Buku Kedua. Dan terlahirlah ia dengan nama : TRAH

Buku ini dipersembahkan untuk dua orang paling agung dalam hidupku :

R.M Sastra Diwirja (alm.)
Lahir 01-01-1888, wafat 17-06-1996
Dan
R.A. Koesnia
Lahir 01-01-1930


ini bukti, ketika tak ada lagi yg bisa kulakukan untuk menghargai sebuah kenang,
selain membukukannya



Untuk awal dari segala sesuatu, pun pada akhir tiap perjalananku, selalu ada rasa terimakasih dan sujud syukurku pada Allah SWT. Tak terkecuali rasa terimakasih kepada kedua orang terkasih yang benar-benar agung di mataku, Eyang kakung dan Eyang putri. --Sastradiwirja & Koesnia
Dua sosok yang menjejaliku dengan pengetahuan tentang rupa adat, tata krama, darma, dan mengajarkan betapa manusia sungguh papa jika berada di hadapan-Nya.
Inilah titik awal aku akan berkisah tentang sekelumit perjalanan hidup, roman-roman keterpurukan, kemiskinan, ketidakberdayaan,dan sebuah perbedaan kebudayaan yang dulu pernah kulihat, kunikmati hingga akhirnya mengendap padat mungkin hingga alam bawah sadarku.

”Bacalah kisahku, sebelum nanti aku memutuskan untuk mati”

--Aku lahir dari sebuah peradaban lama, yang diantara tubuhku berhiaskan penuh bunga padma, mekarnya kelopak kamboja, tangkai gemulai teratai, juga mawar yang beradu padu di pinggiran kolam air tawar. Apa kau percaya?--

Merunuti ceritaku adalah sama dengan mengintip masa-masa lampau yang khas dengan hal-hal kuno, lawas, yang jarang atau mungkin bahkan sulit dipercaya.
Darah Trah Sastradiwirja mengalir dalam tubuhku. Darah yang kental akan adat budaya tua, dan religi islami yang benar-benar ketat buatku.
Seringkali pada masa kecil aku dihadapkan pada sesuatu yang memang sangat berkesan, berjalan kaki beberapa kilometer dengan menyusur sungai di sebuah desa menuju makam yang ada di lereng gunung, makam Kakek Gliman katanya, seseorang yang telah membabat hutan hingga akhirnya menjadi sebuah desa. Juga belajar mengasah parang, keris, membantu memasak jenang Suro, jenang Safar di bulan Safar, pengajian, bahkan lebih banyak mengunjungi keraton, makam-makam Sunan, raja-raja, atau pun makam leluhur, daripada diajak shopping, jalan-jalan ke taman bermain, atau tempat-tempat yang sudah modern.
Mereka, yang biasa kupanggil Eyang putri dan Eyang Kung, lebih mengarahkan untuk mengenalkanku pada kehidupan-kehidupan lawas atau kuno seperti itu. Yang sekarang bagiku cukup dirasa memiliki unsur-unsur magis, mistis tersendiri jika mengingat semuanya.

Pun dulunya, aku pernah cukup lama menjalani masa kecilku di sebuah pulau yang adat budayanya lebih nyata dan eksotis, Denpasar-Bali. Bersama seorang wanita sepuh yang merupakan nenek dari ibu,
--Eyang Buyut - yang kupanggil beliau dengan sebutan Dadong Bali

”Di Jimbaran
Aku masih hafal betul gamang suaramu
Betapa rutin kau memangku. Pun renyah tawamu begitu tahu
−aku mencuri sajen di atas-atas gapura, undak-undak griya
Di halaman, bahkan depan sebuah pura
” (Sajak Teruntuk Dong Bali)

Dari sana lah berbagai macam tradisi,adat budaya baru, tempat-tempat yang bernuansa rupawan, pelan-pelan mulai kuperhatikan. Aroma Pulau Bali seperti benar-benar melekat dalam indera penciumanku. Terlebih lagi suasana di Pura Besakih.
Begitu pula dengan tanah Jogjakarta, yang acapkali membuatku tertarik pada sesuatu hal yang terkadang bersifat ’sakral’, mistis, serta unsur-unsur budaya yang begitu tajam dan mendalam. Pojok-pojoknya hampir semua bisa kuhafal.Suasana dingin di kawasan Kaliurang, adalah hal terdamai yang kurasakan tiap kali harus menginjakkan kaki kembali di tanah itu. Tanah penuh seni. Tanah sastra.

