Duratmaka

Ingsun tresna
Dalu ing Semeru
Cemeng!

Setan Alas

Pejantanku...

Diriak lembab air matamu menetes
Ada apa sayangku?
Berhentilah!
Tak usah kau semburkan tangis iblis seperti itu

Dirembang petang ucap manismu menetas
Untuk apa sayangku?
Ah,bicaramu fasih benar berlogat setan
Terjebak muak dibuatnya

Pejantan angkuhku..

Hasratmu terlalu angkara terhadapku
Berhentilah memburu!
Laras senapan dibelakang pintu
Sudah bersiap melempar jauh setan alas sepertimu

Antara Kita, Terhalang Cinta Kudusmu

Bunyikan lonceng itu sekali.
Sebab padamu, telah genap segala tutur
Bahwa tak mungkin kuselip salib di satu ujung kerudungku.
Pun mustahil pada bawah sajadah kusembunyikan abu dupa kebaktianmu.Matur maafku padamu, Hai Putra yang indah bersama cahaya kudus Sang Kristus.
Sebab pada empat tiang cungkup leluhur,sudah ku ikat sumpah.Aku putri kemayu dalam pingitan, tetap akan diam dalam suci pada satu alir darah turunan sufi.
Sejenak bahana burung gereja berkoar, lonceng sakral telah dibunyikan.
Dan pada denting ketiga nyaring gema keenam..
Ku tasbihkan : kening cinta kuikhlaskan rebah di jalan Islam

(tempatku di sini, membenah jilbab sebagai hijab bertafakur luhur)

Sebab Aku, Ingin Syahid Bersama Jihadmu

; Baskara

Sebab kasihmu, aku menunggu tujuh setengah sasi berlalu
Beranjak dari balai candidasa
Ku katon wajahmu di riak jambangan,
Disela arca pancuran, pula pada kelok keraton berpatung trah purtra bangsawan

sebab rindu, kubasuh air sembahyang dari sucinya petirtaan
"ingat aku, dalam khusyuk masyuk sujudmu"
kenangku akan sejarah titahmu itu.

Di sana, entah dimana
Jihadmu telah menyentuh ulu hatiku Hai satria pemuja syahid keabadian
Dan padaku, tampuk reinkarnasi srikandi jatuh berawal
pedang, keris, pun tabuh genderang perang pada segenap mungkar yang dulu pernah kau dalilkan
sudah pula kutanam di benak,dalam satu hijab
: jilbab dan kitab

(Karenamu, mungkar bagiku tak ikut berperang di Jalan Tuhan.Dan laknatku, jika tak syahid dalam jihad bersamamu. Dariku yang mencintaimu, Duhai ksatria kekasih Tuhan..)



catatan khusus : masih dam satu proses dan nafas yang sama.
dan lagi-lagi, ini hanya ketertarikanku memahami waktu..
(teinspirasi dari istri para tereksekusi mati bom bali)

Pada Kita, Takdir Cinta Bercanda

Di sini tak ada tembang kemayu Kanda..
Hanya lagu melayu berjumpalitan, mendayu di sela-sela dedaunan tak bertulang
Tak ada dipan berkayu jati atau pun mahoni berpahat rapi di sini,
Hanya sebuah bangku berlapis sengon dengan sandarannya dua sulur batang bambu
Itu pun sudah mulai rapuh berdebu..

Tak ada apa-apa di sini Kanda...Kau hanya akan menemui aku.Gadis penjaga tungku yang biasa kau sebut dengan Dinda nun ayu...
Yang tanpa ritual penobatan telah kau daulat aku sebagai putri tercantik seluruh negeri
Ah, sungguh terlampau legam muslihat cintamu Kanda.Di pematang sawah ku jamah setampuk gabah.Kupikul menuju pulang.
Ku letakkan di bawah atap rumbia berubin daun kering tanpa gairah warna
”Untuk apa Dinda?” tanyamu waktu itu
”Mengabadikan cinta”. kau merenung. Sebab kau kenal aku Kanda, ..
Aku akan berdiam tanpa laku , hingga kau mampu menafsirkan semua
Tanpa harus aku pula yang mencecer maksudnya
Kau diam...
Dan aku, diam-diam menyulut api itu sendiri
: di belakangmu

