Ke India, Denganmu

Desember lalu sudah kubilang padamu : aku mau ke India
Ingin bermain dihulu gangga
membeli kain sari memakai mahendi
Pun menari-nari depan kuil dengan gemerincing gelang kaki

Dan padamu,
bulan lalu aku genapkan tuturku : darimu, aku ingin mangal sutra dan sebuah bindya di kepala disana
Jika telak kau tolak maka gugurkan aku sebagai calon istri
Aku akan pergi ke India, sendiri

Di Rembang Senja, Di Sebuah Dermaga



Dulunya Kita serupa bocah lugu
Yang suka malu-malu
Menangkap kunang-kunang dipinggiran sawah sebelah rumah dengan kain jarik milik Ibu
Menghitung laron-laron yang terbang di sekitar temaramnya sinar neon
Menerbangkan dandelion-dandelion di atas tandon
 Dan menari-nari dengan tangan dan kaki yang kita ikat sendiri dengan tali

"Dulunya, Kita ini angsa putih kawan
Yang warnanya memang tak terlalu putih
Dan lehernya tak terlalu panjang seperti sekarang" : ucapmu ketika lelah
Aku diam, coba mengeja makna
 Dan kau tertawa Bersendawa

”Kita ini senar gitar Mungkin juga dawai dari biola yang coba sering kau mainkan,meski terkadang sumbang
Kita mengambil duri dari kaktus yang kutanam di halaman
Dan mencuri bisa milik ular Lalu kita meminumnya sebagai obat untuk kuat”: ucapmu lagi, saat kepayahan Dan aku hanya diam
Sedang kau masih saja mengusap kacamata Yang gagangnya retak Tak sengaja kuinjak
Saat akhirnya kau berkata ”Ah, kita ini bukan apa-apa":
Di rembang senja yang purba, di sebuah dermaga

Dahulu, Di sebuah Dermaga

Dulu,di dermaga ini pula
Aku melihatmu
Berkalung kerinduan
Dengan kain-kain harapan yang tampak robek
Dan wajah yang menjadi sedikit tirus


”Tak apa, aku bahagia”
Ucapmu dari balik beton-beton tua di sebelah palang kapal
Di waktu silam

Waktu itu, urat asamu sudah serupa lapisan ozon yang kian menipis
Juga seperti besi-besi kapal yang berkarat
yang layarnya kian menjauhi dermaga ini
Tempat aku dan engkau rutin duduk
Menyendiri

Kau menjelma rumput laut
Kau menjelma ikan-ikan
Kau menjelma burung-burung camar
: ceritamu


Lalu,
Matamu mulai menjelma lautan
Menggenangkan air yang tak berbuih
Jernih
Mengalir tanpa ada hilir
Dan menguap hingga pangkal dagumu

Sesaat sebelum cahaya purba senja terbenam
Alih-alih,bangkai bangku pelabuhan
Tiang lampu sebelah dermaga
Menceritakan tentang makna airmatamu
Tentang semburat rindu
Juga tentang luka-lukamu terdahulu

Maka,
Sudah kubiarkan engkau
Khusu’ masyuk
duduk
sibuk pada kenang dalam sebuah diam yang cukup panjang


(pun aku sama-sama diam.menunggumu tersadar
Lalu beranjak. Mengajak segera pulang)

Pada Dermaga Tua Itu

; Widda Ayui Silma


Percayalah kawan
Aku melukismu di atas sebidang tanah
Tempat aku menanam berimbun bunga mawar dan kamboja merah

Kugambar matamu yang sedikit tampak layu
Dekik tajam di sebelah pipimu
Dan sebuah bibir yang sekejap lalu berucap nama seorang terkasihmu
; tapi bukan aku
Sebab ia seorang terkasih yang mungkin saja akan hilang
Jika saja tak kau pegang

Sedang aku,
Aku tetaplah bertahan
: disini
Di dermaga tanpa nama
Meski lalu lalang orang seringkali merebut perhatianmu
Lebih dulu

aku juga melukismu
Pada dahan-dahan kaktus
Yang durinya sempat menusuk halus
Lalu kau bilang : ”lukisanmu berdarah”
Tapi tetap kugurat ronamu saat senja kala itu
Dengan telunjuk yang mengalirkan warna merah segar

Di atas meja kayu mahoni, di sebelah rumah tua yang ditinggal pemiliknya
Dan di bangku taman seberang kota
Lukisan wajahmu tertinggal

Dan di dermaga ini kawan,
Satu-satunya tempat yang aku tak melukis dirimu


Sebab ini
Adalah tempat dimana aku langsung menampung dan menadah air mata
Yang sempat kau tumpahkan
Sesaat, setelah kau bercerita
Tentang cinta-cinta yang sempat membuatmu luka.

Di Serambi Kenang

Aku pulang..

Hendak menjelajah jalan setapak yang sewaktu kecil sering jadi tempatku bermain.
Atau mampir di sebuah pemakaman khusus keluarga, yang di bawah salah satu cungkup makamnya sering aku kemudian duduk lalu tertidur disana.Makam tua, tempat Eyang kakung tertidur selamanya.

Ah, aku belum lupa, apa-apa yang sempat tumbuh dan kupelihara di tanah itu.
Kembang asoka, bunga Cempiring,tanaman kaca piring, bunga mawar, sedap malam, dan krisan.

Aku pulang..
Berharap memori kenangan itu berputar lalu tiba-tiba terulang.
Tapi sayang, itu khayal.

Farewell #2

Di tangga-tangga ini, yang disetiap sisinya penuh nuansa hijau dan angin yang mendesau,aku menulis kisah dengan jejak dari tiap-tiap tapak.
Aku menghitungnya.menghitung setiap luka yang kuingat di tiap undak.
Daun-daun bambu kering,tupai, dan pohon-pohon yang masih tak juga kukenal namanya.

Diatasnya masih kulihat tandon-tandon air itu.
Makam tua yang di nisannya tak tertulis sebuah nama.


Aku menikmati keluh kesahku sendiri.

Melepas wanita-wanita yang sedari dulu sedikit menjadi belenggu.
Aku pun melepas yang namanya cinta.
Membiarkannya pergi, mengendap lalu hilang dalam hitungan tahun.
Meski juga kusadari, aku masih butuh cinta.
tapi aku sudah melepasnya... Dan menyesal karenanya, mungkin sudah tak berguna.


Ah, aku rindu.. pada sesuatu yang dulu kusebut belenggu.Sebuah cinta dari wanita.
Tapi juga kadang sedikit jemu.Seolah selalu bertanya, ”untuk apa..?? bukankah seperti ini saja aku sudah cukup bahagia??”


Dan di puncak bukit ini, seakan ada perempuan lirih berucap dibalik angin ”bahagia, namun hampa..”


Mungkin benar...
Tapi aku sudah menikmati sgalanya ini.Bahkan pada farewell kali ini, aku sangat tegar.
Sebab sebelum wanita yang kulepas di masa lalu itu hendak berlalu, aku sudah berucap satya purba :
Aku ingin menjadi angin. Yang bisa selalu memelukmu...
Meski takkan pernah engkau tahu.

Farewell #1



”Yang kutahu, banyak sudah farewell yang terjadi
Bukan hanya kali ini
Tapi, ini adalah awal dari sebuah farewell yang cukup menyakitkan..




”Sayangku pudar... entah kenapa itu bisa terjadi.aku juga tak mengerti.”
Ucapku kala malam itu.Saat bulan hampir sampai di ujung tahun.Tepat saat bintang enggan keluar seusai mendung.
Ya, di dua sembilan Oktober itu,adalah sebuah farewellku yang pertama.dengannya.
Tanpa jelas kuucap pisah, dan tak sekilaspun dihadapannya kusampaikan salam pamit undur, aku telah melepasnya..
”Aku sudah ditunggu keluarga.malam ini aku harus pergi.” Ucapku lagi.
Segera aku ingin lepas darinya.Berusaha mencari alasan, berpikir bagaimana mencari sebuah cara cepat untuk minggat.


..........................

Aku hanya ingin menangis.
Tapi ucapnya yang halus namun menusuk selaput hati hingga dinding usus, membuatku terpaksa menahan airmata.
Aku tak ingin sekali lagi, dari mulutnya keluar sebuah kalimat bahwa aku telah lemah.
”Apa benar sudah tak ada sayang yang tersisa? Benarkah sayang itu benar-benar bisa pudar..?”.tanyaku.
Dan aku hanya kelu, waktu ia mengiyakan semua itu..

Hatiku mungkin hanya bisa berbisik lantang, ”Ah, cepat benar?! ”

”Tak kau tahu sedari pagi aku menunggumu di rumah sakit.Berharap tiba-tiba kau hadir begitu selesai kututup telepon genggam yang nada panggilannya berakhir, pertanda tak diangkat.tak dijawab.entah sengaja,entah tidak.”
Dan entah kenapa, aku hanya bisa menggumam itu semua dalam hati.Tak kuungkapkan didepannya yang sedari tadi hanya diam.Mungkin memikirkan bagaimana cara untuk segera meninggalkan.
Aku, waktu itu hanya bisa menatap dua mata yang juga sama berkaca-kaca.miliknya.
Tapi aku yang meneteskan airmata, tak juga mampu menggerakkan tangan,sekedar untuk menahan wajahnya untuk tak berpaling ke arah kanan. Yang melayangkan pandangan pada sisi trotoar kampus,tapi aku tahu pikirannya jauh menembus itu semua.
Dari dua mata yang berkaca-kaca itu, aku mencari sebuah kebenaran.
Sayang, dari matanya tak kutemukan jawabannya.
Dan akhirnya dalam hati aku hanya bisa bergumam ,”Ah.. mungkin memang benar, sayangnya telah benar-benar pudar”.Dan aku ingin lebih lama lagi untuk diam, sambil berdiri.



.................................


”Aku harus pergi.sudah ada yang menungguku malam ini.keluarga.
Sangat jauh lebih penting daripada harus meneruskan bahasan yang takkan ada pangkal ujungnya jika masih dibicarakan.”
Lagi-lagi acuh, angkuh, dan ketegaanku kulempar dihadapannya.
Sebab malam ini aku ingin semuanya tuntas untuk kulepas.
Maka, kupilih langkah meninggalkannya.dan sengaja menciptakan jarak terhadap apapun tentangnya.



..................



Aku hanya bisa diam, dan menulis :


Oktober ini, aku ingin mati.
Melepas bintang yang sedari bulan lalu aku genggam.
Dan berharap, nanti akan ada meteor yang jatuh di kebun tepat saat akhir tahun.
Sebagai bukti, aku datang lagi
Yang dengan ekor api, hendak kubakar belahan bumi.
Termasuk diary ini...

Biar kisahku dalam bulan Oktober, tak kemudian menjadi sebuah sejarah dan kisah yang berjudul ”Tentang perempuan yang tertinggal diujung bulan..”


...................


Aku sudah membaca tulisannya.
Di sebuah diary bersampul ungu tanpa sengaja..
Tanpa pernah ia tahu, karenanya seseorang telah dibuat gamang disudut ruang kamar waktu itu.sedikit menyesal.
Dan itu adalah aku.
Yang terpaku, kelu, menahan sedikit haru juga sendu..
Jika masih bisa berharap, aku hanya ingin satu,
Malam ditengah bulan Desember ini, aku ingin bereinkarnasi jadi bintang jatuh..
Mungkin bisa menghiburnya untuk yang terakhir kali di akhir tahun ini..
Dan biar dia juga tahu, bintang jatuh adalah juga perlambang
Aku telah jatuh.rapuh..

