Kepada Takdir

Ketika orang lain sibuk menyalahkanmu atas apa yang mereka hadapi dalam hidup, aku justru mencoba mengajakmu bicara. Kemarilah , akan  kuceritakan padamu sedikit perjalanan yang aku lalui karena sudah terlampau menuruti kehendakmu..

Beberapa waktu lalu aku terlepas dari sebuah kota dimana aku merasa bisa hidup nyaman, tenang meskipun seringkali aku harus selalu siaga mengahadapi kondisi kurang aman. Tapi percayalah, tukang palak, preman, orang-orang jalanan, jauh lebih bersahabat denganku dibandingkan orang-orang yang berwajah manis ketika berhadapan namun berubah serupa ular ketika kau membelakanginya.
Tapi aku sadar betul, bahwa mungkin demikianlah maumu. Membiarkanku jatuh berkali-kali, membuatku bangun tanpa bantuan siapapun, memaksaku menutup mulut dan telinga dari segala jenis gunjingan,dan mengirimkan sekumpulan orang yang bahkan dalam mimpipun berusaha aku hindari karena aku tak lihai berwajah dua layaknya mereka.
Aku menerimanya sebagai sebuah pembelajaran.


Dulu aku tak banyak menggugat atas keputusanmu dalam karirku.. sebab ketika aku berpindah karir aku yakin kau punya akhir yang selalu indah buatkku. Dan itu terbukti benar. Semakin aku siap bergulat, semakin karirku meningkat.
Bahkan ketika aku semakin memasrah tentang impianku menginjak tanah orang, kau semakin membuatku melangkahkan kaki lebih jauh, melebihi batas-batas harapanku terdahulu.
Sejak itu, aku berhenti menggugatmu. Aku percaya, kau punya sesuatu yang jauh lebih indah.

Kini.. diantara batas kota dan desa, diantara sekat budaya dan tipe watak orang yang berbeda,
dengan satu harap yang masih menggantung, akan kusampaikan padamu bahwasanya aku ingin pergi dari sini. 
Sebab aku mulai sedikit muak.

Bukan padamu.. bukan pada keputusanku mempercayaimu. Melainkan pada mereka yang sibuk menggunjing karibnya, tetangga, rekan kerja, pun saudaranya. Pada mereka yang waktunya terbuang bukan karena bekerja, melainkan habis karena membicarakan orang. Sungguh, aku muak pada tabiat menyebar aib, munafik dan bergosip yang demikian.

Ketika orang lain menyalahkanmu karena hidupnya tak seindah orang lain, ingin rasanya kulantangkan suaraku dnegan berkata : "Tak usah kau salahkan takdir. Urus hidupmu dengan tak menggunjing orang lain, berhenti mengujar kedengkian ,hindari menyebar kebencian, Mungkin saat itu baru kau akan tahu bahwa dirimulah yang bersalah, bukannya takdir". 
Lalu akan kutinggalkan ia.. Sebab apa guna berkawan dengan manusia yang dengan takdirnya saja ia tak mampu menerima.



Kepada Takdir

Ketika orang lain sibuk menyalahkanmu atas apa yang mereka hadapi dalam hidup, aku justru mencoba mengajakmu bicara. Kemarilah , akan  kuceritakan padamu sedikit perjalanan yang aku lalui karena sudah terlampau menuruti kehendakmu..

Beberapa waktu lalu aku terlepas dari sebuah kota dimana aku merasa bisa hidup nyaman, tenang meskipun seringkali aku harus selalu siaga mengahadapi kondisi kurang aman. Tapi percayalah, tukang palak, preman, orang-orang jalanan, jauh lebih bersahabat denganku dibandingkan orang-orang yang berwajah manis ketika berhadapan namun berubah serupa ular ketika kau membelakanginya.
Tapi aku sadar betul, bahwa mungkin demikianlah maumu. Membiarkanku jatuh berkali-kali, membuatku bangun tanpa bantuan siapapun, memaksaku menutup mulut dan telinga dari segala jenis gunjingan,dan mengirimkan sekumpulan orang yang bahkan dalam mimpipun berusaha aku hindari karena aku tak lihai berwajah dua layaknya mereka.
Aku menerimanya sebagai sebuah pembelajaran.


Dulu aku tak banyak menggugat atas keputusanmu dalam karirku.. sebab ketika aku berpindah karir aku yakin kau punya akhir yang selalu indah buatkku. Dan itu terbukti benar. Semakin aku siap bergulat, semakin karirku meningkat.
Bahkan ketika aku semakin memasrah tentang impianku menginjak tanah orang, kau semakin membuatku melangkahkan kaki lebih jauh, melebihi batas-batas harapanku terdahulu.
Sejak itu, aku berhenti menggugatmu. Aku percaya, kau punya sesuatu yang jauh lebih indah.

Kini.. diantara batas kota dan desa, diantara sekat budaya dan tipe watak orang yang berbeda,
dengan satu harap yang masih menggantung, akan kusampaikan padamu bahwasanya aku ingin pergi dari sini. 
Sebab aku mulai sedikit muak.

Bukan padamu.. bukan pada keputusanku mempercayaimu. Melainkan pada mereka yang sibuk menggunjing karibnya, tetangga, rekan kerja, pun saudaranya. Pada mereka yang waktunya terbuang bukan karena bekerja, melainkan habis karena membicarakan orang. Sungguh, aku muak pada tabiat menyebar aib, munafik dan bergosip yang demikian.

Ketika orang lain menyalahkanmu karena hidupnya tak seindah orang lain, ingin rasanya kulantangkan suaraku dnegan berkata : "Tak usah kau salahkan takdir. Urus hidupmu dengan tak menggunjing orang lain, berhenti mengujar kedengkian ,hindari menyebar kebencian, Mungkin saat itu baru kau akan tahu bahwa dirimulah yang bersalah, bukannya takdir". 
Lalu akan kutinggalkan ia.. Sebab apa guna berkawan dengan manusia yang dengan takdirnya saja ia tak mampu menerima.