Sekarang sungguh telah hampa di sini.Tak ada apa-apa..alpa tanpa sisa...Hanya kepul asap pengap berblingsat di udara
Kanda...
Mengabadikan takdir cinta memang tak harus ini jalannya.Tapi, ucap kerabatmu yang sungguh beradab pun lekat adat memaksaku melebur tubuhmu juga aku untuk satu
: jadi abu

”Tak butuh yang namanya cinta..sebab pria yang kau sebut Kanda hanya akan ada pada garis penerus tahta.Dan padanya tercipta harta...
Sedang wanita, telah kami siapkan pada setiap depa tepi gerbang penyambutan kehadirannnya.. Sebelum kau terbakar sesal dan hangus maki nestapa
Pergi! tinggalkan ia.. Dan ingat, cinta bukan alasan untuk takdir menyatukan kalian...”

Garis Keturunan

Padaku,
Terendus garis trah kerajaan (darah dari titis magis tak sempat dibaptis)
Sejarah mengulang,
Putri tak hendak diikat di puri

Aku pergi
Lepas nama Kutai, gelar kisah pada bumi Kuta melandai

Padaku,
Tak ada lagi adat peradaban usang
Hanya titis trah merembes tetes lewat darah--warisan yang tak bisa kuhapus hingga jaman penghabisan

Silsilah hanya tinggal kertas kusam berlubang
Melintang di tiang bambu tengah tanpa atap
muntab,lenyap
terhisap waktu pun selaksa prajurit tak bersayap
: rayap

Baginya, aku hina di Hindustan

; Padma

Bilang padanya--pria yang sejatinya berakar di tanah Jawa
Padaku tak ada kain sari,mahendi,pun bindya di kepala
Cadarku masih utuh separuh menghijab di wajah

Tak usah ia tuang abu kerudung itu di ranjang
Percuma..
Buang saja di persemayaman riak gelombang laut selatan
Biar angin darat menghanyutkannya
Mungkin bisa mengembalikannya pada sejarah tua di Hindustan
; sama saat ujung sebelah kerudungku,basah begitu ia menampik rindu

Padanya,
Katakan aku rindu tembang macapat
Maka saat abu dari jasadku yang sempat dihinakannya menapak
Cepat kubur aku
Atau tanam di bawah gandapura,sebelah tangkai padma
Di belakang rumahnya

( ; Padma
Air muara gangga saksinya.aku tetap setia memegang satya
: aku masih suci )

Tragedi : Sari--Adi (Pati)

Adi mencintai Sari
; pati

Adi rindu layak sayang bulan Sura
; pati

Berblingsat ia,teriak di tengah kota
Bukan di Kudus,tak pula Jepara
;melainkan Pati

Adi waspada terhadap pati
sebab Adi ingat janji
(untuk masih) mencari sari
; dari Pati

Hilanglah tampuk mahkota sang adi--pati
Tergeletak
Retak
Kuak muka seri sang Sari

Padanya ,Gerhana Di Atas Pura

Bermula dari mimpi

Syahdan kata-kata sungkur melipat makna
Katanya,
Bejana bertampung orok jaddahnya
Janin putera sang berhala
adalah petaka
; bencana teramat nyata

Berkisah tentang mimpi(lagi)

Lamat terkelindan rasa dibenak
Tak percaya bodhong dipusarnya
adalah tanda
; ia nakal, binal
Sebab ditangan putih berkuku bersih
Ada canang penuh wewangi kembang

Mengulang awal bermimpi tentang mimpi

Fakta tak dinyana
Lewat separuh tiang pura ia menghadap
Suara halus,eluh meluluh ulu
"aku titisan darah musi,
merajang,mengerang di kota hujan
hingga terhibah hadiah mewah
katanya
: jabang bayi jaddah,

bertaut merunut mimpi(yang takkan ada akhir)

Pada buncitnya,
Kulihat seribu purnama hendak tertawa
Di dalamnya mengenyambah seruah berkah
Dan padanya,
Maaf,terhambur lacur
pecah ketuban saat bulan tengah ketiduran

(selamanya,segalanya,selalu adalah awal bagi mimpi)

Rindu tirtha Sang Bathara

Tak ada tirta..
Menyendat ia dalam pipa-pipa rawa
Lama tanpa nyawa

Mana tirta..
Tersumbatkah ia pada mulut,ketiak,paha atau selangkang para dewa?
Atau terkecam mumbulkah ia sebab murka sang Bathara?