Kembang Ungu Di Halaman Mess

Di Sebuah senja yang usang.senja yang tua, capung itu berkeliaran.
Seolah hendak menemaniku yang saat itu hanya duduk terpaku di bangku, di bawah pohon rambutan,
dan diantara kaktus, bunga krisan, mawar dan beberapa tumbuhan pekarangan lainnya.
Sebuah buku catatan, kamera digital, laptop, pena bertinta emas, kuas, dan sebuah kanvas tergeletak di beranda. Entah, hendak apa aku dengan semua itu.

Ah, lama-lama aku jengah. Terhadap senja, terhadap burung kakak tua yang terkurung didepanku, dan terhadap apa-apa yang ada disekelilingku ketika itu.
Menulis ataupun melukis, aku belum hendak.
Apalagi berkutat dengan laptop atau mencatat di buku agenda bersampul coklat itu. Aku tak mau.
Seolah telah kurapal bahasa yang dulu pernah kudengar dari seorang yang namanya tak sempat kukenal,
 ” Tak usahlah kau menunggu sebuah moment besar itu datang, sebab saat kau berkutat dengan itu, kau akan kehilangan momen-momen kecil yang sebenarnya bisa lebih berkesan..

Ah, Kuraih kamera digital. Memilih mengabadikan gambar di sekitar area mess perkebunan.
Sebuah ayunan tua di samping beranda, pucuk-pucuk bunga pohon pepaya, daun-daun kemangi,kumpulan kuncup krisan, dan tangkai-tangkai kembang ungu depan mess telah kuabadikan.
Ya, momen besar yang kutunggu adalah melihat bintang-bintang dan purnama sebuah bulan di mess perkebunan yang selama sebulan sudah kutinggali. Tapi seakan itu tak mungkin, sebab tengah hari tadi, cuaca tak mendukung. Sangat mendung. Maka sudah kuambil satu momen kecil.kuabadikan dalam gambar, dan kusimpan dalam tabung memoriku.

Lalu sebelum esok pagi aku pergi, aku hanya tinggal berucap dalam hati, ”kembang ungu itu sejenis dengan yang aku tanam dulu, pemberian dari seorang terkasih yang telah lama menghilang. Melihat bunga itu di sini, sudah mencipta momen yang membuatku terkenang tentangnya kembali.. Sesuatu yang tak kuharap, namun tak ingin hilang dari ingat..”

Lenguh Isak Kaum Terpinggir

Kaum Terpinggir

Ini malam tidak ada warung berjualan
Tak ada ojek yang mangkal
Apalagi tukang ronda yang biasa ngopi di gardu
Yang tak juga memiliki penerangan

Purnama kali ini sungguh sepi
Tak ada petani yang jalan di pematang
Memegang senternya, mengawasi air irigasi
Tak ada lantunan tembang lawas
Sembari bocah bermain di beranda atau lari halaman rumah

Semua sembunyi
Sambil dalam selimut ada yang melenguh
Mengeluh,
”Kenapa perumahan elite Menteng diprioritaskan
Sedang rumah-rumah pinggiran diabaikan..”

Lewat balik tembok bata sebuah gapura
Ada yang menggumam
”kenapa gula, kopi, karet, coklat, beras dan semua komoditas yang dihasilkan rakyat
Tapi tak penah menguntungkan rakyat..”

Jalan-jalan depan istana negara lengang
Tugu pancoran, monas, pula beberapa diskotik ibukota
Bisu
Usai pemilu

Hanya satu yang berlari di jalanan
Seorang veteran renta yang memegang pelepah pisang
Seolah itu senjata
Sambil kemudian berkata
”Indonesia sudah merdeka!”

Dan yang dibalik selimut, disawah-sawah, digardu siskamling
Di pinggir-pinggir emperan
Mereka kembali melenguh
”Ini kali memang tak ada yang bisa dipercaya.”

Nocturne in C# Minor

Nocturne : yang kau mainkan diantara tuts-tuts piano
Dengan jarimu yang tak lagi genap sepuluh.
 Katamu sembari menunggu summer triangle muncul di sisi kubah langit utara.
Dan lalu padaku, kau menunjuk salah satu bintang di Rasi Lyra : Vega

 "Persis namamu,sayang...", bisik yang mendiamkanku untuk mengikuti arah yang ditunjuk oleh jarimu
(yang kini tak lagi genap sepuluh)

Yang Tersiar Diantara Kawah Tangkuban Perahu

Pada tangga-tangga kawah itu
Kudengar lagi suaramu
Semangat mengurai cerita
bukan tentang cinta, pun tidak tentang kita
tapi negara

pada sesuatu yang katanya bernama pemerintahan
Bahwa katamu
di sini,di negara bermartabat
Pun katanya berbudi pekerti
berandal-berandal terminal, para kacung malam,
Gelandangan, pun perempuan penjaja selangkangan
Laris diobral,
Di jual pada rapat bulanan wakil rakyat, di siaran televisi,
Di kampanye para politisi,
Bahkan di sudut-sudutnya toilet di gedung apresiasi seni

Layaknya hama,
kaum yang mengaku beridealisme taat dan baku
(padahal saru)
Berteriak
Menyuruh semuanya diberantas.tuntas.

Tak mau dengar apa uang gedung, seragam, dan buku dari anak salah satu pelacur itu
Sudah ataukah belum lunas
Tak mau berpikir,apa mungkin berandal-berandal terminal dan para kacung malam itu
Terlahir begitu saja
Dengan otak tiba-tiba bebal, laku brutal
kurang ajar
Sebab dulu tak ada ibu yang mau seperti pelacur itu
Rela menjaja selangkang
biar anaknya bisa memakai seragam
Dan belajar di bangku sekolahan

Kau tetap berjalan di depanku,
Menyusuri kerikil-kerikil,kayu lapuk, juga bangkai binatang
Sambil sesekali menyumbat hidung karena bau belerang
Berceloteh tentang negara adikuasa, adidaya
Rakyat jelata
Masih bukan tentang kita

Orang-orang yang rutin lalu-lalang di gerbang sebuah gedung pemerintahan
Tak berpikir
Kira-kira gelandangan renta yang berjejer tidur di trotoar
Yang lalu dibilang pindang-pindang jalanan
masihkah bisa atau tidak buang air besar,
padahal perutnya lama tak diisi makan
Suaramu itu tak kalah dengan celoteh burung dipinggiran hutan

Pun tentang kaum elite politik yang antikritik disetiap rapat
Juga koloni mahasiswa
Di universitas belasan tingkat
Bahwa otak mereka meninggi

Tapi membiarkan model-model yang diperbincangkannya ada di bawah gedung mereka
Sedang mencuci, berak, mandi
di kali yang jadi tempat pembuangan air dan kotoran dari gedung-gedung tinggi
Sedang mangkal berjualan
Yang piring dan gelasnya ia cuci dipinggiran kali tadi
Pun ada yang sedang menengadah diam, sambil malu-malu
Sebab dari atas sana, ia tahu telah menjadi sasaran sebuah tontonan

Mengobral cerita orang miskin, menjual nama pihak terkucil
Dan memakan hak milik yang lain
Kau sebut dzalim

Kau tetap berkobar
mendeklamasikan gugatan-gugatan, tuntutan
bantahan terhadap ketidakadilan,ketidakpedulian sistem pemerintahan
Hingga lupa
Di sini, dibelakang langkahmu
Di tepi kawah tangkuban perahu
ada aku

yang meski bangga, tetaplah merasa sedikit berduka

sebab kau berjalan didepanku
sebab kau memang berbincang banyak hal
tapi tak pernah tahu
bahwa ketidakadilan
bahwa ketidakpedulian
itu yang juga sedang kurasakan

tepat saat sebelumnya sangat kuharap
kau akan berbalik
menggugat aroma belerang yang membuatku sangat sesak
dan bercerita sedikit saja tentang kita, tentang cinta
tentang anak-anak kita
bukan lagi negara
atau pun pemerintahannya

(yang karenanya, sempat kau dihujat pemberontak
dan kini terpaksa berkalung predikat : mantan narapidana)

Yang Terjadi Di Hari Kemudian

Aku akan melihatnya
Pada sebuah mimpi terakhir diujung masehi
Nanti

Sungguh, sudah kucenayang
aku pasti melihatnya
Berdiri ditengah misa
Pada mimbar sebuah kapel
yang dulunya aku pernah ia bawa ke sana

Akan jelas kulihat
mulutnya tergerak mendaras litani
Pun kemudian jemarinya memegang serpih hosti

Sedang aku pasti diam
Dikejauhan
Menyeka airmata, pun sedikit menyesalkan
Sebab dulunya aku ataupun ia -- pria yang padanya sudah kularungkan seluruh rasa
Sungguh gagal mengunci bulir tasbih di celah rosari

Dan antara penghujung masehilah
Dalam detik, hari, dan bulan di sebuah masa depan
Cenayangku akan terbuktikan

Niscaya
akan kulihat ia, menoleh padaku dari sudut gereja
Sekilas melempar senyum
Sangat anggun
Dalam balut busana seorang pastur

Dua Puluh Satu April

Tanggal-tanggal yang lain
Kubiarkan tergeletak pada almanak
Sebab sudah kupilih sebuah tanggal
Yang hanya khusus buatku
: Dua puluh satu
Maka
Kujadikan ia penanda hari
Saat dimana kesendirian genap kutanggalkan
Dan sepi telah resmi kukremasi

Parahyangan Senja

Dari kereta Parahyangan
Dupa atas cinta
Pun selaksa kasih sayang
Tuntas kutiupkan di gerbong ketiga, bangku lima, tepat pukul empat senja
Biar terbang, biar hilang
; bersama hujan
Mungkin akan menghempasnya ke satu jurang di perbukitan Padalarang

Sudah pula kuikat erat kecewa di sisi atap kereta
Biar di tiap tapak
Di lapak yang akan kuinjak
Asma yang rutin kukecap di berbait doa
Tak usah kutemui sedang mengerang duka

“aku datang
tidak dengan siapa, tak juga demi siapa"

Sungguh, memang tak ada sesiapa di sana
Di kursi-kursi stasiun, tak kulihat ia
Yang mungkin biasa menjemput sembari membawa bunga
: melati, ataupun setangkai mawar putih

Tak pula kukaton ia di jembatan layang Pasupati
Yang pada jam satu dinihari,
Antara sembilan belas tiang penyokong beban jalan banyak pemudi sedang menepi

Sungguh, masih tak kuterawang jelas ia dimana
Mungkin sedang menangkar cinta di tempat lain
Mungkin menjerang airmata
Mungkin juga diam saja

Sudah lewat satu malam berdiam di ruas jalanan kota kembang
Kini waktunya
Di pinggiran alun-alun cinta kucecer sampai ujung stasiun
Dengan Parahyangan aku pulang
Kembali ke Jakarta
tanpa cinta, tanpa airmata
tanpa sesiapa
: hampa

Bagi Kita, Karma Itu Ada

Kemudian pada ribuan tahun yang silam
sebelum Kristus lahir, sebelum ada tarikh Saka
Mungkin benar
Tuhan sudah diam-diam mengganjar sesuatu
di langkahku pula di garis tanganmu
: Karma -- Jalan yang tak memberkati kita untuk bersama

Lalu mewariskannya menjadi titik-titik airmata
bahkan hingga kehidupan saat ini
maka diam-diam sudah kuganjal tangisku dalam hati
sembari melihatmu
Yang juga diam dalam dilema sebab karma yang purba

Padamu -- pria yang berdiri depan bunda Maria
Yang hanya mampu membawaku dalam tiap doanya
aku masih ingin percaya
pada sisi baik karma
pengorbanan rasa
pun pada ketidakberadaanmu yang benar tiada

Cinta Dalam Masehi

Sudah pula kusiapkan
beragam corak bentuk nisan
Biar hingga abad kesekian setelah Masehi
cinta antaramu denganku tetap abadi
dalam mati

Sungguh,kita pun akan bersatu
hidup di satu liang pembaringan
: kubur batu


catatan khusus : Teruntuk kematian yang masih belum genap untuk diperingati..

