Di Rembang Senja, Di Sebuah Dermaga



Dulunya Kita serupa bocah lugu
Yang suka malu-malu
Menangkap kunang-kunang dipinggiran sawah sebelah rumah dengan kain jarik milik Ibu
Menghitung laron-laron yang terbang di sekitar temaramnya sinar neon
Menerbangkan dandelion-dandelion di atas tandon
 Dan menari-nari dengan tangan dan kaki yang kita ikat sendiri dengan tali

"Dulunya, Kita ini angsa putih kawan
Yang warnanya memang tak terlalu putih
Dan lehernya tak terlalu panjang seperti sekarang" : ucapmu ketika lelah
Aku diam, coba mengeja makna
 Dan kau tertawa Bersendawa

”Kita ini senar gitar Mungkin juga dawai dari biola yang coba sering kau mainkan,meski terkadang sumbang
Kita mengambil duri dari kaktus yang kutanam di halaman
Dan mencuri bisa milik ular Lalu kita meminumnya sebagai obat untuk kuat”: ucapmu lagi, saat kepayahan Dan aku hanya diam
Sedang kau masih saja mengusap kacamata Yang gagangnya retak Tak sengaja kuinjak
Saat akhirnya kau berkata ”Ah, kita ini bukan apa-apa":
Di rembang senja yang purba, di sebuah dermaga

Dahulu, Di sebuah Dermaga

Dulu,di dermaga ini pula
Aku melihatmu
Berkalung kerinduan
Dengan kain-kain harapan yang tampak robek
Dan wajah yang menjadi sedikit tirus


”Tak apa, aku bahagia”
Ucapmu dari balik beton-beton tua di sebelah palang kapal
Di waktu silam

Waktu itu, urat asamu sudah serupa lapisan ozon yang kian menipis
Juga seperti besi-besi kapal yang berkarat
yang layarnya kian menjauhi dermaga ini
Tempat aku dan engkau rutin duduk
Menyendiri

Kau menjelma rumput laut
Kau menjelma ikan-ikan
Kau menjelma burung-burung camar
: ceritamu


Lalu,
Matamu mulai menjelma lautan
Menggenangkan air yang tak berbuih
Jernih
Mengalir tanpa ada hilir
Dan menguap hingga pangkal dagumu

Sesaat sebelum cahaya purba senja terbenam
Alih-alih,bangkai bangku pelabuhan
Tiang lampu sebelah dermaga
Menceritakan tentang makna airmatamu
Tentang semburat rindu
Juga tentang luka-lukamu terdahulu

Maka,
Sudah kubiarkan engkau
Khusu’ masyuk
duduk
sibuk pada kenang dalam sebuah diam yang cukup panjang


(pun aku sama-sama diam.menunggumu tersadar
Lalu beranjak. Mengajak segera pulang)

Pada Dermaga Tua Itu

; Widda Ayui Silma


Percayalah kawan
Aku melukismu di atas sebidang tanah
Tempat aku menanam berimbun bunga mawar dan kamboja merah

Kugambar matamu yang sedikit tampak layu
Dekik tajam di sebelah pipimu
Dan sebuah bibir yang sekejap lalu berucap nama seorang terkasihmu
; tapi bukan aku
Sebab ia seorang terkasih yang mungkin saja akan hilang
Jika saja tak kau pegang

Sedang aku,
Aku tetaplah bertahan
: disini
Di dermaga tanpa nama
Meski lalu lalang orang seringkali merebut perhatianmu
Lebih dulu

aku juga melukismu
Pada dahan-dahan kaktus
Yang durinya sempat menusuk halus
Lalu kau bilang : ”lukisanmu berdarah”
Tapi tetap kugurat ronamu saat senja kala itu
Dengan telunjuk yang mengalirkan warna merah segar

Di atas meja kayu mahoni, di sebelah rumah tua yang ditinggal pemiliknya
Dan di bangku taman seberang kota
Lukisan wajahmu tertinggal

Dan di dermaga ini kawan,
Satu-satunya tempat yang aku tak melukis dirimu


Sebab ini
Adalah tempat dimana aku langsung menampung dan menadah air mata
Yang sempat kau tumpahkan
Sesaat, setelah kau bercerita
Tentang cinta-cinta yang sempat membuatmu luka.

Di Serambi Kenang

Aku pulang..

Hendak menjelajah jalan setapak yang sewaktu kecil sering jadi tempatku bermain.
Atau mampir di sebuah pemakaman khusus keluarga, yang di bawah salah satu cungkup makamnya sering aku kemudian duduk lalu tertidur disana.Makam tua, tempat Eyang kakung tertidur selamanya.

