Di balik Kertas Itu. Aku cemburu

Kertas-ketas diatas meja belajar itu isinya cuma tumpuk pemberontakan.
Pada sistem pemerintahan negara.
Pada adat-adat masyarakat yang ketat.mengikat
Tentang bantahan upaya provokasi terhadap sesama mahasiswa
Tentang desakan-desakan atas segala macam permasalahan yg tak juga diselesaikan pihak peradilan
Aku belajar itu.Membacanya sedari siang tadi.
Sambil menekan perut, yang sakitnya tepat mampat di ulu hati.

Kembali sibuk mempelajari. Jauh sebelum orde menuntutnya untuk kupahami.
Dan jauh sesudah kasihku satu itu, pergi.
Aku pun belajar. Meski dalam keterbelakangan mencapai tingkatan perguruan.
Tapi yang hendak kutanyakan,
di kertas-kertas itu, siapa yang sudah menuliskan sebuah istilah baru?
yang tak juga bisa kuterjemahkan dengan kamus bahasa lengkap sekalipun

Ah, sayang..aku cuma bisa tersenyum hambar.

Jalan Nasib

Pada mulanya, hidup bukanlah berarti hidup saudariku.
Jika ia tak menciptakan sebuah pilihan. Ia tak juga utuh disebut sebagai kesatuan hidup jika didalamnya tak kau temukan makna dan konsekuensi sebuah pilihan..

Bahwa hidup memang adalah untuk memilih. Seperti yang telah biasa kau dengar, dari televisi, kamus-kamus, primbon, atau berkutat dengan diktat yang biasa jadi santapanmu tiap pagi.
Bahwa hidup adalah sebuah hukum. Yang menuntut, segalanya berjalan sesuai jalur.
Dan bahwa hidup adalah cuma berisi peraturan-peraturan kultural yang tak semestinya dilanggar.
Hidupmu, hidupku, hanya sebuah formalitas yang hanya akan berjalan sesuai hukum di negara.
Yang katanya berbasis hukum eropa kontinental, hukum adat, juga hukum agama.
Yang katanya membebaskan kita memilih siapa saja, tidak terkecuali dalam cinta.

Jika saja kita tetap memilih diam disini, berpatroli menunggu sampai ada yang datang menghampiri, sungguh sebuah formalitas yg abadi. Saudariku, bahwa benar, hidup adalah memang pilihan.
Bahkan saat kau tak mau memilihpun, adalah juga sebuah pilihan.
Tapi suatu ketika, jika waktu membuatmu terpaksa berdiri di sebuah mimbar peradilan, yang didalamnya hanya ada kecaman terhadap apa yang sudah kau pilih, hendak bagaimanakah kau nanti?
Atau di sebuah masa yang tiba-tiba melemparmu ke tengah-tengah medan pertempuran, yang disana hanya ada tiga pilihan, terus menyerang, kabur atau menyerah mundur?
Atau saat nanti kau hendak melahirkan. ketika memilih jalan tak ingin sakit, hingga kau pilih melahirkan dalam air, ataukah normal, atau malah caesar? hendak bagaimana kau nanti?
Bahwa hidup adalah tentang memikirkan hal-hal atau kemungkinan yang mungkin terjadi.
Bahwa hidup adalah tentang bermimpi.
Bahwa kebebasan utama yang kau miliki setelah tak bisa memilih (setelah orang-orang dibalik sel tinggal menunggu eksekusi mati),satu-satunya yang tersisa adalah kebebasan berpikir.bermimpi.
Maka tak inginkah kau sekedar bermimpi?
Berkhayal tentang hal-hal yang mungkin saja bisa terjadi nanti?
Mengkhayalkan bagaimana jika nanti, aku, kau, tak lagi bisa memilih?
Dan tak bisa lagi menggunakan hak pilih, dan harus mau dengan segala pilihan yang orang lain telah pilihkan. Masihkah kau akan membuka diktat, kamus, atau menggeledah perpustakaan,untuk sekedar melakukan pembelaan atau penyangkalan, seperti yang sekarang tengah kau lakukan?
Tak ada pilihan lain, kecuali berpikir dari sekarang.

