Dua Puluh Satu April

Tanggal-tanggal yang lain
Kubiarkan tergeletak pada almanak
Sebab sudah kupilih sebuah tanggal
Yang hanya khusus buatku
: Dua puluh satu
Maka
Kujadikan ia penanda hari
Saat dimana kesendirian genap kutanggalkan
Dan sepi telah resmi kukremasi

Parahyangan Senja

Dari kereta Parahyangan
Dupa atas cinta
Pun selaksa kasih sayang
Tuntas kutiupkan di gerbong ketiga, bangku lima, tepat pukul empat senja
Biar terbang, biar hilang
; bersama hujan
Mungkin akan menghempasnya ke satu jurang di perbukitan Padalarang

Sudah pula kuikat erat kecewa di sisi atap kereta
Biar di tiap tapak
Di lapak yang akan kuinjak
Asma yang rutin kukecap di berbait doa
Tak usah kutemui sedang mengerang duka

“aku datang
tidak dengan siapa, tak juga demi siapa"

Sungguh, memang tak ada sesiapa di sana
Di kursi-kursi stasiun, tak kulihat ia
Yang mungkin biasa menjemput sembari membawa bunga
: melati, ataupun setangkai mawar putih

Tak pula kukaton ia di jembatan layang Pasupati
Yang pada jam satu dinihari,
Antara sembilan belas tiang penyokong beban jalan banyak pemudi sedang menepi

Sungguh, masih tak kuterawang jelas ia dimana
Mungkin sedang menangkar cinta di tempat lain
Mungkin menjerang airmata
Mungkin juga diam saja

Sudah lewat satu malam berdiam di ruas jalanan kota kembang
Kini waktunya
Di pinggiran alun-alun cinta kucecer sampai ujung stasiun
Dengan Parahyangan aku pulang
Kembali ke Jakarta
tanpa cinta, tanpa airmata
tanpa sesiapa
: hampa

Dua Puluh Satu April

Tanggal-tanggal yang lain
Kubiarkan tergeletak pada almanak
Sebab sudah kupilih sebuah tanggal
Yang hanya khusus buatku
: Dua puluh satu
Maka
Kujadikan ia penanda hari
Saat dimana kesendirian genap kutanggalkan
Dan sepi telah resmi kukremasi

Parahyangan Senja

Dari kereta Parahyangan
Dupa atas cinta
Pun selaksa kasih sayang
Tuntas kutiupkan di gerbong ketiga, bangku lima, tepat pukul empat senja
Biar terbang, biar hilang
; bersama hujan
Mungkin akan menghempasnya ke satu jurang di perbukitan Padalarang

Sudah pula kuikat erat kecewa di sisi atap kereta
Biar di tiap tapak
Di lapak yang akan kuinjak
Asma yang rutin kukecap di berbait doa
Tak usah kutemui sedang mengerang duka

“aku datang
tidak dengan siapa, tak juga demi siapa"

Sungguh, memang tak ada sesiapa di sana
Di kursi-kursi stasiun, tak kulihat ia
Yang mungkin biasa menjemput sembari membawa bunga
: melati, ataupun setangkai mawar putih

Tak pula kukaton ia di jembatan layang Pasupati
Yang pada jam satu dinihari,
Antara sembilan belas tiang penyokong beban jalan banyak pemudi sedang menepi

Sungguh, masih tak kuterawang jelas ia dimana
Mungkin sedang menangkar cinta di tempat lain
Mungkin menjerang airmata
Mungkin juga diam saja

Sudah lewat satu malam berdiam di ruas jalanan kota kembang
Kini waktunya
Di pinggiran alun-alun cinta kucecer sampai ujung stasiun
Dengan Parahyangan aku pulang
Kembali ke Jakarta
tanpa cinta, tanpa airmata
tanpa sesiapa
: hampa