Pernah mengalami masa-masa sulit untuk bangkit adalah hal
yang lumrah dialami oleh setiap orang.
Ga punya motivasi untuk belajar, bekerja, keluar jalan-jalan
bersama teman atau motivasi menjalani hubungan serius dengan seseorang juga
masih wajar terjadi. Banyak orang yang mengalami masa-masa 'krisis' seperti
itu.
Apalagi di Jakarta. Kota besar yang katanya sangat rentan
persaingan.
Tinggal di Jakarta yang daya saingnya sangat tinggi membuat
siapapun bisa berada di dua titik, antara punya motivasi tinggi untuk bersaing,
atau motivasi rendah dan akhirnya lebih ingin ga ngapa-ngapain.
Gue ga pernah mikir apa jadinya Jakarta jika pelan-pelan
penduduknya tumbuh menjadi orang yang tidak punya motivasi. Tapi okelah, jangan
coba dibayangkan.. Karena yang dibayangan gue sekarang cuma ada anggapan kalau
orang Jakarta itu didominasi oleh orang yang tiap harinya punya motivasi
tinggi. untuk berkompetisi.
Bayangin aja, pagi-pagi bangun- mandi-sarapan lalu mereka
berangkat kerja. Buru-buru di jalanan, ngebut-ngebutan.. Jalanan diubah gitu
aja jadi arena kompetisi persis Moto GP. liuk kanan-liuk kiri, menikung, lurus,
hampir ga pernah ada kata berhenti. Lampu merah cuma jadi ornamen jalanan biar
suasana pagi lebih berwarna. Awareness mereka sudah ga ada sama bahaya
kecelakaan yang mungkin bisa terjadi. Kenapa? karena mereka adalah atlet-atlet
Jakarta yang sudah terlatih tiap harinya. Mereka percaya, lebih baik cacat dari
pada terlambat..
Ga habis pikir sih.. tapi lagi-lagi gue coba deh buat
berempati.. Akhirnya gue mikir gini "Ooo.. mungkin kalau cacat mereka
dapet pesangon gede, atau bisa dapat duit dari asuransi. tapi kalau terlambat,
boro-boro kan dapet duit. yang ada lo diomelin atasan, dikasi laporan yang
harus beres dalam waktu beberapa jam.. sampe akhirnya,saking sibuknya lo sampe
lupa dan kelewat waktu makan siang".
Jakarta memang kejam kata banyak orang. Tapi entah kekejaman
itu terjadi karena siapa. Orang-orang cenderung bilang Jakarta kejam, padahal
mereka ga sadar kalau yang berbuat kejam satu sama lain itu ya mereka
sendiri. Orang yang bilang Jakarta kejam
bisa jadi karena dua hal : 1. Dia juga kejam, jadi dia dapat balasan ; 2. Dia
ga punya bekal apa-apa waktu datang ke Jakarta.
Lo akan di bully sama keadaan ketika lo ga ngerti gimana
caranya melakukan perlawanan. Dan itu artinya juga, lo akan dibuat menderita di
Jakarta ketika lo ga punya pengetahuan, lo ga punya jiwa berpetualang, atau lo
ga punya satu jimat penting di diri lo yaitu "keberuntungan".
Yang ga punya hal itu bisa jadi lo akan kalah, dan tergusur,
terus menyerah..Tapi yang punya motivasi tinggi , mereka justru mencari peluang
di tengah kejamnya kota Jakarta. Salah satu buktinya, mereka justru seolah-olah
menjadi sebagai seorang korban kekejaman kota metropolitan yang memang sebagian
besar dari mereka bisa berhasil memancing belas kasihan dan tentunya mendulang
uang. Menjadi pengamen atau pengemis jalanan adalah hal yang membuat mereka
bertahan di Jakarta. Mereka berlagak sebagai korban kekejaman Jakarta. Padahal
setiap harinya mereka berkompetisi dengan para manager-manager perusahaan untuk
menumpuk uang, yang bahkan bila dibandingkan, gaji level manager masih kalah
dengan pendapatan seorang pengemis jalanan.
Dan ini memang serius terjadi.
Jakarta tanpa kompetisi itu seperti Amplop tanpa perangko.
Sama halnya seperti amplop-perangko butuh lem, kompetisi di Jakarta juga butuh
kekejaman. Yah setidaknya itu yang Jakarta utarakan ke gue lewat
kebisingan-kebisingan tiap malamnya.
Kompetisi itu hidup dan mendarah-daging di Jakarta. Ga cuma
orang-orangnya yang kelihatan bersaing, di pinggir-pinggir jalan aja gue bisa
melihat ada banyak kompetisi.
Lo pernah ngitungin banyak minimarket yang lo lewatin dalam
sekali jalan? atau ngitungin berapa pasang minimarket beda jenis yang posisinya
berdekatan atau berdampingan pas lo lagi dalam perjalanan pulang?
gue pernah. Minimarket yang beda jenis ini yang sering menarik
perhatian gue.. Mereka hebat. sebagai minimarket beda jenis posisi mereka bisa
berdampingan dengan sangat rukun bak pengantin lagi berdiri di pelaminan.
konyol sih ngitungin minimarket yang kadang lambangnya aja
bikin gue lieur saking miripnya.Tapi pernah ga kepikiran kalau fungsi dari
ngitungin itu bisa aja bermanfaat? Bisa jadi lo nanti tiba-tiba ketemu orang
nanya letak toko karena dia sedang butuh sesuatu dan terdesak beli barang itu
segera, tapi karena lo udah hafal berapa banyak minimarket di daerah itu dan
dimana aja posisinya, lo bisa dengan mudah bilang ke dia sambil nunjuk tangan
"DI SANA!", atau mungkin ada orang yang mulai teratrik franchisee
minimarket itu, lo bisa dengan enteng bilang "itu udah berderet tante di
daerah situ.. yang masih jarang tuh di daerah sini..". Dan lebih
pentingnya lagi, fungsi dari ngitungin hal-hal yang tampak jelas di depan mata
itu bisa membuat lo semakin paham tentang gambaran seberapa ketatnya persaingan
di Jakarta (atau mungkin juga kota-kota lainnya). Semakin bangunan itu
berdekatan, semakin ketat indikasi kompetisi yang terjadi. Lebih-lebih lagi
kalau dua jenis minimarket tiba-tiba nanti dibuka dalam satu gedung tapi beda
lantai, bisa kebayang kan kompetisi model apa yang sedang terjadi?
Hidup itu keras, Bung.. Tapi sekeras-kerasnya hidup jangan
sampai kita kehilangan motivasi untuk hidup.
Boleh jadi lo kehilangan motivasi untuk bekerja, belajar,
atau memanfaatkan masa muda, tapi jangan pernah lo kehilangan motivasi untuk
hidup.khususnya di Jakarta.
Kalau lo cuma
kehilangan motivasi kerja, belajar dan lainnya, lo masih akan selamat. karena
setelah itu lo pasti punya keinginan untuk mendapat hidup yang lebih baik..jadi
pasti lo akan cari kerja lagi dan mulai belajar
lagi .
Tapi kalau lo kehilangan motivasi untuk hidup, lo akan
kehilangan semuanya..
Dan Jakarta akan kehilangan satu dari sekian orang yang selalu menyebutnya
sebagai kota yang 'kejam'.
Lalu sebagai pembalasan, di akhir hidup lo Jakarta akan
berkata "Siapa suruh datang Jakarta!"