Ah, aku belum lupa, apa-apa yang sempat tumbuh dan kupelihara di tanah itu.
Kembang asoka, bunga Cempiring,tanaman kaca piring, bunga mawar, sedap malam, dan krisan.

Aku pulang..
Berharap memori kenangan itu berputar lalu tiba-tiba terulang.
Tapi sayang, itu khayal.

Farewell #2

Di tangga-tangga ini, yang disetiap sisinya penuh nuansa hijau dan angin yang mendesau,aku menulis kisah dengan jejak dari tiap-tiap tapak.
Aku menghitungnya.menghitung setiap luka yang kuingat di tiap undak.
Daun-daun bambu kering,tupai, dan pohon-pohon yang masih tak juga kukenal namanya.

Diatasnya masih kulihat tandon-tandon air itu.
Makam tua yang di nisannya tak tertulis sebuah nama.


Aku menikmati keluh kesahku sendiri.

Melepas wanita-wanita yang sedari dulu sedikit menjadi belenggu.
Aku pun melepas yang namanya cinta.
Membiarkannya pergi, mengendap lalu hilang dalam hitungan tahun.
Meski juga kusadari, aku masih butuh cinta.
tapi aku sudah melepasnya... Dan menyesal karenanya, mungkin sudah tak berguna.


Ah, aku rindu.. pada sesuatu yang dulu kusebut belenggu.Sebuah cinta dari wanita.
Tapi juga kadang sedikit jemu.Seolah selalu bertanya, ”untuk apa..?? bukankah seperti ini saja aku sudah cukup bahagia??”


Dan di puncak bukit ini, seakan ada perempuan lirih berucap dibalik angin ”bahagia, namun hampa..”


Mungkin benar...
Tapi aku sudah menikmati sgalanya ini.Bahkan pada farewell kali ini, aku sangat tegar.
Sebab sebelum wanita yang kulepas di masa lalu itu hendak berlalu, aku sudah berucap satya purba :
Aku ingin menjadi angin. Yang bisa selalu memelukmu...
Meski takkan pernah engkau tahu.

Farewell #1



”Yang kutahu, banyak sudah farewell yang terjadi
Bukan hanya kali ini
Tapi, ini adalah awal dari sebuah farewell yang cukup menyakitkan..




”Sayangku pudar... entah kenapa itu bisa terjadi.aku juga tak mengerti.”
Ucapku kala malam itu.Saat bulan hampir sampai di ujung tahun.Tepat saat bintang enggan keluar seusai mendung.
Ya, di dua sembilan Oktober itu,adalah sebuah farewellku yang pertama.dengannya.
Tanpa jelas kuucap pisah, dan tak sekilaspun dihadapannya kusampaikan salam pamit undur, aku telah melepasnya..
”Aku sudah ditunggu keluarga.malam ini aku harus pergi.” Ucapku lagi.
Segera aku ingin lepas darinya.Berusaha mencari alasan, berpikir bagaimana mencari sebuah cara cepat untuk minggat.


..........................

Aku hanya ingin menangis.
Tapi ucapnya yang halus namun menusuk selaput hati hingga dinding usus, membuatku terpaksa menahan airmata.
Aku tak ingin sekali lagi, dari mulutnya keluar sebuah kalimat bahwa aku telah lemah.
”Apa benar sudah tak ada sayang yang tersisa? Benarkah sayang itu benar-benar bisa pudar..?”.tanyaku.
Dan aku hanya kelu, waktu ia mengiyakan semua itu..

Hatiku mungkin hanya bisa berbisik lantang, ”Ah, cepat benar?! ”

”Tak kau tahu sedari pagi aku menunggumu di rumah sakit.Berharap tiba-tiba kau hadir begitu selesai kututup telepon genggam yang nada panggilannya berakhir, pertanda tak diangkat.tak dijawab.entah sengaja,entah tidak.”
Dan entah kenapa, aku hanya bisa menggumam itu semua dalam hati.Tak kuungkapkan didepannya yang sedari tadi hanya diam.Mungkin memikirkan bagaimana cara untuk segera meninggalkan.
Aku, waktu itu hanya bisa menatap dua mata yang juga sama berkaca-kaca.miliknya.
Tapi aku yang meneteskan airmata, tak juga mampu menggerakkan tangan,sekedar untuk menahan wajahnya untuk tak berpaling ke arah kanan. Yang melayangkan pandangan pada sisi trotoar kampus,tapi aku tahu pikirannya jauh menembus itu semua.
Dari dua mata yang berkaca-kaca itu, aku mencari sebuah kebenaran.
Sayang, dari matanya tak kutemukan jawabannya.
Dan akhirnya dalam hati aku hanya bisa bergumam ,”Ah.. mungkin memang benar, sayangnya telah benar-benar pudar”.Dan aku ingin lebih lama lagi untuk diam, sambil berdiri.