An Eternity

      Aku menulis ini, saat edelweis-edelweis itu baru dipetik.
saat hari masih tak begitu terik. Ya, aku menulis tentang sisa-sisa kasih yang masih membekas diantara pucuk-pucuk daun pinus, ataupun tentang rindu-rindu di masa lalu yang masih juga tergantung diujung daun waru. Bahkan juga kutulis tentang luka-luka yang menganga didepan sebuah kaca.

Edelweis itu.. hanyalah sepenggalah cerita yang tak tuntas kuberikan di masa lalu. Sebuah kisah yang kumal, kusam, bersemburat samar. Rasanya sama sekali tak hendak kukenang.

Tak banyak orang tahu, bahwa edelweis, bunga abadi itu,yang dulu jadi penanda cintanya, justru telah abadi membawa ia pergi.Ya, Dia mati.  Petualangan yang sungguh belum rampung. Sebab belum ia bawa aku ke puncak gunung Semeru, Bromo, ataupun Pangrango. Sekedar untuk melihat rupa kota dari ketinggian beberapa ratus meter diatas laut, menatap bukit-bukit kecil yang disekitarnya membentuk lautan pasir.

                Kini dia menjadi abadi, pergi bersama putik-putik bunga abadi yang pernah ia petik.
Jatuh dari tebing curam salah satu gunung tertinggi di Jawa timur. Dengan ransel, topi, dan slayer yang dulu pernah kubelikan diMalioboro ia sudah terjun seperti hendak berparasut.
Dan dibawah tebing berparas, nyawanya terlepas.  Banyak yang mencuat dari akal, seribu macam rangkaian kata yang pernah ia ucap kembali kuingat.. ”Bercengkramalah dengan doa dan bayangku yang selalu mengitarimu saat kau merasa rindu..” Atau ” Jangan pernah merasa sendirian meski didalam malam, sebab sudah kutinggalkan bintang sebagai pengganti teman..
Ah, tulisanku terputus.berhenti saat terpaksa kudengar suaranya bernyanyi lirih, yang dulu sempat direkamnya dalam sekeping CD..

Edelweiss..edelweiss...
everymorning you greet me.
Small and white, clean and bright. 
You look happy to meet me.. 
Blossom of snow may you bloom and grow
Bloom and grow forever 
Edelweiss, Edelweiss 
Bless my homeland forever


     Hari ini,aku masih menulis di sini,dan tak tahu pada alinea,atau baris mana aku akan behenti.
Aku hanya ingin mencatat, Bulan depan, aku hendak mendaki gunung hingga puncak. Putik-putik yang terbang saat ragamu juga melayang, semoga bisa tiba-tiba tersangkut dihelai rambutku. Biar aku tahu, kau bersama rasa cintamu masih slalu abadi ditempat itu. Dan tentang sebentuk edelweiss yang masih berhasil kau genggam saat kau terlempar dijurang yang curam,Tetap kusimpan.kuletakkan dalam kamar, di atas meja belajar.  Bersama kenangan lain yang pernah kau tinggal...
--14 November 2007.
Catatan yang kutulis di buku usang miliknya.Yang di lembar sebelumnya, sempat kubaca tulisan terakhirnya :
"Aku ingin membawanya ke sebuah puncak.
dimana putik-putik edelweiss bisa ia petik.
Entah mungkin 2 hari lagi, 2 tahun, atau 20 tahun kemudian.."

Malam Nanti

Aku menunggu tanganmu terulur ke pipi. hidung. mata. kening.bibir
Menyentuh seluruh wajahku
Lalu membiarkanku tidur
Menjaga untuk tidak sekedar mendengkur
Cukup malam nanti
Ketika aku sangat ingin bermimpi

Hujan dan Air Yang Terlalu Lama Mengering


Dik, sudah berapa kali ya aku memintamu pergi ke lebatnya hujan? lalu menadah satu dua percik airnya untuk kau tuang ke mataku.
sudah berapa kali aku memohon kepadamu untuk menimba air di sumur yang katamu sudah mengering itu?
yang nyatanya selalu ada kecipak air yang kudengar ketika sekali dua kali kulempar sebuah batu kerikil kedalamnya.
Dan ini sudah kesekian kalinya aku mengharapkanmu mengambilkan air muara, air telaga, atau air apapun namanya yang masih tersisa didekatmu. dan kau tetap tak mau.