Sebelum ada tarikh saka, sebelum masehi bermula, bahkan KALAUPUN penutupan masehi ada, cinta antaraku thdpmu ttp baka..tak mewujud apa2, tak akan nyata.dan menjadi abadi itu hny mimpi.
maka,mimpi=cinta. dan itu berarti cinta tak pernah akan menjadi abadi.mungkin hny satu, cinta Illahi.
ah.., sungguh,stlh kuhitung2,mmg kau hny akan jd cinta kesekianku..
untukmu.--pria yg rutin bertamu di hari minggu.

Berawal Dari Mazmur

'Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis ...'
'Pada pohon gandarusa di tempat itu, kita menggantungkan kecapi kita'

Mazmur ini
Adalah lembar yang kulempar
Di wajahmu menjelang semusim akhir penghujung tahun
Ayat yang di caturwulan kedua
Tak hendak kurapal, tak niat kulafal
Biar pudar
Sebab aku, kala itu hendak kau tinggal

Dan ini kali
Ku biarkan pemazmur memainkan nadanya
Mencuri hela di tiap celah nafas
Bersemburat tak jelas

Maka disini lah,
Kemudian akan kutulis wahyu tak bermutu
Tentang aku yang tak lagi diutus mengeja rindu
: untukmu
Sebab telah genap satu warsa
Aku putar arah menafsir cinta

Pada sudut gereja berpagar gandaria
Tuntas kutanam sebatang gandarusa
Antaranya, sudah pula kugantungkan sebuah kecapi
: tanda musik suka cita atas cinta kita murni berhenti

Biar saat kau tiba
Kau tahu
Usai kau memutus cinta
Kuhibahkan diri pada Ilahi
Suci, dalam kalung dan jubah biarawati

catatan khusus : Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis..
Pada pohon gandarusa di tempat itu, kita menggantungkan kecapi kita--baris-baris pertama Mazmur 137
sebenarnya adl pasal yg bercerita ttg pembuangan.Ttg orang-orang yg menggantungkan kecapinya karena tak bisa memainkan musik sukacita yang diinginkan hati mereka..

Baginya, Aku Titipkan Mawar Di Suatu Malam

; Ratri
Jangan bilang padanya
Tanggal-tanggal yang sempat terasingkannya telah mati
Persis ketika aku
tak lagi punya hati

Biarkan ia mancari hari, atau bulan-bulan lain sendiri
Untuk mengganti yang terlewat akibat nafas yang tergadai sesaat
Atau biar saja ia minggat
Mungkin ingin menyusur lagi pesisir Parangtritis
atau berburu buku di tepian toko Malioboro
Meski kutahu, ada buku yang belum rampung dibacanya

Cukup bilang padanya,
Mawar putih yang lirih kuselip doa bertali kasih—bentuk aku tak bisa menjenguk
Tak perlu disandingnya sampai terlalu
Sebab pasti layu
: Buang saja
Biar kali Code menghanyutkannya ke hilir muara sore
Mungkin juga menerbangkan kelopaknya ke sudut gardu
Sebelah lembah gunung Semeru
merubahnya jadi rindu

Sungguhpun, biarkan ia sendiri
Diam dalam rehat yang sangat tak sejenak
Lalu pastikan,
Saat ia --yang layak saudara telah kembali
ia akan tahu dimana dan sedang apa aku

( Ratri,
Kaulah saksinya, aku masih disini.
mengeja doa untuknya )

Malam Suci Yang Berbeda

Di dekat jendela separoh terbuka
Kau berkaca
Tanpa piyama,tanpa kutang
tak juga bercelana dalam

niscaya siapapun jemaat
bisa tak ingat apa itu wihara, pura, pula sebuah gereja
jika dikatonnya ada ayat-ayat yang terpahat lebih nyata, terselip serupa lembar-lembar mushaf pada tiap lekuk yang pada sebuah masa akan terhimpun menjadi alkitab baru bersampul cokelat,terukir berjudul
; syahwat

di depan kaca
adalah maha karya berdiri
tanpa gelang, tanpa anting-anting
bersisa satu cincin kawin

Pada aurat,urat-urat yang masih serupa kitab, ada tafsir-tafsir yang kemarin lalu terlewat dirapal,lupa kuterjemahkan
maka malam ini,Tuhan pun seperti tak hendak aku beranjak
menginjak surau, musholla, atau masjid di sebelah.

bukankah ada pahala lebih besar di rumah
sebuah sunnah
untuk kubaca
untuk kuraba



Gamelan Jiwa

Delman itu masih ada
; pengangkut gamelan pun gong raksasa
iringannya menari saat pesta

aku rutin menguntitnya--sang dalang andalan
dan perempuan penyandang sinden sekaligus guru tari janger
adalah bapak ibuku yang urat seninya sudah paten

aku sering sembunyi di balik alat tetabuh riuh
pun di tumpukan tokoh wayang yang namanya jarang bisa dihafal
kemudian tidur

Saat terbangun
segala macam karawitan, kidung pengasihan
telah jadi rentak bagi jiwaku untuk bergerak
menerus tradisi alir darah seni dalam gemuruh musik tabuh
; jadi tembang megatruh

Coretan Di Masa Lalu

Bahkan semalam aku melihatmu lagi.
Menyelip kalung berliontin salib dibagian kerah kemeja, dengan tangan kanan menyandang alkitab bersampul cokelat tua. Aku masih ingin tertawa, kenapa bisa aku jatuh cinta pada pria penganut tuhan yesus, umat kudus sang kristus.bagaimana caranya aku kemudian berpikir tentang pacaran lain agama, bahkan menelaah seperti apa jika akhirnya kita memilih hidup bersama dengan tetap beda agama.
Pernikahan yang sakral, entah bagi kita akan digelar di masjid yang agung ataukah megahnya katedral?
Aku masih melihatmu, berada diantara para pastur dalam suasana paskah ataupun misa.
Juga di suatu malam ekaristi, di sebuah pekan tak terlupakan saat semua orang berteriak saling mengucapkan ”selama hari natal, sayang”.atau di sebuah hari suci, saat tepat ada orang melakukan pembaptisan, aku juga melihatmu.Dan kau tetap tersenyum, tanpa perubahan sedikitpun.
Sungguh, aku ingin tertawa, sejak semalam tiba-tiba kau datang...
Sangat heran, kenapa tak di ayal secara spontan aku bilang, ”jika kau benar cinta, maka nikahilah aku segera..”.Dan baru kali itu aku melihatmu tanpa tawa lagi.. Ah,tapi untunglah kedatanganmu cuma mimpi.
Sebab akupun tahu, pernikahan adalah ambang yang masih sangat samar untuk kita pertimbangkan..
Bukan sebatas memilih ’ya’ atau ’tidak’ untuk menikah,
Tapi pertanyaan selanjutnya, di ’masjid’ atau ’katedral’kah akan berlangsung pernikahan kita, itu yang susah...




**tulisan2ku dahulu...
coretan ttg sebuah kisah,yang hampir terbuang ke tempat sampah.

~ otakku mmg belum cukup kuat berpikir keras rupanya stlh sakit..

Sandal

Kemarin minggu, tuhanmu mempersilakanku mampir ke rumahNya
Sekedar menemanimu berdoa
Pada sebuah altar yang tak bertuliskan apa-apa
Dan Ia tak menyuruhku melepas sandal depan katedral
Seperti yang biasa kulakukan di rumah tuhanku

Paling tidak aku pun tahu
Tuhanmu memang bukanlah pencemburu

Coretan Sederhana

Aku punya tuhan yang Maha pencemburu.
sedang kau,mungkin tidak.

maka jika sempat, besok aku ingin mampir ke rumah tuhanmu...
sekedar ingin melihat-lihat saja.
apakah ia mencintaimu lebih daripada cintaku buatmu.
atau apa ia lebih mengingatmu dari yang lain, sama ketika kau lebih mengingatNya dibanding aku..
apakah dirumahNya ada altar yang hanya bertuliskan namamu.
aku ingin melihatnya..
sebentar
biar akhirnya aku tak perlu cemburu
jika setiap minggu kau lebih memilih mengunjungiNya ketimbang aku...



catatan khusus : Hanya sebuah coretan yang kutuang saat sahabat 'terdekat' berkeluh-kesah tentang cintanya...
~otakku sedang tidak pada tempatnya.

Semburat Kamasutra

" Tak perlu lagi peduli pada saka
Asalkan pagar keputren terbuka
Di bawah awanawan yang menjadi hujan
Dengan kereta kuda kan kucari kembali akar cinta
Yang dulu sempat kutitipkan pada jambangan seorang perempuan
Saat kembang mayang perlahan kutanggalkan
dari diajengku tersayang... "
(230109, sajak seseorang yang sejak awal tak ingin namanya dikenal.
*lekaslah sembuh mas.. Tuhan memberkatimu )

"Bahwasanya aku tahu, ia tak biasa pun sekedar bisa
membuka lebarlebar gerbang kepatihan yang waktu lalu urung dipugar
Langkahnya kukhayal gontai.
Seperti seribu kali berpikir,
tangannya hendak atau tak untuk menyambar pelana kuda putihnya.
Mendobrak adat, menendang tentang depan khalayak.
Lalu membawaku meletakkan tepat dihadap tubuhnya
Berdua berkuda, entah ke antah berantah mana
Sungguhpun kutahu
Sekalipun mungkin diterawang ia takkan datang
Tapi persis purnama tepi kolam sudah kuelus halus perutku
Dinding luar dari pinggir rahim
sambil lalu, lirih kuucap satya
titipan murni janin ini pasti kan kujaga
demi kandaku tercinta... "

Mengikat Mega

Ia kah mega. wujud seruas rusuk.yang pada akhirnya lahir kemudian dari -kah berubah -lah.
membuang jauh-jauh hujan yang biasa meleburkan celah tanah yang tak siap menghidupkan gogo rancah.meniup angin biar hilang biar samar di pegunungan.menepis gerimis.Tak tahu bahwa bedeng tengah kampung larung dalam lingkup kemarau yang saru dimana ujung.

lalu entahlah saat dewasa silau itu hilang.perlahan.ditelan udara kota disanding mural-mural pinggir jalan.serabut kabut asap kendaraan.juga hujan yang ia terbangkan setiap akhir pekan.hirup yang sama.hanya berbeda hiruk di belakang tengkuk.maka darinya mata tak lagi dikepala.hati kecil sudah mengambil separuh bahkan keduanya.

Dan dalam keadaan apapun.dimanapun.takkan pernah lagi sembah pasrah hendak dibiarkan tak terjamah di depan rumah.terlantar di pelataran.
di tempat-tempat yang katanya bisa untuk berpijak bukan daerah yang mengikat.ialah mega.