.................................


”Aku harus pergi.sudah ada yang menungguku malam ini.keluarga.
Sangat jauh lebih penting daripada harus meneruskan bahasan yang takkan ada pangkal ujungnya jika masih dibicarakan.”
Lagi-lagi acuh, angkuh, dan ketegaanku kulempar dihadapannya.
Sebab malam ini aku ingin semuanya tuntas untuk kulepas.
Maka, kupilih langkah meninggalkannya.dan sengaja menciptakan jarak terhadap apapun tentangnya.



..................



Aku hanya bisa diam, dan menulis :


Oktober ini, aku ingin mati.
Melepas bintang yang sedari bulan lalu aku genggam.
Dan berharap, nanti akan ada meteor yang jatuh di kebun tepat saat akhir tahun.
Sebagai bukti, aku datang lagi
Yang dengan ekor api, hendak kubakar belahan bumi.
Termasuk diary ini...

Biar kisahku dalam bulan Oktober, tak kemudian menjadi sebuah sejarah dan kisah yang berjudul ”Tentang perempuan yang tertinggal diujung bulan..”


...................


Aku sudah membaca tulisannya.
Di sebuah diary bersampul ungu tanpa sengaja..
Tanpa pernah ia tahu, karenanya seseorang telah dibuat gamang disudut ruang kamar waktu itu.sedikit menyesal.
Dan itu adalah aku.
Yang terpaku, kelu, menahan sedikit haru juga sendu..
Jika masih bisa berharap, aku hanya ingin satu,
Malam ditengah bulan Desember ini, aku ingin bereinkarnasi jadi bintang jatuh..
Mungkin bisa menghiburnya untuk yang terakhir kali di akhir tahun ini..
Dan biar dia juga tahu, bintang jatuh adalah juga perlambang
Aku telah jatuh.rapuh..

Di Rembang Senja, Di Sebuah Dermaga



Dulunya Kita serupa bocah lugu
Yang suka malu-malu
Menangkap kunang-kunang dipinggiran sawah sebelah rumah dengan kain jarik milik Ibu
Menghitung laron-laron yang terbang di sekitar temaramnya sinar neon
Menerbangkan dandelion-dandelion di atas tandon
 Dan menari-nari dengan tangan dan kaki yang kita ikat sendiri dengan tali

"Dulunya, Kita ini angsa putih kawan
Yang warnanya memang tak terlalu putih
Dan lehernya tak terlalu panjang seperti sekarang" : ucapmu ketika lelah
Aku diam, coba mengeja makna
 Dan kau tertawa Bersendawa

”Kita ini senar gitar Mungkin juga dawai dari biola yang coba sering kau mainkan,meski terkadang sumbang
Kita mengambil duri dari kaktus yang kutanam di halaman
Dan mencuri bisa milik ular Lalu kita meminumnya sebagai obat untuk kuat”: ucapmu lagi, saat kepayahan Dan aku hanya diam
Sedang kau masih saja mengusap kacamata Yang gagangnya retak Tak sengaja kuinjak
Saat akhirnya kau berkata ”Ah, kita ini bukan apa-apa":
Di rembang senja yang purba, di sebuah dermaga

Dahulu, Di sebuah Dermaga

Dulu,di dermaga ini pula
Aku melihatmu
Berkalung kerinduan
Dengan kain-kain harapan yang tampak robek
Dan wajah yang menjadi sedikit tirus


”Tak apa, aku bahagia”
Ucapmu dari balik beton-beton tua di sebelah palang kapal
Di waktu silam

Waktu itu, urat asamu sudah serupa lapisan ozon yang kian menipis
Juga seperti besi-besi kapal yang berkarat
yang layarnya kian menjauhi dermaga ini
Tempat aku dan engkau rutin duduk
Menyendiri

Kau menjelma rumput laut
Kau menjelma ikan-ikan
Kau menjelma burung-burung camar
: ceritamu


Lalu,
Matamu mulai menjelma lautan
Menggenangkan air yang tak berbuih
Jernih
Mengalir tanpa ada hilir
Dan menguap hingga pangkal dagumu