Sudah setengah lingkar dasa warsa
(masih) tak ada tirta...
Pada undak Pura Dasar Bhuana aku terkesiap iba
Terserap di sana kepul serbuk dupa
Pun sekumpul doa tersiar dibalik bilik pendapa tua
Oh Sang Hyang Widhi,berkarib dua gerhana pun tujuh kali purnama kami di sini
Cangkir itu belum pula hendak Kau berkahi isi

Di loka mana sebenarnya menyumber tirta?
Kemana pula alir tirta bermuara?
Pada dhaksinakah wajib kami berlari??

Duhai Betara Agung,buih di mulut sudah tak berujung
Kelopak pun malas sudi bersenggama airmata
Segenap wangsa merana dahaga
Hanya sisa satu ucap menyembul
"Turun tirta.. turun saking luhur.
muncrat mumbul sami pada lebur "

Pada undak kedua Pura Dasar Bhuana,
(Terserak kertas beraksara caraka)
‘Airmatamu
: Tirta abadinya Sang Hyang Widhi’

Darah Trah Dewata

Sesemat kata muncrat di angkasa
Termaktub kesumat lupa tak tersebut
Ksatriaku, (yang hidup terlingkup megah nirwana)
Disinilah aku,(yang menelungkup dalam griya rumbia)
Mari cinta...,kita tertawa
Menabuh genta tak bernyawa

Ini cemeti,
Yang ini belati..
Dengan mana kita pilih mati??
Tak perlu cawan menadah darahmu
Tuang saja ke mulutku,biar kucium anyir itu
samakah dengan amis punyaku.

Jubah tak senama,(yang kaummu sebut sahaya--sudra)
Telah ku koyak di pinggiran jalan
Sekarang,
aku telanjang!
Tak berkasta

Kemari cinta...
Ini prasasti, sudah kuukir tadi sembari menggurat nadi
Dan ini peti mati..
Tempat kita bergelinjang malam pertama nanti

Mari cinta,Kemarilah sang ksatria..
Bahanakan kesumat kita!
Kesumat cinta berkalang kasta

Lalu pada prasasti akan termaktub kata sejarah
'Darah trah dewata tumpah di tanah sudra'

Duratmaka

Ingsun tresna
Dalu ing Semeru
Cemeng!

Setan Alas

Pejantanku...

Diriak lembab air matamu menetes
Ada apa sayangku?
Berhentilah!
Tak usah kau semburkan tangis iblis seperti itu

Dirembang petang ucap manismu menetas
Untuk apa sayangku?
Ah,bicaramu fasih benar berlogat setan
Terjebak muak dibuatnya

Pejantan angkuhku..

Hasratmu terlalu angkara terhadapku
Berhentilah memburu!
Laras senapan dibelakang pintu
Sudah bersiap melempar jauh setan alas sepertimu

Antara Kita, Terhalang Cinta Kudusmu

Bunyikan lonceng itu sekali.
Sebab padamu, telah genap segala tutur
Bahwa tak mungkin kuselip salib di satu ujung kerudungku.
Pun mustahil pada bawah sajadah kusembunyikan abu dupa kebaktianmu.Matur maafku padamu, Hai Putra yang indah bersama cahaya kudus Sang Kristus.
Sebab pada empat tiang cungkup leluhur,sudah ku ikat sumpah.Aku putri kemayu dalam pingitan, tetap akan diam dalam suci pada satu alir darah turunan sufi.
Sejenak bahana burung gereja berkoar, lonceng sakral telah dibunyikan.
Dan pada denting ketiga nyaring gema keenam..
Ku tasbihkan : kening cinta kuikhlaskan rebah di jalan Islam

(tempatku di sini, membenah jilbab sebagai hijab bertafakur luhur)

Sebab Aku, Ingin Syahid Bersama Jihadmu

; Baskara

Sebab kasihmu, aku menunggu tujuh setengah sasi berlalu
Beranjak dari balai candidasa
Ku katon wajahmu di riak jambangan,
Disela arca pancuran, pula pada kelok keraton berpatung trah purtra bangsawan

sebab rindu, kubasuh air sembahyang dari sucinya petirtaan
"ingat aku, dalam khusyuk masyuk sujudmu"
kenangku akan sejarah titahmu itu.