Teatrikal Bagi Sang Lesmana

; Biarkan dia ada

Lesmana,
aku tak tahu siapa atau
dimana kau
sebab pun tak kutahu siapa dan
dimana aku

hanya ada jimbe,angklung,lumbung,payung
seekor burung dalam kurung pun selembar gaun
berhambur dalam latar panggung teatrikal
di sini
tepat di ujung kaki

"aku tak mau main lagi!"
vokalku tak lagi sarat serak gamang
kularikan gaun ke ujung utara panggung
kubalikkan lumbung menindih payung juga angklung
kulepas burung dari kurung,biar terbang biar mumbul
semua hancur
lebur

Lesmana,
sungguh pun tak kutahu siapa kau
siapa tuhanmu
sebab pun aku tak pernah tahu aku siapa
bertuhan siapa

di panggung tepi sebelah kiri
kutabuh jimbe sekali,dua kali
lalu pergi
ke sudut latar sebelah kanan
geber hitam kugoyang-goyangkan
membentuk serupa gulungan ombak pembuat karam
Lesmana takkah kau mencari
seruas rusukmu yang rumpang di jaman azali

Lesmana
Tak kutemukan kau dimana-mana
tak di gereja
musholla tua
tak pula di yang namanya tapa dalam goa

tapi naskah teatrikal
haruslah ada ujung pangkal

maka kupilih, bersandar pada lumbung padi
musabab awal kehancuran latar
sebentar
sekejap kemudian
vokal perut kembali kuhujamkan
"aku bosan main lagi!"

lampu mati

( biarkan lesmana ada.dalam naskah.dalam sejarah
dalam pikiran az zahrah.tanpa akhir
; sebab aku lah sutradara
pun penulis naskahnya )

Ingin Tahu Siapa Menggembala Domba

Mari sang gembala mulai menafsir rindu
Entah pada neraka, entah surga
mungkin pula diantaranya
; ladang tak kutahu

Ini bapa, ini tapa
kenapa tak berwujud apa-apa?
serupa papa

Bukan aku yang memilihmu, tapi kamu yang memilihku
Kemudian hendak jadi selayak apa aku?
seperti semu

Ah, sungguhpun aku ingin tahu
pada siapa yesaya
Sejarah Ezra
nehemia

Sebab aku, domba yang tak tahu digembala siapa

Tolong sang gembala tafsirkan rindu
pada ilah tak bernyawa,pada allah tak terindera
ataukah sesuatu di antah berantah sana
; bayang tak ku tahu

Catatan Yang Pasti Akan Terlupakan

aku menulis abu-abu pada buku
di salah satu kamar remang rumah sakit
semalam
tak peduli seberapa pengap di ruang rawat inap itu
tak peduli apakah benar kamar mayat itu berada disebelahku

aku tetap menulis

di depanku seorang perempuan telah menangis
entah karena itu suami atau mungkin kerabatnya yang hanya terpisah tirai berwarna biru dariku telah terbujur sekarat atau karena ia ingat bahwa uang belanja bulanannya tak cukup melunasi semua biaya administrasi
aku tak tahu.aku masih berkutat dengan buku

ya,aku menulis..dan sesekali asyik bertepekur dengan yang namanya internet
Berharap lupa bahwa sembilan tahun lalu saat maag akutku kambuh
ada orang-orang yang membesuk hingga rela bermalam, menggelar tikar di depan toilet
Juga mengingat tentang seorang bocah yang dulu kutemui di rumah sakit, yang dengan lemahnya dia mengajakku bermain tanpa ia tahu tumor di kepalanya sudah stadium akhir.
Aku tak ingin mengingatnya
Pun ketika dulu seorang nenek yang mengenakan kebaya lusuh dan jarik batik yang sedikit berbau tengik telah memapahku ke puskesmas terdekat, sebab berjalan pun aku tak kuat.dan lagi-lagi itu karena maag laknatku yang sedang kumat.
aku ingin melupakannya..

Aku hanya ingin menulis
berharap tak ingat bahwa ternyata orang-orang yang tak begitu kukenal itu kenyataannya sudah lama meninggal

Infus, obat, segelas air putih, dan sisa bubur di meja tadi siang
adalah saksi bisu atas abu-abu baru yang menggerogoti pikiranku semalam
Ah,seorang kawan telah berujar lewat mesin penyampai pesan
malam itu telah ada yang kubuat cemburu, katanya
entah apa maksudnya,aku berharap untuk lupa

Setelah itu aku baru tahu dimana aku harus berhenti menulis semalam
aku cemburu.
terhadap apa pun yang ingin kulupakan

Bahkan pada kenyataan yang menyatakan Tuhan adalah Maha pencemburu

( 11.29 pm,di salah satu ruang rawat inap.
di temani igau saru pria penderita Demam berdarah disebelah, yang istri, pacar atau mungkin hanya temannya sedari tadi menunggu,
sedang aku hanya ditemani sebuah buku.abu-abu.cemburu)

Putih Merahnya Adikku Yang Lugu

kemarin adikku duduk
menunduk di belakang pembajak sawah
sambil memangku seragam putih merahnya yang basah

dari jauh aku tahu ayah tak melihat air matanya jatuh
sebab di tepi parit
rumput hijau sudah menjerit lebih dulu minta diarit
buat pakan ternak sapi katanya
modalku lulus sarjana nanti

lalu kulihat adikku beranjak ke pinggir kali
memeluk erat seragam putih merah satu-satunya
yang kemarin dilempar tinta oleh temannya
sayang berapa kalipun ibu mencuci, nodanya tak bisa hilang
padahal besok senin
harusnya di upacara rutin adikku jadi pemimpin

tapi aku tahu
adikku lapang dan sungguh lugu
sebab sebelum dia ke kali untuk mencuci seragam putih merahnya lagi
kepada ayah adikku sudah berkata
biarlah besok ia tak jadi pemimpin upacara
lain kali ia mau jadi pengibar bendera saja
sambil menunggu putih merahnya luntur dari noda

dan tadi pagi kulihat sambil tertawa ia berangkat
tanpa tahu luka
tanpa merasa berduka
ia kenakan seragam pramuka ke sekolahnya

Lukisan Keluargaku Rupa-rupa Warnanya

(1)
Sehabis hujan tadi malam
Ada gambar kutemukan tercecer
basah,sedikit koyak di halaman belakang
Luntur di samping dapur bawah pohon rambutan
satu tersangkut di kawat pagar sebelah utara kandang ayam

(2)
putih.hitam.abu-abu
kata ibu gambar adikku
gambar perempuan tak berwajah
juga pria yang di sela dua pahanya
ada dua binatang tak jelas bentuknya
seperti ayam tapi serupa juga burung gereja

(3)
hijau.biru.merah
satu lagi terselip gambar di bawah bangku
"Jangan disapu sebentar lagi pemilu",
kata ayah sedikit marah
Lukisan padi yang seperti tak pernah menguning
juga aneka piaraan yang bagiku terlihat sedikit jinak

(4)
saat menjelang hujan
keluarga berkumpul di ruang tamu
ayah sedang membagikan sesuatu,sebuah bingkisan
bukan lukisan.bukan kertas bergambar
kali ini baju lengan panjang

(5)
ungu buat adikku.biru ibu
merah ayah.sedang aku...
"ini untuk kau..hijau!"
Ah, ayah tak tahu
saat ini aku lebih suka abu-abu

Dul Gani, biar ...

Jika benar
di paruh bulan,bintang selatan,dan matahari
ada bekas patukan paruh jelmaan rajawali.
juga pada malam dan siang, tercipta tiang khayal setinggi galah menyanggah batas maya dunia dengan surga
yang kadang bisa serupa jembatan panjang
bersimpul benang jingga sebagai jalan tapa menuju neraka jika memilih menyunggi istri
ceritakan padaku, tolong
biar nanti
kisahmu jadi bukti
sabda palsu dalam mimpinya Dul Gani

di ruang pengadilan
biar derai.biar lerai.
Dul Gani minta cerai.biar.biar.biar?

Lastri Di Abad Pertengahan

/I/
Tapi Lastri telah mati.
Badan rampingnya remuk di amuk tronton tadi pagi.
Sebelah tangannya yang nakal, entah kiri atau kanan,ditemukan tersangkut pada gerobak sapi, di roda belakang. Ususnya melilit di tiang listrik
Kaki-kaki jenjangnya yang baru bergelinjang di depan pelanggan semalam , terseret ke selokan.
Paha mulus yang tak absen diendus para anjing hidung belang, terbengkalai di depan kakus.jadi bangkai.
Dan sisanya, hanya kepala dengan kantung mata tak berbiji.
itupun sudah terlempar ke ujung kali.tadi pagi.
Dua biji matanya sudah habis dijilat.dicongkel.dan kini ditenteng keliling kampung untuk diperebutkan anjing-anjing tengil.

/II/
Lastri sudah mati,
sejak malam pertama ia mengenal anyir mani yang disodorkan sang mucikari.
Bahkan pada malam-malam sebelumnya, saat suatu malam
pria yang dulu menyeru adzan ditelinganya ketika lahir
tiba-tiba berubah jadi anjing.
Pinggir mulutnya mengalir liur bau anyir.
Jangat berkeringat, otot berkawat tumplek tindih di tubuh Lastri.
Saat itu, awal Lastri telah mati. Dan pada setiap lelakilah, Lastri berteriak dalam hati : anjing!
Tapi sebab itu, Lastri kemudian tampil bak penyayang binatang.
Meladeni anjing-anjing tengil yang berjakun sebesar kemiri.menyuapi.menyusui.

/III/
Lastri benar-benar mati
Otaknya muncrat! Tergilas sedan dari selatan..
Sedang bagian lain tubuh Lastri, yang sekalipun belum sempat digauli, sekarang masih tercecer di sisi trotoar.Kasihan, hati dan jantung Lastri bersenggama tak aturan dengan aspal
Padahal di tepi jalan, tempat Lastri tewas terlindas pagi tadi
Ada yang mencintainya sejak kecil, seorang kucing
Bukan anjing!