Sesaat sebelum cahaya purba senja terbenam
Alih-alih,bangkai bangku pelabuhan
Tiang lampu sebelah dermaga
Menceritakan tentang makna airmatamu
Tentang semburat rindu
Juga tentang luka-lukamu terdahulu

Maka,
Sudah kubiarkan engkau
Khusu’ masyuk
duduk
sibuk pada kenang dalam sebuah diam yang cukup panjang


(pun aku sama-sama diam.menunggumu tersadar
Lalu beranjak. Mengajak segera pulang)

Pada Dermaga Tua Itu

; Widda Ayui Silma


Percayalah kawan
Aku melukismu di atas sebidang tanah
Tempat aku menanam berimbun bunga mawar dan kamboja merah

Kugambar matamu yang sedikit tampak layu
Dekik tajam di sebelah pipimu
Dan sebuah bibir yang sekejap lalu berucap nama seorang terkasihmu
; tapi bukan aku
Sebab ia seorang terkasih yang mungkin saja akan hilang
Jika saja tak kau pegang

Sedang aku,
Aku tetaplah bertahan
: disini
Di dermaga tanpa nama
Meski lalu lalang orang seringkali merebut perhatianmu
Lebih dulu

aku juga melukismu
Pada dahan-dahan kaktus
Yang durinya sempat menusuk halus
Lalu kau bilang : ”lukisanmu berdarah”
Tapi tetap kugurat ronamu saat senja kala itu
Dengan telunjuk yang mengalirkan warna merah segar

Di atas meja kayu mahoni, di sebelah rumah tua yang ditinggal pemiliknya
Dan di bangku taman seberang kota
Lukisan wajahmu tertinggal

Dan di dermaga ini kawan,
Satu-satunya tempat yang aku tak melukis dirimu


Sebab ini
Adalah tempat dimana aku langsung menampung dan menadah air mata
Yang sempat kau tumpahkan
Sesaat, setelah kau bercerita
Tentang cinta-cinta yang sempat membuatmu luka.

Di Serambi Kenang

Aku pulang..

Hendak menjelajah jalan setapak yang sewaktu kecil sering jadi tempatku bermain.
Atau mampir di sebuah pemakaman khusus keluarga, yang di bawah salah satu cungkup makamnya sering aku kemudian duduk lalu tertidur disana.Makam tua, tempat Eyang kakung tertidur selamanya.

Ah, aku belum lupa, apa-apa yang sempat tumbuh dan kupelihara di tanah itu.
Kembang asoka, bunga Cempiring,tanaman kaca piring, bunga mawar, sedap malam, dan krisan.

Aku pulang..
Berharap memori kenangan itu berputar lalu tiba-tiba terulang.
Tapi sayang, itu khayal.

Farewell #2

Di tangga-tangga ini, yang disetiap sisinya penuh nuansa hijau dan angin yang mendesau,aku menulis kisah dengan jejak dari tiap-tiap tapak.
Aku menghitungnya.menghitung setiap luka yang kuingat di tiap undak.
Daun-daun bambu kering,tupai, dan pohon-pohon yang masih tak juga kukenal namanya.

Diatasnya masih kulihat tandon-tandon air itu.
Makam tua yang di nisannya tak tertulis sebuah nama.


Aku menikmati keluh kesahku sendiri.

Melepas wanita-wanita yang sedari dulu sedikit menjadi belenggu.
Aku pun melepas yang namanya cinta.
Membiarkannya pergi, mengendap lalu hilang dalam hitungan tahun.
Meski juga kusadari, aku masih butuh cinta.
tapi aku sudah melepasnya... Dan menyesal karenanya, mungkin sudah tak berguna.


Ah, aku rindu.. pada sesuatu yang dulu kusebut belenggu.Sebuah cinta dari wanita.
Tapi juga kadang sedikit jemu.Seolah selalu bertanya, ”untuk apa..?? bukankah seperti ini saja aku sudah cukup bahagia??”


Dan di puncak bukit ini, seakan ada perempuan lirih berucap dibalik angin ”bahagia, namun hampa..”


Mungkin benar...
Tapi aku sudah menikmati sgalanya ini.Bahkan pada farewell kali ini, aku sangat tegar.
Sebab sebelum wanita yang kulepas di masa lalu itu hendak berlalu, aku sudah berucap satya purba :
Aku ingin menjadi angin. Yang bisa selalu memelukmu...
Meski takkan pernah engkau tahu.