Memang tak banyak yang bisa kuingat dari semua hal yang kulalui dulu,tapi justru karena itulah, dari semua hal-hal usang dan perjalanan silam yang pernah terlewati itu, alam bawah sadarku secara reflek menemukan sebuah perasaan takjub tersendiri setiap kali aku harus melihatnya kembali di saat seperti ini. Ada rasa seolah-olah dulunya begitu dekat dengan hal tersebut, merasa tak asing dengan suasana itu.
Aku sangat menyukai suasana-suasana klasik tersebut, karena dengan begitu aku bisa dengan mudah kembali merasakan betapa dekatnya aku dengan masa-masa silamku yang sarat dengan keunikan dan keluguan diri dalam menghadapi dinamika kehidupan kala itu.
Mungkin hal itulah yang kemudian membawa pengaruh mencolok pada sebagian besar coretan-coretanku yang berupa sajak di buku ini. Meski tak bisa dipungkiri pula bahwa sebagian lagi adalah realita-realita pengalaman yang banyak kudapatkan di kota-kota besar lainnya.

”Bacalah kisahku, selagi aku masih mau memberimu waktu”

--Aku adalah perempuan yang beranak sajak. Yang setiap hari kusuapi, kususui, dan kutimang ia dalam imajinasi--

”Kenapa kau menulis sajak? Apa yang kau dapat dari menulis sajak?”
Ah, tak banyak yang bisa kujelaskan ketika ada orang yang menanyakan hal itu kepadaku. Tapi akan kucoba menjawabnya...

Mungkin karena aku tak berbakat menjadi seorang pelawak, presenter di sebuah stasiun televisi , atau aktris sinetron (meskipun aku berkutat dengan yang namanya dunia teater), maka kupilih saja menulis sajak. Yang setiapkali bisa memberikan kebebasan padaku untuk bercerita tentang apapun yang kumau, dan kapanpun aku butuh.
Alasan yang cukup sederhana bukan?

Aku mendapatkan kebanggaan dan kepuasan dari proses menulis. Ya meskipun ia tak memberiku sebuah piala atau piagam penghargaan karena keberhasilannya membuat para pembaca terbahak-bahak, terisak-isak atau paling tidak menitikkan air mata, tapi aku tetap puas dan bangga. Karena seburuk apapun ia,
ia tetap anakku.
Anak yang kujaga sejak berupa janin hingga akhirnya lahir dari rahim imajinasiku.
Yang nantinya akan kuperkenalkan ia pada dunia luar, dunia yang mungkin akan menertawainya, mencibirnya, atau mungkin saja akan sedikit menyanjung ,mungkin juga sudi belajar mencintainya.

Tak banyak yang kuharapkan darinya, selain menginginkannya mampu menyuarakan keharuan dan sisi dramatis perjalanan hidupku ketika nanti ia telah berada di tengah orang-orang yang bisa menghargai keberadaannya.
Menghargai setiap sisi kehidupan yang coba ia uraikan nantinya.

Dan aku hanya akan tinggal diam di ruang 3x4 ini.Menunggunya pulang, mendekapnya, lalu mendengarkan ceritanya,tentang tempat mana saja yang rampung dijelajahinya, sudah berapa orang yang kenal dirinya, dan sudah sejauh mana ia mengenal orang-orang di sana.


kanthi kersaning tyas,



*Silsilah : asal-usul suatu keluarga berupa bagan; susur galur (keturunan)
*Trah : Sekelompok individu yang saling memiliki hubungan kekerabatan (silsilah) satu-sama lain

Pupus

Pastikah berujung segala yang tumpul?
Seperti pensil yang tajamnya kian mengecil
Rindu kita terlipat begitu saja
Dan rasa sayang hangus sebelum masa membakarnya
Dan rasa-rasa lainnya turut tumpul
Menemukan ujung sebelum terbiarkan lebur

Mencintaimu Adalah Racun Bagiku

Bisakah aku minum darahmu?
Menggantikan anggur yang gagal kubeli minggu lalu.
Bisakah? Jika tak bisa, bisakah sekali saja untuk bisa?