Euforia

Tak kau lihat lipatlipat partiturku yang kapan lalu berujung pada penitipan lembar alkitabmu
Meletakkan aku dalam koor yang sedikitpun tak jua bertuju sebayang nur
lebur atur rancak bariton menggaung antara deret nadanada mayor-minor
mengelupas mata,memapar rata siapa bapa

Tak kau lihat sebelah kapelmu derap pada mihrab kerap menggarap pilarpilar masa penamat riwayat
Aku lagi-lagi ditawan untuk menyenandung,berkalung rosario
berjejer mengalun segamit mantra ditata sedemikian dalam campuran sepasang bass tenor diseling gema sopran alto

Tak kau lihat aku mengalirkan airmata dibangkai sajadah sarat sejarah
pengulum senyum disetiap gundah sebelum dahulu kau paksakan jubah keyakinanmu berselempang ditubuh pualamku senyap sesaat di malam pertama perkawinan kita waktu itu
Lalu takkah padaku kau akan bilang

Inilah euforia itu sayang

Inspirasi Syair

Dan lagi
dari sudut bukit sebuah ranu
aku melihatmu
saru
diam antara cecer dedaun waru dan jejer rapi pohon jati

Pula di tikungan jalan setapak
yang kulewati saat pancasona mega ikut bergerak
pulang
Wajahmu mampir di pucuk-pucuk rebung
; tunas mudanya sulur pring kuning
kau tertawa
disela jamur bulan yang ku biarkan
tercerabut dari akarnya
Lalu
di lintas ujung lereng,tepi sungai hilir
aku ingat
di pinggiran ranu telah tertinggal bait pertamamu
; merumpang syair nyinyirku

Ke India, Denganmu

Desember lalu sudah kubilang padamu : aku mau ke India
Ingin bermain dihulu gangga
membeli kain sari memakai mahendi
Pun menari-nari depan kuil dengan gemerincing gelang kaki

Dan padamu,
bulan lalu aku genapkan tuturku : darimu, aku ingin mangal sutra dan sebuah bindya di kepala disana
Jika telak kau tolak maka gugurkan aku sebagai calon istri
Aku akan pergi ke India, sendiri

Di Rembang Senja, Di Sebuah Dermaga



Dulunya Kita serupa bocah lugu
Yang suka malu-malu
Menangkap kunang-kunang dipinggiran sawah sebelah rumah dengan kain jarik milik Ibu
Menghitung laron-laron yang terbang di sekitar temaramnya sinar neon
Menerbangkan dandelion-dandelion di atas tandon
 Dan menari-nari dengan tangan dan kaki yang kita ikat sendiri dengan tali

"Dulunya, Kita ini angsa putih kawan
Yang warnanya memang tak terlalu putih
Dan lehernya tak terlalu panjang seperti sekarang" : ucapmu ketika lelah
Aku diam, coba mengeja makna
 Dan kau tertawa Bersendawa

”Kita ini senar gitar Mungkin juga dawai dari biola yang coba sering kau mainkan,meski terkadang sumbang
Kita mengambil duri dari kaktus yang kutanam di halaman
Dan mencuri bisa milik ular Lalu kita meminumnya sebagai obat untuk kuat”: ucapmu lagi, saat kepayahan Dan aku hanya diam
Sedang kau masih saja mengusap kacamata Yang gagangnya retak Tak sengaja kuinjak
Saat akhirnya kau berkata ”Ah, kita ini bukan apa-apa":
Di rembang senja yang purba, di sebuah dermaga

Dahulu, Di sebuah Dermaga

Dulu,di dermaga ini pula
Aku melihatmu
Berkalung kerinduan
Dengan kain-kain harapan yang tampak robek
Dan wajah yang menjadi sedikit tirus


”Tak apa, aku bahagia”
Ucapmu dari balik beton-beton tua di sebelah palang kapal
Di waktu silam

Waktu itu, urat asamu sudah serupa lapisan ozon yang kian menipis
Juga seperti besi-besi kapal yang berkarat
yang layarnya kian menjauhi dermaga ini
Tempat aku dan engkau rutin duduk
Menyendiri

Kau menjelma rumput laut
Kau menjelma ikan-ikan
Kau menjelma burung-burung camar
: ceritamu


Lalu,
Matamu mulai menjelma lautan
Menggenangkan air yang tak berbuih
Jernih
Mengalir tanpa ada hilir
Dan menguap hingga pangkal dagumu

Sesaat sebelum cahaya purba senja terbenam
Alih-alih,bangkai bangku pelabuhan
Tiang lampu sebelah dermaga
Menceritakan tentang makna airmatamu
Tentang semburat rindu
Juga tentang luka-lukamu terdahulu

Maka,
Sudah kubiarkan engkau
Khusu’ masyuk
duduk
sibuk pada kenang dalam sebuah diam yang cukup panjang


(pun aku sama-sama diam.menunggumu tersadar
Lalu beranjak. Mengajak segera pulang)

Pada Dermaga Tua Itu

; Widda Ayui Silma


Percayalah kawan
Aku melukismu di atas sebidang tanah
Tempat aku menanam berimbun bunga mawar dan kamboja merah

Kugambar matamu yang sedikit tampak layu
Dekik tajam di sebelah pipimu
Dan sebuah bibir yang sekejap lalu berucap nama seorang terkasihmu
; tapi bukan aku
Sebab ia seorang terkasih yang mungkin saja akan hilang
Jika saja tak kau pegang

Sedang aku,
Aku tetaplah bertahan
: disini
Di dermaga tanpa nama
Meski lalu lalang orang seringkali merebut perhatianmu
Lebih dulu

aku juga melukismu
Pada dahan-dahan kaktus
Yang durinya sempat menusuk halus
Lalu kau bilang : ”lukisanmu berdarah”
Tapi tetap kugurat ronamu saat senja kala itu
Dengan telunjuk yang mengalirkan warna merah segar

Di atas meja kayu mahoni, di sebelah rumah tua yang ditinggal pemiliknya
Dan di bangku taman seberang kota
Lukisan wajahmu tertinggal

Dan di dermaga ini kawan,
Satu-satunya tempat yang aku tak melukis dirimu


Sebab ini
Adalah tempat dimana aku langsung menampung dan menadah air mata
Yang sempat kau tumpahkan
Sesaat, setelah kau bercerita
Tentang cinta-cinta yang sempat membuatmu luka.

Di Serambi Kenang

Aku pulang..

Hendak menjelajah jalan setapak yang sewaktu kecil sering jadi tempatku bermain.
Atau mampir di sebuah pemakaman khusus keluarga, yang di bawah salah satu cungkup makamnya sering aku kemudian duduk lalu tertidur disana.Makam tua, tempat Eyang kakung tertidur selamanya.

Ah, aku belum lupa, apa-apa yang sempat tumbuh dan kupelihara di tanah itu.
Kembang asoka, bunga Cempiring,tanaman kaca piring, bunga mawar, sedap malam, dan krisan.

Aku pulang..
Berharap memori kenangan itu berputar lalu tiba-tiba terulang.
Tapi sayang, itu khayal.

Farewell #2

Di tangga-tangga ini, yang disetiap sisinya penuh nuansa hijau dan angin yang mendesau,aku menulis kisah dengan jejak dari tiap-tiap tapak.
Aku menghitungnya.menghitung setiap luka yang kuingat di tiap undak.
Daun-daun bambu kering,tupai, dan pohon-pohon yang masih tak juga kukenal namanya.

Diatasnya masih kulihat tandon-tandon air itu.
Makam tua yang di nisannya tak tertulis sebuah nama.


Aku menikmati keluh kesahku sendiri.

Melepas wanita-wanita yang sedari dulu sedikit menjadi belenggu.
Aku pun melepas yang namanya cinta.
Membiarkannya pergi, mengendap lalu hilang dalam hitungan tahun.
Meski juga kusadari, aku masih butuh cinta.
tapi aku sudah melepasnya... Dan menyesal karenanya, mungkin sudah tak berguna.


Ah, aku rindu.. pada sesuatu yang dulu kusebut belenggu.Sebuah cinta dari wanita.
Tapi juga kadang sedikit jemu.Seolah selalu bertanya, ”untuk apa..?? bukankah seperti ini saja aku sudah cukup bahagia??”


Dan di puncak bukit ini, seakan ada perempuan lirih berucap dibalik angin ”bahagia, namun hampa..”


Mungkin benar...
Tapi aku sudah menikmati sgalanya ini.Bahkan pada farewell kali ini, aku sangat tegar.
Sebab sebelum wanita yang kulepas di masa lalu itu hendak berlalu, aku sudah berucap satya purba :
Aku ingin menjadi angin. Yang bisa selalu memelukmu...
Meski takkan pernah engkau tahu.

Farewell #1



”Yang kutahu, banyak sudah farewell yang terjadi
Bukan hanya kali ini
Tapi, ini adalah awal dari sebuah farewell yang cukup menyakitkan..




”Sayangku pudar... entah kenapa itu bisa terjadi.aku juga tak mengerti.”
Ucapku kala malam itu.Saat bulan hampir sampai di ujung tahun.Tepat saat bintang enggan keluar seusai mendung.
Ya, di dua sembilan Oktober itu,adalah sebuah farewellku yang pertama.dengannya.
Tanpa jelas kuucap pisah, dan tak sekilaspun dihadapannya kusampaikan salam pamit undur, aku telah melepasnya..
”Aku sudah ditunggu keluarga.malam ini aku harus pergi.” Ucapku lagi.
Segera aku ingin lepas darinya.Berusaha mencari alasan, berpikir bagaimana mencari sebuah cara cepat untuk minggat.


..........................

Aku hanya ingin menangis.
Tapi ucapnya yang halus namun menusuk selaput hati hingga dinding usus, membuatku terpaksa menahan airmata.
Aku tak ingin sekali lagi, dari mulutnya keluar sebuah kalimat bahwa aku telah lemah.
”Apa benar sudah tak ada sayang yang tersisa? Benarkah sayang itu benar-benar bisa pudar..?”.tanyaku.
Dan aku hanya kelu, waktu ia mengiyakan semua itu..

Hatiku mungkin hanya bisa berbisik lantang, ”Ah, cepat benar?! ”

”Tak kau tahu sedari pagi aku menunggumu di rumah sakit.Berharap tiba-tiba kau hadir begitu selesai kututup telepon genggam yang nada panggilannya berakhir, pertanda tak diangkat.tak dijawab.entah sengaja,entah tidak.”
Dan entah kenapa, aku hanya bisa menggumam itu semua dalam hati.Tak kuungkapkan didepannya yang sedari tadi hanya diam.Mungkin memikirkan bagaimana cara untuk segera meninggalkan.
Aku, waktu itu hanya bisa menatap dua mata yang juga sama berkaca-kaca.miliknya.
Tapi aku yang meneteskan airmata, tak juga mampu menggerakkan tangan,sekedar untuk menahan wajahnya untuk tak berpaling ke arah kanan. Yang melayangkan pandangan pada sisi trotoar kampus,tapi aku tahu pikirannya jauh menembus itu semua.
Dari dua mata yang berkaca-kaca itu, aku mencari sebuah kebenaran.
Sayang, dari matanya tak kutemukan jawabannya.
Dan akhirnya dalam hati aku hanya bisa bergumam ,”Ah.. mungkin memang benar, sayangnya telah benar-benar pudar”.Dan aku ingin lebih lama lagi untuk diam, sambil berdiri.



.................................


”Aku harus pergi.sudah ada yang menungguku malam ini.keluarga.
Sangat jauh lebih penting daripada harus meneruskan bahasan yang takkan ada pangkal ujungnya jika masih dibicarakan.”
Lagi-lagi acuh, angkuh, dan ketegaanku kulempar dihadapannya.
Sebab malam ini aku ingin semuanya tuntas untuk kulepas.
Maka, kupilih langkah meninggalkannya.dan sengaja menciptakan jarak terhadap apapun tentangnya.



..................



Aku hanya bisa diam, dan menulis :


Oktober ini, aku ingin mati.
Melepas bintang yang sedari bulan lalu aku genggam.
Dan berharap, nanti akan ada meteor yang jatuh di kebun tepat saat akhir tahun.
Sebagai bukti, aku datang lagi
Yang dengan ekor api, hendak kubakar belahan bumi.
Termasuk diary ini...

Biar kisahku dalam bulan Oktober, tak kemudian menjadi sebuah sejarah dan kisah yang berjudul ”Tentang perempuan yang tertinggal diujung bulan..”


...................


Aku sudah membaca tulisannya.
Di sebuah diary bersampul ungu tanpa sengaja..
Tanpa pernah ia tahu, karenanya seseorang telah dibuat gamang disudut ruang kamar waktu itu.sedikit menyesal.
Dan itu adalah aku.
Yang terpaku, kelu, menahan sedikit haru juga sendu..
Jika masih bisa berharap, aku hanya ingin satu,
Malam ditengah bulan Desember ini, aku ingin bereinkarnasi jadi bintang jatuh..
Mungkin bisa menghiburnya untuk yang terakhir kali di akhir tahun ini..
Dan biar dia juga tahu, bintang jatuh adalah juga perlambang
Aku telah jatuh.rapuh..