Di sana, entah dimana
Jihadmu telah menyentuh ulu hatiku Hai satria pemuja syahid keabadian
Dan padaku, tampuk reinkarnasi srikandi jatuh berawal
pedang, keris, pun tabuh genderang perang pada segenap mungkar yang dulu pernah kau dalilkan
sudah pula kutanam di benak,dalam satu hijab
: jilbab dan kitab

(Karenamu, mungkar bagiku tak ikut berperang di Jalan Tuhan.Dan laknatku, jika tak syahid dalam jihad bersamamu. Dariku yang mencintaimu, Duhai ksatria kekasih Tuhan..)



catatan khusus : masih dam satu proses dan nafas yang sama.
dan lagi-lagi, ini hanya ketertarikanku memahami waktu..
(teinspirasi dari istri para tereksekusi mati bom bali)

Pada Kita, Takdir Cinta Bercanda

Di sini tak ada tembang kemayu Kanda..
Hanya lagu melayu berjumpalitan, mendayu di sela-sela dedaunan tak bertulang
Tak ada dipan berkayu jati atau pun mahoni berpahat rapi di sini,
Hanya sebuah bangku berlapis sengon dengan sandarannya dua sulur batang bambu
Itu pun sudah mulai rapuh berdebu..

Tak ada apa-apa di sini Kanda...Kau hanya akan menemui aku.Gadis penjaga tungku yang biasa kau sebut dengan Dinda nun ayu...
Yang tanpa ritual penobatan telah kau daulat aku sebagai putri tercantik seluruh negeri
Ah, sungguh terlampau legam muslihat cintamu Kanda.Di pematang sawah ku jamah setampuk gabah.Kupikul menuju pulang.
Ku letakkan di bawah atap rumbia berubin daun kering tanpa gairah warna
”Untuk apa Dinda?” tanyamu waktu itu
”Mengabadikan cinta”. kau merenung. Sebab kau kenal aku Kanda, ..
Aku akan berdiam tanpa laku , hingga kau mampu menafsirkan semua
Tanpa harus aku pula yang mencecer maksudnya
Kau diam...
Dan aku, diam-diam menyulut api itu sendiri
: di belakangmu

Sekarang sungguh telah hampa di sini.Tak ada apa-apa..alpa tanpa sisa...Hanya kepul asap pengap berblingsat di udara
Kanda...
Mengabadikan takdir cinta memang tak harus ini jalannya.Tapi, ucap kerabatmu yang sungguh beradab pun lekat adat memaksaku melebur tubuhmu juga aku untuk satu
: jadi abu

”Tak butuh yang namanya cinta..sebab pria yang kau sebut Kanda hanya akan ada pada garis penerus tahta.Dan padanya tercipta harta...
Sedang wanita, telah kami siapkan pada setiap depa tepi gerbang penyambutan kehadirannnya.. Sebelum kau terbakar sesal dan hangus maki nestapa
Pergi! tinggalkan ia.. Dan ingat, cinta bukan alasan untuk takdir menyatukan kalian...”

Garis Keturunan

Padaku,
Terendus garis trah kerajaan (darah dari titis magis tak sempat dibaptis)
Sejarah mengulang,
Putri tak hendak diikat di puri

Aku pergi
Lepas nama Kutai, gelar kisah pada bumi Kuta melandai

Padaku,
Tak ada lagi adat peradaban usang
Hanya titis trah merembes tetes lewat darah--warisan yang tak bisa kuhapus hingga jaman penghabisan

Silsilah hanya tinggal kertas kusam berlubang
Melintang di tiang bambu tengah tanpa atap
muntab,lenyap
terhisap waktu pun selaksa prajurit tak bersayap
: rayap

Baginya, aku hina di Hindustan

; Padma

Bilang padanya--pria yang sejatinya berakar di tanah Jawa
Padaku tak ada kain sari,mahendi,pun bindya di kepala
Cadarku masih utuh separuh menghijab di wajah

Tak usah ia tuang abu kerudung itu di ranjang
Percuma..
Buang saja di persemayaman riak gelombang laut selatan
Biar angin darat menghanyutkannya
Mungkin bisa mengembalikannya pada sejarah tua di Hindustan
; sama saat ujung sebelah kerudungku,basah begitu ia menampik rindu

Padanya,
Katakan aku rindu tembang macapat
Maka saat abu dari jasadku yang sempat dihinakannya menapak
Cepat kubur aku
Atau tanam di bawah gandapura,sebelah tangkai padma
Di belakang rumahnya