Dik, aku pernah menghadapi yang namanya kelaparan di musim hujan. tapi aku tak menangis.
Aku pernah tersakiti dan hampir mati, ditinggalkan,dikucilkan, bahkan dicaci maki orang, tapi aku tetap tak menangis.
Aku tak pernah menangis, meski berbagai kesusahan, ketidakadilan, seringkali menindih kesabaranku.
Aku seringkali melayani orang yang sejatinya tak berdaya menanggung hidup, pun menghidupi orang-orang yang seakan sudah berada diambang keseganan untuk hidup, namun juga enggan untuk mati. Atas semua itu, aku tak pernah menangis,dik..

Dan kali ini, saat dimana aku ingin mengurai beberapa percik air mata, itu karena aku ingin merasakan bahwasanya menangis di saat kita sudah melalui semuanya adalah sesuatu yang teramat melegakan ketimbang menangis tepat disaat kesukaran menghimpit kepala kita.

Saat ini aku ingin bisa menangis.
Maka tak ada alasan lagi kan Dik untuk menolak permintaanku mengambil sepercik air dari hujan itu?
(Lalu menuangkannya ke mataku)

Buku Pertama. Ketika Ditiap Lembarnya Memuat Kisah Kita

Anak Kami Bernama Tralala trilili



Barangkali kami tak punya cita-cita yang besar ketika memulai berkumpul dan berproses,lalu berniat untuk melahirkan anak bersama kami ini.
Tapi begitulah, kami memang tak punya banyak impian kala itu,
selain bermimpi anak kami ini lahir dan bisa bermain bersama orang-orang yang kelak (mau) menjadi teman,sekadar kenalan atau bahkan kelaknya bermusuhan.

Kami menjaga setiap proses kelahirannya, memberinya gizi yang (barangkali cukup) seimbang, sembari berdoa, kelak anak kami ini menjadi jejak sejarah keberadaan kami. Menjadi cerita bahwa kami pernah ada dan pernah sedikit bermimpi.

“Kenapa Tralala Trilili?”
“Pertanyaan Anda aneh sekali, tolong jangan tanyakan itu.”
“Kenapa? Saya mau tahu!”

Waduh, baiklah, akan kami coba jawab seadanya. Tralala Trilili barangkali representasi dari imajinasi nakal kami. Imajinasi yang kadang tak terbendung, kadang garing, aneh, gila bahkan konyol dan tak masuk akal.
Tapi percayalah jika imajinasi itu kadang kami rindukan sendirian di pojok kamar kami. Kami jadikan bahan hiburan saat sedih dan patah hati. Kami merangkai tulisan-tulisan ini di kamar-kamar kami, ditemani kopi dan insomnia barangkali.

Sesekali di kampus, seringnya di warung tempat kami makan, di kantin, di halaman, saat putus cinta, saat dapat beasiswa, atau saat bersebrangan pilihan dengan pacar, suami atau istri salah satu di antara kami.
Dari situ kami yakin Tralala-Trilili ini lahir.Dia bukan anak yang dahsyat, yang jika dibaca akan membuat mata berkaca-kaca, atau membuat kemarahan Anda meledak-ledak.
Ia hanyalah kumpulan keceriaan sekaligus kegelisahan.
Sebuah perpaduan sifat yang sungguh sangat bertolak belakang.
Jadi harap maklum jika seusai (atau bahkan sebelum) membacanya, Anda sudah tidak suka dan ingin menyobek atau membuangnya.
Tapi begitulah, dengan segala kerendahan hati kami, tapi juga dengan penuh kebanggaan, melahirkannya, memberinya nama dan berjanji akan menjaganya. Kelak akan kami asuh di tengah-tengah Anda semua.

Kami tak ingin berharap banyak, karena keterbatasan dan ketololan kami. Kami hanya ingin kelak anak kami, Anda dan juga kami mengingat dua kalimat yang pernah ditulis oleh Chairil Anwar: Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu. Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Kami hanya ingin tersenyum menyambutnya. Memperkenalkannya pada banyak orang. Dan tanpa malu mengaku bahwa kamilah bapak dan ibunya.


Salam sehat selalu untuk Anda.