Kembang Ungu Di Halaman Mess

Di Sebuah senja yang usang.senja yang tua, capung itu berkeliaran.
Seolah hendak menemaniku yang saat itu hanya duduk terpaku di bangku, di bawah pohon rambutan,
dan diantara kaktus, bunga krisan, mawar dan beberapa tumbuhan pekarangan lainnya.
Sebuah buku catatan, kamera digital, laptop, pena bertinta emas, kuas, dan sebuah kanvas tergeletak di beranda. Entah, hendak apa aku dengan semua itu.

Ah, lama-lama aku jengah. Terhadap senja, terhadap burung kakak tua yang terkurung didepanku, dan terhadap apa-apa yang ada disekelilingku ketika itu.
Menulis ataupun melukis, aku belum hendak.
Apalagi berkutat dengan laptop atau mencatat di buku agenda bersampul coklat itu. Aku tak mau.
Seolah telah kurapal bahasa yang dulu pernah kudengar dari seorang yang namanya tak sempat kukenal,
 ” Tak usahlah kau menunggu sebuah moment besar itu datang, sebab saat kau berkutat dengan itu, kau akan kehilangan momen-momen kecil yang sebenarnya bisa lebih berkesan..

Ah, Kuraih kamera digital. Memilih mengabadikan gambar di sekitar area mess perkebunan.
Sebuah ayunan tua di samping beranda, pucuk-pucuk bunga pohon pepaya, daun-daun kemangi,kumpulan kuncup krisan, dan tangkai-tangkai kembang ungu depan mess telah kuabadikan.
Ya, momen besar yang kutunggu adalah melihat bintang-bintang dan purnama sebuah bulan di mess perkebunan yang selama sebulan sudah kutinggali. Tapi seakan itu tak mungkin, sebab tengah hari tadi, cuaca tak mendukung. Sangat mendung. Maka sudah kuambil satu momen kecil.kuabadikan dalam gambar, dan kusimpan dalam tabung memoriku.

Lalu sebelum esok pagi aku pergi, aku hanya tinggal berucap dalam hati, ”kembang ungu itu sejenis dengan yang aku tanam dulu, pemberian dari seorang terkasih yang telah lama menghilang. Melihat bunga itu di sini, sudah mencipta momen yang membuatku terkenang tentangnya kembali.. Sesuatu yang tak kuharap, namun tak ingin hilang dari ingat..”

Lenguh Isak Kaum Terpinggir

Kaum Terpinggir

Ini malam tidak ada warung berjualan
Tak ada ojek yang mangkal
Apalagi tukang ronda yang biasa ngopi di gardu
Yang tak juga memiliki penerangan

Purnama kali ini sungguh sepi
Tak ada petani yang jalan di pematang
Memegang senternya, mengawasi air irigasi
Tak ada lantunan tembang lawas
Sembari bocah bermain di beranda atau lari halaman rumah

Semua sembunyi
Sambil dalam selimut ada yang melenguh
Mengeluh,
”Kenapa perumahan elite Menteng diprioritaskan
Sedang rumah-rumah pinggiran diabaikan..”

Lewat balik tembok bata sebuah gapura
Ada yang menggumam
”kenapa gula, kopi, karet, coklat, beras dan semua komoditas yang dihasilkan rakyat
Tapi tak penah menguntungkan rakyat..”

Jalan-jalan depan istana negara lengang
Tugu pancoran, monas, pula beberapa diskotik ibukota
Bisu
Usai pemilu

Hanya satu yang berlari di jalanan
Seorang veteran renta yang memegang pelepah pisang
Seolah itu senjata
Sambil kemudian berkata
”Indonesia sudah merdeka!”

Dan yang dibalik selimut, disawah-sawah, digardu siskamling
Di pinggir-pinggir emperan
Mereka kembali melenguh
”Ini kali memang tak ada yang bisa dipercaya.”

Nocturne in C# Minor

Nocturne : yang kau mainkan diantara tuts-tuts piano
Dengan jarimu yang tak lagi genap sepuluh.
 Katamu sembari menunggu summer triangle muncul di sisi kubah langit utara.
Dan lalu padaku, kau menunjuk salah satu bintang di Rasi Lyra : Vega

 "Persis namamu,sayang...", bisik yang mendiamkanku untuk mengikuti arah yang ditunjuk oleh jarimu
(yang kini tak lagi genap sepuluh)

Yang Tersiar Diantara Kawah Tangkuban Perahu

Pada tangga-tangga kawah itu
Kudengar lagi suaramu
Semangat mengurai cerita
bukan tentang cinta, pun tidak tentang kita
tapi negara

pada sesuatu yang katanya bernama pemerintahan
Bahwa katamu
di sini,di negara bermartabat
Pun katanya berbudi pekerti
berandal-berandal terminal, para kacung malam,
Gelandangan, pun perempuan penjaja selangkangan
Laris diobral,
Di jual pada rapat bulanan wakil rakyat, di siaran televisi,
Di kampanye para politisi,
Bahkan di sudut-sudutnya toilet di gedung apresiasi seni

Layaknya hama,
kaum yang mengaku beridealisme taat dan baku
(padahal saru)
Berteriak
Menyuruh semuanya diberantas.tuntas.

Tak mau dengar apa uang gedung, seragam, dan buku dari anak salah satu pelacur itu
Sudah ataukah belum lunas
Tak mau berpikir,apa mungkin berandal-berandal terminal dan para kacung malam itu
Terlahir begitu saja
Dengan otak tiba-tiba bebal, laku brutal
kurang ajar
Sebab dulu tak ada ibu yang mau seperti pelacur itu
Rela menjaja selangkang
biar anaknya bisa memakai seragam
Dan belajar di bangku sekolahan

Kau tetap berjalan di depanku,
Menyusuri kerikil-kerikil,kayu lapuk, juga bangkai binatang
Sambil sesekali menyumbat hidung karena bau belerang
Berceloteh tentang negara adikuasa, adidaya
Rakyat jelata
Masih bukan tentang kita

Orang-orang yang rutin lalu-lalang di gerbang sebuah gedung pemerintahan
Tak berpikir
Kira-kira gelandangan renta yang berjejer tidur di trotoar
Yang lalu dibilang pindang-pindang jalanan
masihkah bisa atau tidak buang air besar,
padahal perutnya lama tak diisi makan
Suaramu itu tak kalah dengan celoteh burung dipinggiran hutan

Pun tentang kaum elite politik yang antikritik disetiap rapat
Juga koloni mahasiswa
Di universitas belasan tingkat
Bahwa otak mereka meninggi

Tapi membiarkan model-model yang diperbincangkannya ada di bawah gedung mereka
Sedang mencuci, berak, mandi
di kali yang jadi tempat pembuangan air dan kotoran dari gedung-gedung tinggi
Sedang mangkal berjualan
Yang piring dan gelasnya ia cuci dipinggiran kali tadi
Pun ada yang sedang menengadah diam, sambil malu-malu
Sebab dari atas sana, ia tahu telah menjadi sasaran sebuah tontonan

Mengobral cerita orang miskin, menjual nama pihak terkucil
Dan memakan hak milik yang lain
Kau sebut dzalim

Kau tetap berkobar
mendeklamasikan gugatan-gugatan, tuntutan
bantahan terhadap ketidakadilan,ketidakpedulian sistem pemerintahan
Hingga lupa
Di sini, dibelakang langkahmu
Di tepi kawah tangkuban perahu
ada aku

yang meski bangga, tetaplah merasa sedikit berduka

sebab kau berjalan didepanku
sebab kau memang berbincang banyak hal
tapi tak pernah tahu
bahwa ketidakadilan
bahwa ketidakpedulian
itu yang juga sedang kurasakan

tepat saat sebelumnya sangat kuharap
kau akan berbalik
menggugat aroma belerang yang membuatku sangat sesak
dan bercerita sedikit saja tentang kita, tentang cinta
tentang anak-anak kita
bukan lagi negara
atau pun pemerintahannya

(yang karenanya, sempat kau dihujat pemberontak
dan kini terpaksa berkalung predikat : mantan narapidana)

Yang Terjadi Di Hari Kemudian

Aku akan melihatnya
Pada sebuah mimpi terakhir diujung masehi
Nanti

Sungguh, sudah kucenayang
aku pasti melihatnya
Berdiri ditengah misa
Pada mimbar sebuah kapel
yang dulunya aku pernah ia bawa ke sana

Akan jelas kulihat
mulutnya tergerak mendaras litani
Pun kemudian jemarinya memegang serpih hosti

Sedang aku pasti diam
Dikejauhan
Menyeka airmata, pun sedikit menyesalkan
Sebab dulunya aku ataupun ia -- pria yang padanya sudah kularungkan seluruh rasa
Sungguh gagal mengunci bulir tasbih di celah rosari

Dan antara penghujung masehilah
Dalam detik, hari, dan bulan di sebuah masa depan
Cenayangku akan terbuktikan

Niscaya
akan kulihat ia, menoleh padaku dari sudut gereja
Sekilas melempar senyum
Sangat anggun
Dalam balut busana seorang pastur

Dua Puluh Satu April

Tanggal-tanggal yang lain
Kubiarkan tergeletak pada almanak
Sebab sudah kupilih sebuah tanggal
Yang hanya khusus buatku
: Dua puluh satu
Maka
Kujadikan ia penanda hari
Saat dimana kesendirian genap kutanggalkan
Dan sepi telah resmi kukremasi

Parahyangan Senja

Dari kereta Parahyangan
Dupa atas cinta
Pun selaksa kasih sayang
Tuntas kutiupkan di gerbong ketiga, bangku lima, tepat pukul empat senja
Biar terbang, biar hilang
; bersama hujan
Mungkin akan menghempasnya ke satu jurang di perbukitan Padalarang

Sudah pula kuikat erat kecewa di sisi atap kereta
Biar di tiap tapak
Di lapak yang akan kuinjak
Asma yang rutin kukecap di berbait doa
Tak usah kutemui sedang mengerang duka

“aku datang
tidak dengan siapa, tak juga demi siapa"

Sungguh, memang tak ada sesiapa di sana
Di kursi-kursi stasiun, tak kulihat ia
Yang mungkin biasa menjemput sembari membawa bunga
: melati, ataupun setangkai mawar putih

Tak pula kukaton ia di jembatan layang Pasupati
Yang pada jam satu dinihari,
Antara sembilan belas tiang penyokong beban jalan banyak pemudi sedang menepi

Sungguh, masih tak kuterawang jelas ia dimana
Mungkin sedang menangkar cinta di tempat lain
Mungkin menjerang airmata
Mungkin juga diam saja

Sudah lewat satu malam berdiam di ruas jalanan kota kembang
Kini waktunya
Di pinggiran alun-alun cinta kucecer sampai ujung stasiun
Dengan Parahyangan aku pulang
Kembali ke Jakarta
tanpa cinta, tanpa airmata
tanpa sesiapa
: hampa

Bagi Kita, Karma Itu Ada

Kemudian pada ribuan tahun yang silam
sebelum Kristus lahir, sebelum ada tarikh Saka
Mungkin benar
Tuhan sudah diam-diam mengganjar sesuatu
di langkahku pula di garis tanganmu
: Karma -- Jalan yang tak memberkati kita untuk bersama

Lalu mewariskannya menjadi titik-titik airmata
bahkan hingga kehidupan saat ini
maka diam-diam sudah kuganjal tangisku dalam hati
sembari melihatmu
Yang juga diam dalam dilema sebab karma yang purba

Padamu -- pria yang berdiri depan bunda Maria
Yang hanya mampu membawaku dalam tiap doanya
aku masih ingin percaya
pada sisi baik karma
pengorbanan rasa
pun pada ketidakberadaanmu yang benar tiada

Cinta Dalam Masehi

Sudah pula kusiapkan
beragam corak bentuk nisan
Biar hingga abad kesekian setelah Masehi
cinta antaramu denganku tetap abadi
dalam mati

Sungguh,kita pun akan bersatu
hidup di satu liang pembaringan
: kubur batu


catatan khusus : Teruntuk kematian yang masih belum genap untuk diperingati..