Farewell #1



”Yang kutahu, banyak sudah farewell yang terjadi
Bukan hanya kali ini
Tapi, ini adalah awal dari sebuah farewell yang cukup menyakitkan..




”Sayangku pudar... entah kenapa itu bisa terjadi.aku juga tak mengerti.”
Ucapku kala malam itu.Saat bulan hampir sampai di ujung tahun.Tepat saat bintang enggan keluar seusai mendung.
Ya, di dua sembilan Oktober itu,adalah sebuah farewellku yang pertama.dengannya.
Tanpa jelas kuucap pisah, dan tak sekilaspun dihadapannya kusampaikan salam pamit undur, aku telah melepasnya..
”Aku sudah ditunggu keluarga.malam ini aku harus pergi.” Ucapku lagi.
Segera aku ingin lepas darinya.Berusaha mencari alasan, berpikir bagaimana mencari sebuah cara cepat untuk minggat.


..........................

Aku hanya ingin menangis.
Tapi ucapnya yang halus namun menusuk selaput hati hingga dinding usus, membuatku terpaksa menahan airmata.
Aku tak ingin sekali lagi, dari mulutnya keluar sebuah kalimat bahwa aku telah lemah.
”Apa benar sudah tak ada sayang yang tersisa? Benarkah sayang itu benar-benar bisa pudar..?”.tanyaku.
Dan aku hanya kelu, waktu ia mengiyakan semua itu..

Hatiku mungkin hanya bisa berbisik lantang, ”Ah, cepat benar?! ”

”Tak kau tahu sedari pagi aku menunggumu di rumah sakit.Berharap tiba-tiba kau hadir begitu selesai kututup telepon genggam yang nada panggilannya berakhir, pertanda tak diangkat.tak dijawab.entah sengaja,entah tidak.”
Dan entah kenapa, aku hanya bisa menggumam itu semua dalam hati.Tak kuungkapkan didepannya yang sedari tadi hanya diam.Mungkin memikirkan bagaimana cara untuk segera meninggalkan.
Aku, waktu itu hanya bisa menatap dua mata yang juga sama berkaca-kaca.miliknya.
Tapi aku yang meneteskan airmata, tak juga mampu menggerakkan tangan,sekedar untuk menahan wajahnya untuk tak berpaling ke arah kanan. Yang melayangkan pandangan pada sisi trotoar kampus,tapi aku tahu pikirannya jauh menembus itu semua.
Dari dua mata yang berkaca-kaca itu, aku mencari sebuah kebenaran.
Sayang, dari matanya tak kutemukan jawabannya.
Dan akhirnya dalam hati aku hanya bisa bergumam ,”Ah.. mungkin memang benar, sayangnya telah benar-benar pudar”.Dan aku ingin lebih lama lagi untuk diam, sambil berdiri.



.................................


”Aku harus pergi.sudah ada yang menungguku malam ini.keluarga.
Sangat jauh lebih penting daripada harus meneruskan bahasan yang takkan ada pangkal ujungnya jika masih dibicarakan.”
Lagi-lagi acuh, angkuh, dan ketegaanku kulempar dihadapannya.
Sebab malam ini aku ingin semuanya tuntas untuk kulepas.
Maka, kupilih langkah meninggalkannya.dan sengaja menciptakan jarak terhadap apapun tentangnya.



..................



Aku hanya bisa diam, dan menulis :


Oktober ini, aku ingin mati.
Melepas bintang yang sedari bulan lalu aku genggam.
Dan berharap, nanti akan ada meteor yang jatuh di kebun tepat saat akhir tahun.
Sebagai bukti, aku datang lagi
Yang dengan ekor api, hendak kubakar belahan bumi.
Termasuk diary ini...

Biar kisahku dalam bulan Oktober, tak kemudian menjadi sebuah sejarah dan kisah yang berjudul ”Tentang perempuan yang tertinggal diujung bulan..”


...................


Aku sudah membaca tulisannya.
Di sebuah diary bersampul ungu tanpa sengaja..
Tanpa pernah ia tahu, karenanya seseorang telah dibuat gamang disudut ruang kamar waktu itu.sedikit menyesal.
Dan itu adalah aku.
Yang terpaku, kelu, menahan sedikit haru juga sendu..
Jika masih bisa berharap, aku hanya ingin satu,
Malam ditengah bulan Desember ini, aku ingin bereinkarnasi jadi bintang jatuh..
Mungkin bisa menghiburnya untuk yang terakhir kali di akhir tahun ini..
Dan biar dia juga tahu, bintang jatuh adalah juga perlambang
Aku telah jatuh.rapuh..