KTN (Komunitas Tanpa Nama):


-- Krisandi Dewi
Mega Aisyah Nirmala
Rizal Fernandez
Dhaniel Gautama
Dimas Prastisto
Irwan Bajang
Arie Oktara
Arfin Rose
Amier Chan
Djali Gafur
Anita Sari --

Di balik Kertas Itu. Aku cemburu

Kertas-ketas diatas meja belajar itu isinya cuma tumpuk pemberontakan.
Pada sistem pemerintahan negara.
Pada adat-adat masyarakat yang ketat.mengikat
Tentang bantahan upaya provokasi terhadap sesama mahasiswa
Tentang desakan-desakan atas segala macam permasalahan yg tak juga diselesaikan pihak peradilan
Aku belajar itu.Membacanya sedari siang tadi.
Sambil menekan perut, yang sakitnya tepat mampat di ulu hati.

Kembali sibuk mempelajari. Jauh sebelum orde menuntutnya untuk kupahami.
Dan jauh sesudah kasihku satu itu, pergi.
Aku pun belajar. Meski dalam keterbelakangan mencapai tingkatan perguruan.
Tapi yang hendak kutanyakan,
di kertas-kertas itu, siapa yang sudah menuliskan sebuah istilah baru?
yang tak juga bisa kuterjemahkan dengan kamus bahasa lengkap sekalipun

Ah, sayang..aku cuma bisa tersenyum hambar.

Jalan Nasib

Pada mulanya, hidup bukanlah berarti hidup saudariku.
Jika ia tak menciptakan sebuah pilihan. Ia tak juga utuh disebut sebagai kesatuan hidup jika didalamnya tak kau temukan makna dan konsekuensi sebuah pilihan..

Bahwa hidup memang adalah untuk memilih. Seperti yang telah biasa kau dengar, dari televisi, kamus-kamus, primbon, atau berkutat dengan diktat yang biasa jadi santapanmu tiap pagi.
Bahwa hidup adalah sebuah hukum. Yang menuntut, segalanya berjalan sesuai jalur.
Dan bahwa hidup adalah cuma berisi peraturan-peraturan kultural yang tak semestinya dilanggar.
Hidupmu, hidupku, hanya sebuah formalitas yang hanya akan berjalan sesuai hukum di negara.
Yang katanya berbasis hukum eropa kontinental, hukum adat, juga hukum agama.
Yang katanya membebaskan kita memilih siapa saja, tidak terkecuali dalam cinta.

Jika saja kita tetap memilih diam disini, berpatroli menunggu sampai ada yang datang menghampiri, sungguh sebuah formalitas yg abadi. Saudariku, bahwa benar, hidup adalah memang pilihan.
Bahkan saat kau tak mau memilihpun, adalah juga sebuah pilihan.
Tapi suatu ketika, jika waktu membuatmu terpaksa berdiri di sebuah mimbar peradilan, yang didalamnya hanya ada kecaman terhadap apa yang sudah kau pilih, hendak bagaimanakah kau nanti?
Atau di sebuah masa yang tiba-tiba melemparmu ke tengah-tengah medan pertempuran, yang disana hanya ada tiga pilihan, terus menyerang, kabur atau menyerah mundur?
Atau saat nanti kau hendak melahirkan. ketika memilih jalan tak ingin sakit, hingga kau pilih melahirkan dalam air, ataukah normal, atau malah caesar? hendak bagaimana kau nanti?
Bahwa hidup adalah tentang memikirkan hal-hal atau kemungkinan yang mungkin terjadi.
Bahwa hidup adalah tentang bermimpi.
Bahwa kebebasan utama yang kau miliki setelah tak bisa memilih (setelah orang-orang dibalik sel tinggal menunggu eksekusi mati),satu-satunya yang tersisa adalah kebebasan berpikir.bermimpi.
Maka tak inginkah kau sekedar bermimpi?
Berkhayal tentang hal-hal yang mungkin saja bisa terjadi nanti?
Mengkhayalkan bagaimana jika nanti, aku, kau, tak lagi bisa memilih?
Dan tak bisa lagi menggunakan hak pilih, dan harus mau dengan segala pilihan yang orang lain telah pilihkan. Masihkah kau akan membuka diktat, kamus, atau menggeledah perpustakaan,untuk sekedar melakukan pembelaan atau penyangkalan, seperti yang sekarang tengah kau lakukan?
Tak ada pilihan lain, kecuali berpikir dari sekarang.

