebuah prosesi meditasi.. 
membayangkan kembang-kembang padi mekar sebelum saatnya, dalam otak kepala kita."