Jalan Nasib

Pada mulanya, hidup bukanlah berarti hidup saudariku.
Jika ia tak menciptakan sebuah pilihan. Ia tak juga utuh disebut sebagai kesatuan hidup jika didalamnya tak kau temukan makna dan konsekuensi sebuah pilihan..

Bahwa hidup memang adalah untuk memilih. Seperti yang telah biasa kau dengar, dari televisi, kamus-kamus, primbon, atau berkutat dengan diktat yang biasa jadi santapanmu tiap pagi.
Bahwa hidup adalah sebuah hukum. Yang menuntut, segalanya berjalan sesuai jalur.
Dan bahwa hidup adalah cuma berisi peraturan-peraturan kultural yang tak semestinya dilanggar.
Hidupmu, hidupku, hanya sebuah formalitas yang hanya akan berjalan sesuai hukum di negara.
Yang katanya berbasis hukum eropa kontinental, hukum adat, juga hukum agama.
Yang katanya membebaskan kita memilih siapa saja, tidak terkecuali dalam cinta.

Jika saja kita tetap memilih diam disini, berpatroli menunggu sampai ada yang datang menghampiri, sungguh sebuah formalitas yg abadi. Saudariku, bahwa benar, hidup adalah memang pilihan.
Bahkan saat kau tak mau memilihpun, adalah juga sebuah pilihan.
Tapi suatu ketika, jika waktu membuatmu terpaksa berdiri di sebuah mimbar peradilan, yang didalamnya hanya ada kecaman terhadap apa yang sudah kau pilih, hendak bagaimanakah kau nanti?
Atau di sebuah masa yang tiba-tiba melemparmu ke tengah-tengah medan pertempuran, yang disana hanya ada tiga pilihan, terus menyerang, kabur atau menyerah mundur?
Atau saat nanti kau hendak melahirkan. ketika memilih jalan tak ingin sakit, hingga kau pilih melahirkan dalam air, ataukah normal, atau malah caesar? hendak bagaimana kau nanti?
Bahwa hidup adalah tentang memikirkan hal-hal atau kemungkinan yang mungkin terjadi.
Bahwa hidup adalah tentang bermimpi.
Bahwa kebebasan utama yang kau miliki setelah tak bisa memilih (setelah orang-orang dibalik sel tinggal menunggu eksekusi mati),satu-satunya yang tersisa adalah kebebasan berpikir.bermimpi.
Maka tak inginkah kau sekedar bermimpi?
Berkhayal tentang hal-hal yang mungkin saja bisa terjadi nanti?
Mengkhayalkan bagaimana jika nanti, aku, kau, tak lagi bisa memilih?
Dan tak bisa lagi menggunakan hak pilih, dan harus mau dengan segala pilihan yang orang lain telah pilihkan. Masihkah kau akan membuka diktat, kamus, atau menggeledah perpustakaan,untuk sekedar melakukan pembelaan atau penyangkalan, seperti yang sekarang tengah kau lakukan?
Tak ada pilihan lain, kecuali berpikir dari sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jalan Nasib

Pada mulanya, hidup bukanlah berarti hidup saudariku.
Jika ia tak menciptakan sebuah pilihan. Ia tak juga utuh disebut sebagai kesatuan hidup jika didalamnya tak kau temukan makna dan konsekuensi sebuah pilihan..

Bahwa hidup memang adalah untuk memilih. Seperti yang telah biasa kau dengar, dari televisi, kamus-kamus, primbon, atau berkutat dengan diktat yang biasa jadi santapanmu tiap pagi.
Bahwa hidup adalah sebuah hukum. Yang menuntut, segalanya berjalan sesuai jalur.
Dan bahwa hidup adalah cuma berisi peraturan-peraturan kultural yang tak semestinya dilanggar.
Hidupmu, hidupku, hanya sebuah formalitas yang hanya akan berjalan sesuai hukum di negara.
Yang katanya berbasis hukum eropa kontinental, hukum adat, juga hukum agama.
Yang katanya membebaskan kita memilih siapa saja, tidak terkecuali dalam cinta.

Jika saja kita tetap memilih diam disini, berpatroli menunggu sampai ada yang datang menghampiri, sungguh sebuah formalitas yg abadi. Saudariku, bahwa benar, hidup adalah memang pilihan.
Bahkan saat kau tak mau memilihpun, adalah juga sebuah pilihan.
Tapi suatu ketika, jika waktu membuatmu terpaksa berdiri di sebuah mimbar peradilan, yang didalamnya hanya ada kecaman terhadap apa yang sudah kau pilih, hendak bagaimanakah kau nanti?
Atau di sebuah masa yang tiba-tiba melemparmu ke tengah-tengah medan pertempuran, yang disana hanya ada tiga pilihan, terus menyerang, kabur atau menyerah mundur?
Atau saat nanti kau hendak melahirkan. ketika memilih jalan tak ingin sakit, hingga kau pilih melahirkan dalam air, ataukah normal, atau malah caesar? hendak bagaimana kau nanti?
Bahwa hidup adalah tentang memikirkan hal-hal atau kemungkinan yang mungkin terjadi.
Bahwa hidup adalah tentang bermimpi.
Bahwa kebebasan utama yang kau miliki setelah tak bisa memilih (setelah orang-orang dibalik sel tinggal menunggu eksekusi mati),satu-satunya yang tersisa adalah kebebasan berpikir.bermimpi.
Maka tak inginkah kau sekedar bermimpi?
Berkhayal tentang hal-hal yang mungkin saja bisa terjadi nanti?
Mengkhayalkan bagaimana jika nanti, aku, kau, tak lagi bisa memilih?
Dan tak bisa lagi menggunakan hak pilih, dan harus mau dengan segala pilihan yang orang lain telah pilihkan. Masihkah kau akan membuka diktat, kamus, atau menggeledah perpustakaan,untuk sekedar melakukan pembelaan atau penyangkalan, seperti yang sekarang tengah kau lakukan?
Tak ada pilihan lain, kecuali berpikir dari sekarang.