Biar tak lagi kuminum anggur, yang katamu adalah racun
Maka gantikan ia dengan darahmu saja.
Bukankah,telah kau simpan racun serupa didalamnya?
Jika tak bisa meski cuma sekali saja
Maka diamlah!
Bagiku, kau sudah terlanjur menjadi lebih racun ketimbang sebotol anggur

Mandalawangi

Dalam dua kali dua puluh empat jam
aku berucap
"Aku ingin ke lembah kasih
mandalawangi"

Tapi masih juga tak kau acuhkan
Kau lebih memilih memunguti daun-daun kering depan pintu
atau menyapunya hingga ujung pagar
Melupakanku

Buku Kedua. Dan terlahirlah ia dengan nama : TRAH

Buku ini dipersembahkan untuk dua orang paling agung dalam hidupku :

R.M Sastra Diwirja (alm.)
Lahir 01-01-1888, wafat 17-06-1996
Dan
R.A. Koesnia
Lahir 01-01-1930


ini bukti, ketika tak ada lagi yg bisa kulakukan untuk menghargai sebuah kenang,
selain membukukannya



Untuk awal dari segala sesuatu, pun pada akhir tiap perjalananku, selalu ada rasa terimakasih dan sujud syukurku pada Allah SWT. Tak terkecuali rasa terimakasih kepada kedua orang terkasih yang benar-benar agung di mataku, Eyang kakung dan Eyang putri. --Sastradiwirja & Koesnia
Dua sosok yang menjejaliku dengan pengetahuan tentang rupa adat, tata krama, darma, dan mengajarkan betapa manusia sungguh papa jika berada di hadapan-Nya.
Inilah titik awal aku akan berkisah tentang sekelumit perjalanan hidup, roman-roman keterpurukan, kemiskinan, ketidakberdayaan,dan sebuah perbedaan kebudayaan yang dulu pernah kulihat, kunikmati hingga akhirnya mengendap padat mungkin hingga alam bawah sadarku.

”Bacalah kisahku, sebelum nanti aku memutuskan untuk mati”

--Aku lahir dari sebuah peradaban lama, yang diantara tubuhku berhiaskan penuh bunga padma, mekarnya kelopak kamboja, tangkai gemulai teratai, juga mawar yang beradu padu di pinggiran kolam air tawar. Apa kau percaya?--

Merunuti ceritaku adalah sama dengan mengintip masa-masa lampau yang khas dengan hal-hal kuno, lawas, yang jarang atau mungkin bahkan sulit dipercaya.
Darah Trah Sastradiwirja mengalir dalam tubuhku. Darah yang kental akan adat budaya tua, dan religi islami yang benar-benar ketat buatku.
Seringkali pada masa kecil aku dihadapkan pada sesuatu yang memang sangat berkesan, berjalan kaki beberapa kilometer dengan menyusur sungai di sebuah desa menuju makam yang ada di lereng gunung, makam Kakek Gliman katanya, seseorang yang telah membabat hutan hingga akhirnya menjadi sebuah desa. Juga belajar mengasah parang, keris, membantu memasak jenang Suro, jenang Safar di bulan Safar, pengajian, bahkan lebih banyak mengunjungi keraton, makam-makam Sunan, raja-raja, atau pun makam leluhur, daripada diajak shopping, jalan-jalan ke taman bermain, atau tempat-tempat yang sudah modern.
Mereka, yang biasa kupanggil Eyang putri dan Eyang Kung, lebih mengarahkan untuk mengenalkanku pada kehidupan-kehidupan lawas atau kuno seperti itu. Yang sekarang bagiku cukup dirasa memiliki unsur-unsur magis, mistis tersendiri jika mengingat semuanya.

Pun dulunya, aku pernah cukup lama menjalani masa kecilku di sebuah pulau yang adat budayanya lebih nyata dan eksotis, Denpasar-Bali. Bersama seorang wanita sepuh yang merupakan nenek dari ibu,
--Eyang Buyut - yang kupanggil beliau dengan sebutan Dadong Bali

”Di Jimbaran
Aku masih hafal betul gamang suaramu
Betapa rutin kau memangku. Pun renyah tawamu begitu tahu
−aku mencuri sajen di atas-atas gapura, undak-undak griya
Di halaman, bahkan depan sebuah pura
” (Sajak Teruntuk Dong Bali)

Dari sana lah berbagai macam tradisi,adat budaya baru, tempat-tempat yang bernuansa rupawan, pelan-pelan mulai kuperhatikan. Aroma Pulau Bali seperti benar-benar melekat dalam indera penciumanku. Terlebih lagi suasana di Pura Besakih.
Begitu pula dengan tanah Jogjakarta, yang acapkali membuatku tertarik pada sesuatu hal yang terkadang bersifat ’sakral’, mistis, serta unsur-unsur budaya yang begitu tajam dan mendalam. Pojok-pojoknya hampir semua bisa kuhafal.Suasana dingin di kawasan Kaliurang, adalah hal terdamai yang kurasakan tiap kali harus menginjakkan kaki kembali di tanah itu. Tanah penuh seni. Tanah sastra.