Sebelum ada tarikh saka, sebelum masehi bermula, bahkan KALAUPUN penutupan masehi ada, cinta antaraku thdpmu ttp baka..tak mewujud apa2, tak akan nyata.dan menjadi abadi itu hny mimpi.
maka,mimpi=cinta. dan itu berarti cinta tak pernah akan menjadi abadi.mungkin hny satu, cinta Illahi.
ah.., sungguh,stlh kuhitung2,mmg kau hny akan jd cinta kesekianku..
untukmu.--pria yg rutin bertamu di hari minggu.

Berawal Dari Mazmur

'Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis ...'
'Pada pohon gandarusa di tempat itu, kita menggantungkan kecapi kita'

Mazmur ini
Adalah lembar yang kulempar
Di wajahmu menjelang semusim akhir penghujung tahun
Ayat yang di caturwulan kedua
Tak hendak kurapal, tak niat kulafal
Biar pudar
Sebab aku, kala itu hendak kau tinggal

Dan ini kali
Ku biarkan pemazmur memainkan nadanya
Mencuri hela di tiap celah nafas
Bersemburat tak jelas

Maka disini lah,
Kemudian akan kutulis wahyu tak bermutu
Tentang aku yang tak lagi diutus mengeja rindu
: untukmu
Sebab telah genap satu warsa
Aku putar arah menafsir cinta

Pada sudut gereja berpagar gandaria
Tuntas kutanam sebatang gandarusa
Antaranya, sudah pula kugantungkan sebuah kecapi
: tanda musik suka cita atas cinta kita murni berhenti

Biar saat kau tiba
Kau tahu
Usai kau memutus cinta
Kuhibahkan diri pada Ilahi
Suci, dalam kalung dan jubah biarawati

catatan khusus : Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis..
Pada pohon gandarusa di tempat itu, kita menggantungkan kecapi kita--baris-baris pertama Mazmur 137
sebenarnya adl pasal yg bercerita ttg pembuangan.Ttg orang-orang yg menggantungkan kecapinya karena tak bisa memainkan musik sukacita yang diinginkan hati mereka..

Baginya, Aku Titipkan Mawar Di Suatu Malam

; Ratri
Jangan bilang padanya
Tanggal-tanggal yang sempat terasingkannya telah mati
Persis ketika aku
tak lagi punya hati

Biarkan ia mancari hari, atau bulan-bulan lain sendiri
Untuk mengganti yang terlewat akibat nafas yang tergadai sesaat
Atau biar saja ia minggat
Mungkin ingin menyusur lagi pesisir Parangtritis
atau berburu buku di tepian toko Malioboro
Meski kutahu, ada buku yang belum rampung dibacanya

Cukup bilang padanya,
Mawar putih yang lirih kuselip doa bertali kasih—bentuk aku tak bisa menjenguk
Tak perlu disandingnya sampai terlalu
Sebab pasti layu
: Buang saja
Biar kali Code menghanyutkannya ke hilir muara sore
Mungkin juga menerbangkan kelopaknya ke sudut gardu
Sebelah lembah gunung Semeru
merubahnya jadi rindu

Sungguhpun, biarkan ia sendiri
Diam dalam rehat yang sangat tak sejenak
Lalu pastikan,
Saat ia --yang layak saudara telah kembali
ia akan tahu dimana dan sedang apa aku

( Ratri,
Kaulah saksinya, aku masih disini.
mengeja doa untuknya )

Malam Suci Yang Berbeda

Di dekat jendela separoh terbuka
Kau berkaca
Tanpa piyama,tanpa kutang
tak juga bercelana dalam

niscaya siapapun jemaat
bisa tak ingat apa itu wihara, pura, pula sebuah gereja
jika dikatonnya ada ayat-ayat yang terpahat lebih nyata, terselip serupa lembar-lembar mushaf pada tiap lekuk yang pada sebuah masa akan terhimpun menjadi alkitab baru bersampul cokelat,terukir berjudul
; syahwat

di depan kaca
adalah maha karya berdiri
tanpa gelang, tanpa anting-anting
bersisa satu cincin kawin

Pada aurat,urat-urat yang masih serupa kitab, ada tafsir-tafsir yang kemarin lalu terlewat dirapal,lupa kuterjemahkan
maka malam ini,Tuhan pun seperti tak hendak aku beranjak
menginjak surau, musholla, atau masjid di sebelah.

bukankah ada pahala lebih besar di rumah
sebuah sunnah
untuk kubaca
untuk kuraba



Gamelan Jiwa

Delman itu masih ada
; pengangkut gamelan pun gong raksasa
iringannya menari saat pesta

aku rutin menguntitnya--sang dalang andalan
dan perempuan penyandang sinden sekaligus guru tari janger
adalah bapak ibuku yang urat seninya sudah paten

aku sering sembunyi di balik alat tetabuh riuh
pun di tumpukan tokoh wayang yang namanya jarang bisa dihafal
kemudian tidur

Saat terbangun
segala macam karawitan, kidung pengasihan
telah jadi rentak bagi jiwaku untuk bergerak
menerus tradisi alir darah seni dalam gemuruh musik tabuh
; jadi tembang megatruh

Coretan Di Masa Lalu

Bahkan semalam aku melihatmu lagi.
Menyelip kalung berliontin salib dibagian kerah kemeja, dengan tangan kanan menyandang alkitab bersampul cokelat tua. Aku masih ingin tertawa, kenapa bisa aku jatuh cinta pada pria penganut tuhan yesus, umat kudus sang kristus.bagaimana caranya aku kemudian berpikir tentang pacaran lain agama, bahkan menelaah seperti apa jika akhirnya kita memilih hidup bersama dengan tetap beda agama.
Pernikahan yang sakral, entah bagi kita akan digelar di masjid yang agung ataukah megahnya katedral?
Aku masih melihatmu, berada diantara para pastur dalam suasana paskah ataupun misa.
Juga di suatu malam ekaristi, di sebuah pekan tak terlupakan saat semua orang berteriak saling mengucapkan ”selama hari natal, sayang”.atau di sebuah hari suci, saat tepat ada orang melakukan pembaptisan, aku juga melihatmu.Dan kau tetap tersenyum, tanpa perubahan sedikitpun.
Sungguh, aku ingin tertawa, sejak semalam tiba-tiba kau datang...
Sangat heran, kenapa tak di ayal secara spontan aku bilang, ”jika kau benar cinta, maka nikahilah aku segera..”.Dan baru kali itu aku melihatmu tanpa tawa lagi.. Ah,tapi untunglah kedatanganmu cuma mimpi.
Sebab akupun tahu, pernikahan adalah ambang yang masih sangat samar untuk kita pertimbangkan..
Bukan sebatas memilih ’ya’ atau ’tidak’ untuk menikah,
Tapi pertanyaan selanjutnya, di ’masjid’ atau ’katedral’kah akan berlangsung pernikahan kita, itu yang susah...




**tulisan2ku dahulu...
coretan ttg sebuah kisah,yang hampir terbuang ke tempat sampah.

~ otakku mmg belum cukup kuat berpikir keras rupanya stlh sakit..

Sandal

Kemarin minggu, tuhanmu mempersilakanku mampir ke rumahNya
Sekedar menemanimu berdoa
Pada sebuah altar yang tak bertuliskan apa-apa
Dan Ia tak menyuruhku melepas sandal depan katedral
Seperti yang biasa kulakukan di rumah tuhanku

Paling tidak aku pun tahu
Tuhanmu memang bukanlah pencemburu

Coretan Sederhana

Aku punya tuhan yang Maha pencemburu.
sedang kau,mungkin tidak.

maka jika sempat, besok aku ingin mampir ke rumah tuhanmu...
sekedar ingin melihat-lihat saja.
apakah ia mencintaimu lebih daripada cintaku buatmu.
atau apa ia lebih mengingatmu dari yang lain, sama ketika kau lebih mengingatNya dibanding aku..
apakah dirumahNya ada altar yang hanya bertuliskan namamu.
aku ingin melihatnya..
sebentar
biar akhirnya aku tak perlu cemburu
jika setiap minggu kau lebih memilih mengunjungiNya ketimbang aku...



catatan khusus : Hanya sebuah coretan yang kutuang saat sahabat 'terdekat' berkeluh-kesah tentang cintanya...
~otakku sedang tidak pada tempatnya.

Semburat Kamasutra

" Tak perlu lagi peduli pada saka
Asalkan pagar keputren terbuka
Di bawah awanawan yang menjadi hujan
Dengan kereta kuda kan kucari kembali akar cinta
Yang dulu sempat kutitipkan pada jambangan seorang perempuan
Saat kembang mayang perlahan kutanggalkan
dari diajengku tersayang... "
(230109, sajak seseorang yang sejak awal tak ingin namanya dikenal.
*lekaslah sembuh mas.. Tuhan memberkatimu )

"Bahwasanya aku tahu, ia tak biasa pun sekedar bisa
membuka lebarlebar gerbang kepatihan yang waktu lalu urung dipugar
Langkahnya kukhayal gontai.
Seperti seribu kali berpikir,
tangannya hendak atau tak untuk menyambar pelana kuda putihnya.
Mendobrak adat, menendang tentang depan khalayak.
Lalu membawaku meletakkan tepat dihadap tubuhnya
Berdua berkuda, entah ke antah berantah mana
Sungguhpun kutahu
Sekalipun mungkin diterawang ia takkan datang
Tapi persis purnama tepi kolam sudah kuelus halus perutku
Dinding luar dari pinggir rahim
sambil lalu, lirih kuucap satya
titipan murni janin ini pasti kan kujaga
demi kandaku tercinta... "

Mengikat Mega

Ia kah mega. wujud seruas rusuk.yang pada akhirnya lahir kemudian dari -kah berubah -lah.
membuang jauh-jauh hujan yang biasa meleburkan celah tanah yang tak siap menghidupkan gogo rancah.meniup angin biar hilang biar samar di pegunungan.menepis gerimis.Tak tahu bahwa bedeng tengah kampung larung dalam lingkup kemarau yang saru dimana ujung.

lalu entahlah saat dewasa silau itu hilang.perlahan.ditelan udara kota disanding mural-mural pinggir jalan.serabut kabut asap kendaraan.juga hujan yang ia terbangkan setiap akhir pekan.hirup yang sama.hanya berbeda hiruk di belakang tengkuk.maka darinya mata tak lagi dikepala.hati kecil sudah mengambil separuh bahkan keduanya.

Dan dalam keadaan apapun.dimanapun.takkan pernah lagi sembah pasrah hendak dibiarkan tak terjamah di depan rumah.terlantar di pelataran.
di tempat-tempat yang katanya bisa untuk berpijak bukan daerah yang mengikat.ialah mega.