An Eternity

      Aku menulis ini, saat edelweis-edelweis itu baru dipetik.
saat hari masih tak begitu terik. Ya, aku menulis tentang sisa-sisa kasih yang masih membekas diantara pucuk-pucuk daun pinus, ataupun tentang rindu-rindu di masa lalu yang masih juga tergantung diujung daun waru. Bahkan juga kutulis tentang luka-luka yang menganga didepan sebuah kaca.

Edelweis itu.. hanyalah sepenggalah cerita yang tak tuntas kuberikan di masa lalu. Sebuah kisah yang kumal, kusam, bersemburat samar. Rasanya sama sekali tak hendak kukenang.

Tak banyak orang tahu, bahwa edelweis, bunga abadi itu,yang dulu jadi penanda cintanya, justru telah abadi membawa ia pergi.Ya, Dia mati.  Petualangan yang sungguh belum rampung. Sebab belum ia bawa aku ke puncak gunung Semeru, Bromo, ataupun Pangrango. Sekedar untuk melihat rupa kota dari ketinggian beberapa ratus meter diatas laut, menatap bukit-bukit kecil yang disekitarnya membentuk lautan pasir.

                Kini dia menjadi abadi, pergi bersama putik-putik bunga abadi yang pernah ia petik.
Jatuh dari tebing curam salah satu gunung tertinggi di Jawa timur. Dengan ransel, topi, dan slayer yang dulu pernah kubelikan diMalioboro ia sudah terjun seperti hendak berparasut.
Dan dibawah tebing berparas, nyawanya terlepas.  Banyak yang mencuat dari akal, seribu macam rangkaian kata yang pernah ia ucap kembali kuingat.. ”Bercengkramalah dengan doa dan bayangku yang selalu mengitarimu saat kau merasa rindu..” Atau ” Jangan pernah merasa sendirian meski didalam malam, sebab sudah kutinggalkan bintang sebagai pengganti teman..
Ah, tulisanku terputus.berhenti saat terpaksa kudengar suaranya bernyanyi lirih, yang dulu sempat direkamnya dalam sekeping CD..

Edelweiss..edelweiss...
everymorning you greet me.
Small and white, clean and bright. 
You look happy to meet me.. 
Blossom of snow may you bloom and grow
Bloom and grow forever 
Edelweiss, Edelweiss 
Bless my homeland forever


     Hari ini,aku masih menulis di sini,dan tak tahu pada alinea,atau baris mana aku akan behenti.
Aku hanya ingin mencatat, Bulan depan, aku hendak mendaki gunung hingga puncak. Putik-putik yang terbang saat ragamu juga melayang, semoga bisa tiba-tiba tersangkut dihelai rambutku. Biar aku tahu, kau bersama rasa cintamu masih slalu abadi ditempat itu. Dan tentang sebentuk edelweiss yang masih berhasil kau genggam saat kau terlempar dijurang yang curam,Tetap kusimpan.kuletakkan dalam kamar, di atas meja belajar.  Bersama kenangan lain yang pernah kau tinggal...
--14 November 2007.
Catatan yang kutulis di buku usang miliknya.Yang di lembar sebelumnya, sempat kubaca tulisan terakhirnya :
"Aku ingin membawanya ke sebuah puncak.
dimana putik-putik edelweiss bisa ia petik.
Entah mungkin 2 hari lagi, 2 tahun, atau 20 tahun kemudian.."

Malam Nanti

Aku menunggu tanganmu terulur ke pipi. hidung. mata. kening.bibir
Menyentuh seluruh wajahku
Lalu membiarkanku tidur
Menjaga untuk tidak sekedar mendengkur
Cukup malam nanti
Ketika aku sangat ingin bermimpi

Hujan dan Air Yang Terlalu Lama Mengering


Dik, sudah berapa kali ya aku memintamu pergi ke lebatnya hujan? lalu menadah satu dua percik airnya untuk kau tuang ke mataku.
sudah berapa kali aku memohon kepadamu untuk menimba air di sumur yang katamu sudah mengering itu?
yang nyatanya selalu ada kecipak air yang kudengar ketika sekali dua kali kulempar sebuah batu kerikil kedalamnya.
Dan ini sudah kesekian kalinya aku mengharapkanmu mengambilkan air muara, air telaga, atau air apapun namanya yang masih tersisa didekatmu. dan kau tetap tak mau.