Memang tak banyak yang bisa kuingat dari semua hal yang kulalui dulu,tapi justru karena itulah, dari semua hal-hal usang dan perjalanan silam yang pernah terlewati itu, alam bawah sadarku secara reflek menemukan sebuah perasaan takjub tersendiri setiap kali aku harus melihatnya kembali di saat seperti ini. Ada rasa seolah-olah dulunya begitu dekat dengan hal tersebut, merasa tak asing dengan suasana itu.
Aku sangat menyukai suasana-suasana klasik tersebut, karena dengan begitu aku bisa dengan mudah kembali merasakan betapa dekatnya aku dengan masa-masa silamku yang sarat dengan keunikan dan keluguan diri dalam menghadapi dinamika kehidupan kala itu.
Mungkin hal itulah yang kemudian membawa pengaruh mencolok pada sebagian besar coretan-coretanku yang berupa sajak di buku ini. Meski tak bisa dipungkiri pula bahwa sebagian lagi adalah realita-realita pengalaman yang banyak kudapatkan di kota-kota besar lainnya.

”Bacalah kisahku, selagi aku masih mau memberimu waktu”

--Aku adalah perempuan yang beranak sajak. Yang setiap hari kusuapi, kususui, dan kutimang ia dalam imajinasi--

”Kenapa kau menulis sajak? Apa yang kau dapat dari menulis sajak?”
Ah, tak banyak yang bisa kujelaskan ketika ada orang yang menanyakan hal itu kepadaku. Tapi akan kucoba menjawabnya...

Mungkin karena aku tak berbakat menjadi seorang pelawak, presenter di sebuah stasiun televisi , atau aktris sinetron (meskipun aku berkutat dengan yang namanya dunia teater), maka kupilih saja menulis sajak. Yang setiapkali bisa memberikan kebebasan padaku untuk bercerita tentang apapun yang kumau, dan kapanpun aku butuh.
Alasan yang cukup sederhana bukan?

Aku mendapatkan kebanggaan dan kepuasan dari proses menulis. Ya meskipun ia tak memberiku sebuah piala atau piagam penghargaan karena keberhasilannya membuat para pembaca terbahak-bahak, terisak-isak atau paling tidak menitikkan air mata, tapi aku tetap puas dan bangga. Karena seburuk apapun ia,
ia tetap anakku.
Anak yang kujaga sejak berupa janin hingga akhirnya lahir dari rahim imajinasiku.
Yang nantinya akan kuperkenalkan ia pada dunia luar, dunia yang mungkin akan menertawainya, mencibirnya, atau mungkin saja akan sedikit menyanjung ,mungkin juga sudi belajar mencintainya.

Tak banyak yang kuharapkan darinya, selain menginginkannya mampu menyuarakan keharuan dan sisi dramatis perjalanan hidupku ketika nanti ia telah berada di tengah orang-orang yang bisa menghargai keberadaannya.
Menghargai setiap sisi kehidupan yang coba ia uraikan nantinya.

Dan aku hanya akan tinggal diam di ruang 3x4 ini.Menunggunya pulang, mendekapnya, lalu mendengarkan ceritanya,tentang tempat mana saja yang rampung dijelajahinya, sudah berapa orang yang kenal dirinya, dan sudah sejauh mana ia mengenal orang-orang di sana.


kanthi kersaning tyas,



*Silsilah : asal-usul suatu keluarga berupa bagan; susur galur (keturunan)
*Trah : Sekelompok individu yang saling memiliki hubungan kekerabatan (silsilah) satu-sama lain

Pupus

Pastikah berujung segala yang tumpul?
Seperti pensil yang tajamnya kian mengecil
Rindu kita terlipat begitu saja
Dan rasa sayang hangus sebelum masa membakarnya
Dan rasa-rasa lainnya turut tumpul
Menemukan ujung sebelum terbiarkan lebur

Mencintaimu Adalah Racun Bagiku

Bisakah aku minum darahmu?
Menggantikan anggur yang gagal kubeli minggu lalu.
Bisakah? Jika tak bisa, bisakah sekali saja untuk bisa?

Biar tak lagi kuminum anggur, yang katamu adalah racun
Maka gantikan ia dengan darahmu saja.
Bukankah,telah kau simpan racun serupa didalamnya?
Jika tak bisa meski cuma sekali saja
Maka diamlah!
Bagiku, kau sudah terlanjur menjadi lebih racun ketimbang sebotol anggur

Mandalawangi

Dalam dua kali dua puluh empat jam
aku berucap
"Aku ingin ke lembah kasih
mandalawangi"

Tapi masih juga tak kau acuhkan
Kau lebih memilih memunguti daun-daun kering depan pintu
atau menyapunya hingga ujung pagar
Melupakanku