( ; Padma
Air muara gangga saksinya.aku tetap setia memegang satya
: aku masih suci )

Tragedi : Sari--Adi (Pati)

Adi mencintai Sari
; pati

Adi rindu layak sayang bulan Sura
; pati

Berblingsat ia,teriak di tengah kota
Bukan di Kudus,tak pula Jepara
;melainkan Pati

Adi waspada terhadap pati
sebab Adi ingat janji
(untuk masih) mencari sari
; dari Pati

Hilanglah tampuk mahkota sang adi--pati
Tergeletak
Retak
Kuak muka seri sang Sari

Padanya ,Gerhana Di Atas Pura

Bermula dari mimpi

Syahdan kata-kata sungkur melipat makna
Katanya,
Bejana bertampung orok jaddahnya
Janin putera sang berhala
adalah petaka
; bencana teramat nyata

Berkisah tentang mimpi(lagi)

Lamat terkelindan rasa dibenak
Tak percaya bodhong dipusarnya
adalah tanda
; ia nakal, binal
Sebab ditangan putih berkuku bersih
Ada canang penuh wewangi kembang

Mengulang awal bermimpi tentang mimpi

Fakta tak dinyana
Lewat separuh tiang pura ia menghadap
Suara halus,eluh meluluh ulu
"aku titisan darah musi,
merajang,mengerang di kota hujan
hingga terhibah hadiah mewah
katanya
: jabang bayi jaddah,

bertaut merunut mimpi(yang takkan ada akhir)

Pada buncitnya,
Kulihat seribu purnama hendak tertawa
Di dalamnya mengenyambah seruah berkah
Dan padanya,
Maaf,terhambur lacur
pecah ketuban saat bulan tengah ketiduran

(selamanya,segalanya,selalu adalah awal bagi mimpi)

Rindu tirtha Sang Bathara

Tak ada tirta..
Menyendat ia dalam pipa-pipa rawa
Lama tanpa nyawa

Mana tirta..
Tersumbatkah ia pada mulut,ketiak,paha atau selangkang para dewa?
Atau terkecam mumbulkah ia sebab murka sang Bathara?

Sudah setengah lingkar dasa warsa
(masih) tak ada tirta...
Pada undak Pura Dasar Bhuana aku terkesiap iba
Terserap di sana kepul serbuk dupa
Pun sekumpul doa tersiar dibalik bilik pendapa tua
Oh Sang Hyang Widhi,berkarib dua gerhana pun tujuh kali purnama kami di sini
Cangkir itu belum pula hendak Kau berkahi isi

Di loka mana sebenarnya menyumber tirta?
Kemana pula alir tirta bermuara?
Pada dhaksinakah wajib kami berlari??

Duhai Betara Agung,buih di mulut sudah tak berujung
Kelopak pun malas sudi bersenggama airmata
Segenap wangsa merana dahaga
Hanya sisa satu ucap menyembul
"Turun tirta.. turun saking luhur.
muncrat mumbul sami pada lebur "

Pada undak kedua Pura Dasar Bhuana,
(Terserak kertas beraksara caraka)
‘Airmatamu
: Tirta abadinya Sang Hyang Widhi’

Darah Trah Dewata

Sesemat kata muncrat di angkasa
Termaktub kesumat lupa tak tersebut
Ksatriaku, (yang hidup terlingkup megah nirwana)
Disinilah aku,(yang menelungkup dalam griya rumbia)
Mari cinta...,kita tertawa
Menabuh genta tak bernyawa

Ini cemeti,
Yang ini belati..
Dengan mana kita pilih mati??
Tak perlu cawan menadah darahmu
Tuang saja ke mulutku,biar kucium anyir itu
samakah dengan amis punyaku.

Jubah tak senama,(yang kaummu sebut sahaya--sudra)
Telah ku koyak di pinggiran jalan
Sekarang,
aku telanjang!
Tak berkasta

Kemari cinta...
Ini prasasti, sudah kuukir tadi sembari menggurat nadi
Dan ini peti mati..
Tempat kita bergelinjang malam pertama nanti

Mari cinta,Kemarilah sang ksatria..
Bahanakan kesumat kita!
Kesumat cinta berkalang kasta

Lalu pada prasasti akan termaktub kata sejarah
'Darah trah dewata tumpah di tanah sudra'