Dik, aku pernah menghadapi yang namanya kelaparan di musim hujan. tapi aku tak menangis.
Aku pernah tersakiti dan hampir mati, ditinggalkan,dikucilkan, bahkan dicaci maki orang, tapi aku tetap tak menangis.
Aku tak pernah menangis, meski berbagai kesusahan, ketidakadilan, seringkali menindih kesabaranku.
Aku seringkali melayani orang yang sejatinya tak berdaya menanggung hidup, pun menghidupi orang-orang yang seakan sudah berada diambang keseganan untuk hidup, namun juga enggan untuk mati. Atas semua itu, aku tak pernah menangis,dik..

Dan kali ini, saat dimana aku ingin mengurai beberapa percik air mata, itu karena aku ingin merasakan bahwasanya menangis di saat kita sudah melalui semuanya adalah sesuatu yang teramat melegakan ketimbang menangis tepat disaat kesukaran menghimpit kepala kita.

Saat ini aku ingin bisa menangis.
Maka tak ada alasan lagi kan Dik untuk menolak permintaanku mengambil sepercik air dari hujan itu?
(Lalu menuangkannya ke mataku)

Buku Pertama. Ketika Ditiap Lembarnya Memuat Kisah Kita

Anak Kami Bernama Tralala trilili



Barangkali kami tak punya cita-cita yang besar ketika memulai berkumpul dan berproses,lalu berniat untuk melahirkan anak bersama kami ini.
Tapi begitulah, kami memang tak punya banyak impian kala itu,
selain bermimpi anak kami ini lahir dan bisa bermain bersama orang-orang yang kelak (mau) menjadi teman,sekadar kenalan atau bahkan kelaknya bermusuhan.

Kami menjaga setiap proses kelahirannya, memberinya gizi yang (barangkali cukup) seimbang, sembari berdoa, kelak anak kami ini menjadi jejak sejarah keberadaan kami. Menjadi cerita bahwa kami pernah ada dan pernah sedikit bermimpi.

“Kenapa Tralala Trilili?”
“Pertanyaan Anda aneh sekali, tolong jangan tanyakan itu.”
“Kenapa? Saya mau tahu!”

Waduh, baiklah, akan kami coba jawab seadanya. Tralala Trilili barangkali representasi dari imajinasi nakal kami. Imajinasi yang kadang tak terbendung, kadang garing, aneh, gila bahkan konyol dan tak masuk akal.
Tapi percayalah jika imajinasi itu kadang kami rindukan sendirian di pojok kamar kami. Kami jadikan bahan hiburan saat sedih dan patah hati. Kami merangkai tulisan-tulisan ini di kamar-kamar kami, ditemani kopi dan insomnia barangkali.

Sesekali di kampus, seringnya di warung tempat kami makan, di kantin, di halaman, saat putus cinta, saat dapat beasiswa, atau saat bersebrangan pilihan dengan pacar, suami atau istri salah satu di antara kami.
Dari situ kami yakin Tralala-Trilili ini lahir.Dia bukan anak yang dahsyat, yang jika dibaca akan membuat mata berkaca-kaca, atau membuat kemarahan Anda meledak-ledak.
Ia hanyalah kumpulan keceriaan sekaligus kegelisahan.
Sebuah perpaduan sifat yang sungguh sangat bertolak belakang.
Jadi harap maklum jika seusai (atau bahkan sebelum) membacanya, Anda sudah tidak suka dan ingin menyobek atau membuangnya.
Tapi begitulah, dengan segala kerendahan hati kami, tapi juga dengan penuh kebanggaan, melahirkannya, memberinya nama dan berjanji akan menjaganya. Kelak akan kami asuh di tengah-tengah Anda semua.

Kami tak ingin berharap banyak, karena keterbatasan dan ketololan kami. Kami hanya ingin kelak anak kami, Anda dan juga kami mengingat dua kalimat yang pernah ditulis oleh Chairil Anwar: Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu. Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Kami hanya ingin tersenyum menyambutnya. Memperkenalkannya pada banyak orang. Dan tanpa malu mengaku bahwa kamilah bapak dan ibunya.


Salam sehat selalu untuk Anda.






KTN (Komunitas Tanpa Nama):


-- Krisandi Dewi
Mega Aisyah Nirmala
Rizal Fernandez
Dhaniel Gautama
Dimas Prastisto
Irwan Bajang
Arie Oktara
Arfin Rose
Amier Chan
Djali Gafur
Anita Sari --