Teatrikal Bagi Sang Lesmana

; Biarkan dia ada

Lesmana,
aku tak tahu siapa atau
dimana kau
sebab pun tak kutahu siapa dan
dimana aku

hanya ada jimbe,angklung,lumbung,payung
seekor burung dalam kurung pun selembar gaun
berhambur dalam latar panggung teatrikal
di sini
tepat di ujung kaki

"aku tak mau main lagi!"
vokalku tak lagi sarat serak gamang
kularikan gaun ke ujung utara panggung
kubalikkan lumbung menindih payung juga angklung
kulepas burung dari kurung,biar terbang biar mumbul
semua hancur
lebur

Lesmana,
sungguh pun tak kutahu siapa kau
siapa tuhanmu
sebab pun aku tak pernah tahu aku siapa
bertuhan siapa

di panggung tepi sebelah kiri
kutabuh jimbe sekali,dua kali
lalu pergi
ke sudut latar sebelah kanan
geber hitam kugoyang-goyangkan
membentuk serupa gulungan ombak pembuat karam
Lesmana takkah kau mencari
seruas rusukmu yang rumpang di jaman azali

Lesmana
Tak kutemukan kau dimana-mana
tak di gereja
musholla tua
tak pula di yang namanya tapa dalam goa

tapi naskah teatrikal
haruslah ada ujung pangkal

maka kupilih, bersandar pada lumbung padi
musabab awal kehancuran latar
sebentar
sekejap kemudian
vokal perut kembali kuhujamkan
"aku bosan main lagi!"

lampu mati

( biarkan lesmana ada.dalam naskah.dalam sejarah
dalam pikiran az zahrah.tanpa akhir
; sebab aku lah sutradara
pun penulis naskahnya )

Ingin Tahu Siapa Menggembala Domba

Mari sang gembala mulai menafsir rindu
Entah pada neraka, entah surga
mungkin pula diantaranya
; ladang tak kutahu

Ini bapa, ini tapa
kenapa tak berwujud apa-apa?
serupa papa

Bukan aku yang memilihmu, tapi kamu yang memilihku
Kemudian hendak jadi selayak apa aku?
seperti semu

Ah, sungguhpun aku ingin tahu
pada siapa yesaya
Sejarah Ezra
nehemia

Sebab aku, domba yang tak tahu digembala siapa

Tolong sang gembala tafsirkan rindu
pada ilah tak bernyawa,pada allah tak terindera
ataukah sesuatu di antah berantah sana
; bayang tak ku tahu

Catatan Yang Pasti Akan Terlupakan

aku menulis abu-abu pada buku
di salah satu kamar remang rumah sakit
semalam
tak peduli seberapa pengap di ruang rawat inap itu
tak peduli apakah benar kamar mayat itu berada disebelahku

aku tetap menulis

di depanku seorang perempuan telah menangis
entah karena itu suami atau mungkin kerabatnya yang hanya terpisah tirai berwarna biru dariku telah terbujur sekarat atau karena ia ingat bahwa uang belanja bulanannya tak cukup melunasi semua biaya administrasi
aku tak tahu.aku masih berkutat dengan buku

ya,aku menulis..dan sesekali asyik bertepekur dengan yang namanya internet
Berharap lupa bahwa sembilan tahun lalu saat maag akutku kambuh
ada orang-orang yang membesuk hingga rela bermalam, menggelar tikar di depan toilet
Juga mengingat tentang seorang bocah yang dulu kutemui di rumah sakit, yang dengan lemahnya dia mengajakku bermain tanpa ia tahu tumor di kepalanya sudah stadium akhir.
Aku tak ingin mengingatnya
Pun ketika dulu seorang nenek yang mengenakan kebaya lusuh dan jarik batik yang sedikit berbau tengik telah memapahku ke puskesmas terdekat, sebab berjalan pun aku tak kuat.dan lagi-lagi itu karena maag laknatku yang sedang kumat.
aku ingin melupakannya..

Aku hanya ingin menulis
berharap tak ingat bahwa ternyata orang-orang yang tak begitu kukenal itu kenyataannya sudah lama meninggal

Infus, obat, segelas air putih, dan sisa bubur di meja tadi siang
adalah saksi bisu atas abu-abu baru yang menggerogoti pikiranku semalam
Ah,seorang kawan telah berujar lewat mesin penyampai pesan
malam itu telah ada yang kubuat cemburu, katanya
entah apa maksudnya,aku berharap untuk lupa

Setelah itu aku baru tahu dimana aku harus berhenti menulis semalam
aku cemburu.
terhadap apa pun yang ingin kulupakan

Bahkan pada kenyataan yang menyatakan Tuhan adalah Maha pencemburu

( 11.29 pm,di salah satu ruang rawat inap.
di temani igau saru pria penderita Demam berdarah disebelah, yang istri, pacar atau mungkin hanya temannya sedari tadi menunggu,
sedang aku hanya ditemani sebuah buku.abu-abu.cemburu)

Putih Merahnya Adikku Yang Lugu

kemarin adikku duduk
menunduk di belakang pembajak sawah
sambil memangku seragam putih merahnya yang basah

dari jauh aku tahu ayah tak melihat air matanya jatuh
sebab di tepi parit
rumput hijau sudah menjerit lebih dulu minta diarit
buat pakan ternak sapi katanya
modalku lulus sarjana nanti

lalu kulihat adikku beranjak ke pinggir kali
memeluk erat seragam putih merah satu-satunya
yang kemarin dilempar tinta oleh temannya
sayang berapa kalipun ibu mencuci, nodanya tak bisa hilang
padahal besok senin
harusnya di upacara rutin adikku jadi pemimpin

tapi aku tahu
adikku lapang dan sungguh lugu
sebab sebelum dia ke kali untuk mencuci seragam putih merahnya lagi
kepada ayah adikku sudah berkata
biarlah besok ia tak jadi pemimpin upacara
lain kali ia mau jadi pengibar bendera saja
sambil menunggu putih merahnya luntur dari noda

dan tadi pagi kulihat sambil tertawa ia berangkat
tanpa tahu luka
tanpa merasa berduka
ia kenakan seragam pramuka ke sekolahnya

Lukisan Keluargaku Rupa-rupa Warnanya

(1)
Sehabis hujan tadi malam
Ada gambar kutemukan tercecer
basah,sedikit koyak di halaman belakang
Luntur di samping dapur bawah pohon rambutan
satu tersangkut di kawat pagar sebelah utara kandang ayam

(2)
putih.hitam.abu-abu
kata ibu gambar adikku
gambar perempuan tak berwajah
juga pria yang di sela dua pahanya
ada dua binatang tak jelas bentuknya
seperti ayam tapi serupa juga burung gereja

(3)
hijau.biru.merah
satu lagi terselip gambar di bawah bangku
"Jangan disapu sebentar lagi pemilu",
kata ayah sedikit marah
Lukisan padi yang seperti tak pernah menguning
juga aneka piaraan yang bagiku terlihat sedikit jinak

(4)
saat menjelang hujan
keluarga berkumpul di ruang tamu
ayah sedang membagikan sesuatu,sebuah bingkisan
bukan lukisan.bukan kertas bergambar
kali ini baju lengan panjang

(5)
ungu buat adikku.biru ibu
merah ayah.sedang aku...
"ini untuk kau..hijau!"
Ah, ayah tak tahu
saat ini aku lebih suka abu-abu

Dul Gani, biar ...

Jika benar
di paruh bulan,bintang selatan,dan matahari
ada bekas patukan paruh jelmaan rajawali.
juga pada malam dan siang, tercipta tiang khayal setinggi galah menyanggah batas maya dunia dengan surga
yang kadang bisa serupa jembatan panjang
bersimpul benang jingga sebagai jalan tapa menuju neraka jika memilih menyunggi istri
ceritakan padaku, tolong
biar nanti
kisahmu jadi bukti
sabda palsu dalam mimpinya Dul Gani

di ruang pengadilan
biar derai.biar lerai.
Dul Gani minta cerai.biar.biar.biar?

Lastri Di Abad Pertengahan

/I/
Tapi Lastri telah mati.
Badan rampingnya remuk di amuk tronton tadi pagi.
Sebelah tangannya yang nakal, entah kiri atau kanan,ditemukan tersangkut pada gerobak sapi, di roda belakang. Ususnya melilit di tiang listrik
Kaki-kaki jenjangnya yang baru bergelinjang di depan pelanggan semalam , terseret ke selokan.
Paha mulus yang tak absen diendus para anjing hidung belang, terbengkalai di depan kakus.jadi bangkai.
Dan sisanya, hanya kepala dengan kantung mata tak berbiji.
itupun sudah terlempar ke ujung kali.tadi pagi.
Dua biji matanya sudah habis dijilat.dicongkel.dan kini ditenteng keliling kampung untuk diperebutkan anjing-anjing tengil.

/II/
Lastri sudah mati,
sejak malam pertama ia mengenal anyir mani yang disodorkan sang mucikari.
Bahkan pada malam-malam sebelumnya, saat suatu malam
pria yang dulu menyeru adzan ditelinganya ketika lahir
tiba-tiba berubah jadi anjing.
Pinggir mulutnya mengalir liur bau anyir.
Jangat berkeringat, otot berkawat tumplek tindih di tubuh Lastri.
Saat itu, awal Lastri telah mati. Dan pada setiap lelakilah, Lastri berteriak dalam hati : anjing!
Tapi sebab itu, Lastri kemudian tampil bak penyayang binatang.
Meladeni anjing-anjing tengil yang berjakun sebesar kemiri.menyuapi.menyusui.

/III/
Lastri benar-benar mati
Otaknya muncrat! Tergilas sedan dari selatan..
Sedang bagian lain tubuh Lastri, yang sekalipun belum sempat digauli, sekarang masih tercecer di sisi trotoar.Kasihan, hati dan jantung Lastri bersenggama tak aturan dengan aspal
Padahal di tepi jalan, tempat Lastri tewas terlindas pagi tadi
Ada yang mencintainya sejak kecil, seorang kucing
Bukan anjing!

Euforia

Tak kau lihat lipatlipat partiturku yang kapan lalu berujung pada penitipan lembar alkitabmu
Meletakkan aku dalam koor yang sedikitpun tak jua bertuju sebayang nur
lebur atur rancak bariton menggaung antara deret nadanada mayor-minor
mengelupas mata,memapar rata siapa bapa

Tak kau lihat sebelah kapelmu derap pada mihrab kerap menggarap pilarpilar masa penamat riwayat
Aku lagi-lagi ditawan untuk menyenandung,berkalung rosario
berjejer mengalun segamit mantra ditata sedemikian dalam campuran sepasang bass tenor diseling gema sopran alto

Tak kau lihat aku mengalirkan airmata dibangkai sajadah sarat sejarah
pengulum senyum disetiap gundah sebelum dahulu kau paksakan jubah keyakinanmu berselempang ditubuh pualamku senyap sesaat di malam pertama perkawinan kita waktu itu
Lalu takkah padaku kau akan bilang

Inilah euforia itu sayang

Inspirasi Syair

Dan lagi
dari sudut bukit sebuah ranu
aku melihatmu
saru
diam antara cecer dedaun waru dan jejer rapi pohon jati

Pula di tikungan jalan setapak
yang kulewati saat pancasona mega ikut bergerak
pulang
Wajahmu mampir di pucuk-pucuk rebung
; tunas mudanya sulur pring kuning
kau tertawa
disela jamur bulan yang ku biarkan
tercerabut dari akarnya
Lalu
di lintas ujung lereng,tepi sungai hilir
aku ingat
di pinggiran ranu telah tertinggal bait pertamamu
; merumpang syair nyinyirku