An Eternity

      Aku menulis ini, saat edelweis-edelweis itu baru dipetik.
saat hari masih tak begitu terik. Ya, aku menulis tentang sisa-sisa kasih yang masih membekas diantara pucuk-pucuk daun pinus, ataupun tentang rindu-rindu di masa lalu yang masih juga tergantung diujung daun waru. Bahkan juga kutulis tentang luka-luka yang menganga didepan sebuah kaca.

Edelweis itu.. hanyalah sepenggalah cerita yang tak tuntas kuberikan di masa lalu. Sebuah kisah yang kumal, kusam, bersemburat samar. Rasanya sama sekali tak hendak kukenang.

Tak banyak orang tahu, bahwa edelweis, bunga abadi itu,yang dulu jadi penanda cintanya, justru telah abadi membawa ia pergi.Ya, Dia mati.  Petualangan yang sungguh belum rampung. Sebab belum ia bawa aku ke puncak gunung Semeru, Bromo, ataupun Pangrango. Sekedar untuk melihat rupa kota dari ketinggian beberapa ratus meter diatas laut, menatap bukit-bukit kecil yang disekitarnya membentuk lautan pasir.

                Kini dia menjadi abadi, pergi bersama putik-putik bunga abadi yang pernah ia petik.
Jatuh dari tebing curam salah satu gunung tertinggi di Jawa timur. Dengan ransel, topi, dan slayer yang dulu pernah kubelikan diMalioboro ia sudah terjun seperti hendak berparasut.
Dan dibawah tebing berparas, nyawanya terlepas.  Banyak yang mencuat dari akal, seribu macam rangkaian kata yang pernah ia ucap kembali kuingat.. ”Bercengkramalah dengan doa dan bayangku yang selalu mengitarimu saat kau merasa rindu..” Atau ” Jangan pernah merasa sendirian meski didalam malam, sebab sudah kutinggalkan bintang sebagai pengganti teman..
Ah, tulisanku terputus.berhenti saat terpaksa kudengar suaranya bernyanyi lirih, yang dulu sempat direkamnya dalam sekeping CD..

Edelweiss..edelweiss...
everymorning you greet me.
Small and white, clean and bright. 
You look happy to meet me.. 
Blossom of snow may you bloom and grow
Bloom and grow forever 
Edelweiss, Edelweiss 
Bless my homeland forever


     Hari ini,aku masih menulis di sini,dan tak tahu pada alinea,atau baris mana aku akan behenti.
Aku hanya ingin mencatat, Bulan depan, aku hendak mendaki gunung hingga puncak. Putik-putik yang terbang saat ragamu juga melayang, semoga bisa tiba-tiba tersangkut dihelai rambutku. Biar aku tahu, kau bersama rasa cintamu masih slalu abadi ditempat itu. Dan tentang sebentuk edelweiss yang masih berhasil kau genggam saat kau terlempar dijurang yang curam,Tetap kusimpan.kuletakkan dalam kamar, di atas meja belajar.  Bersama kenangan lain yang pernah kau tinggal...
--14 November 2007.
Catatan yang kutulis di buku usang miliknya.Yang di lembar sebelumnya, sempat kubaca tulisan terakhirnya :
"Aku ingin membawanya ke sebuah puncak.
dimana putik-putik edelweiss bisa ia petik.
Entah mungkin 2 hari lagi, 2 tahun, atau 20 tahun kemudian.."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

An Eternity

      Aku menulis ini, saat edelweis-edelweis itu baru dipetik.
saat hari masih tak begitu terik. Ya, aku menulis tentang sisa-sisa kasih yang masih membekas diantara pucuk-pucuk daun pinus, ataupun tentang rindu-rindu di masa lalu yang masih juga tergantung diujung daun waru. Bahkan juga kutulis tentang luka-luka yang menganga didepan sebuah kaca.

Edelweis itu.. hanyalah sepenggalah cerita yang tak tuntas kuberikan di masa lalu. Sebuah kisah yang kumal, kusam, bersemburat samar. Rasanya sama sekali tak hendak kukenang.

Tak banyak orang tahu, bahwa edelweis, bunga abadi itu,yang dulu jadi penanda cintanya, justru telah abadi membawa ia pergi.Ya, Dia mati.  Petualangan yang sungguh belum rampung. Sebab belum ia bawa aku ke puncak gunung Semeru, Bromo, ataupun Pangrango. Sekedar untuk melihat rupa kota dari ketinggian beberapa ratus meter diatas laut, menatap bukit-bukit kecil yang disekitarnya membentuk lautan pasir.

                Kini dia menjadi abadi, pergi bersama putik-putik bunga abadi yang pernah ia petik.
Jatuh dari tebing curam salah satu gunung tertinggi di Jawa timur. Dengan ransel, topi, dan slayer yang dulu pernah kubelikan diMalioboro ia sudah terjun seperti hendak berparasut.
Dan dibawah tebing berparas, nyawanya terlepas.  Banyak yang mencuat dari akal, seribu macam rangkaian kata yang pernah ia ucap kembali kuingat.. ”Bercengkramalah dengan doa dan bayangku yang selalu mengitarimu saat kau merasa rindu..” Atau ” Jangan pernah merasa sendirian meski didalam malam, sebab sudah kutinggalkan bintang sebagai pengganti teman..
Ah, tulisanku terputus.berhenti saat terpaksa kudengar suaranya bernyanyi lirih, yang dulu sempat direkamnya dalam sekeping CD..

Edelweiss..edelweiss...
everymorning you greet me.
Small and white, clean and bright. 
You look happy to meet me.. 
Blossom of snow may you bloom and grow
Bloom and grow forever 
Edelweiss, Edelweiss 
Bless my homeland forever


     Hari ini,aku masih menulis di sini,dan tak tahu pada alinea,atau baris mana aku akan behenti.
Aku hanya ingin mencatat, Bulan depan, aku hendak mendaki gunung hingga puncak. Putik-putik yang terbang saat ragamu juga melayang, semoga bisa tiba-tiba tersangkut dihelai rambutku. Biar aku tahu, kau bersama rasa cintamu masih slalu abadi ditempat itu. Dan tentang sebentuk edelweiss yang masih berhasil kau genggam saat kau terlempar dijurang yang curam,Tetap kusimpan.kuletakkan dalam kamar, di atas meja belajar.  Bersama kenangan lain yang pernah kau tinggal...
--14 November 2007.
Catatan yang kutulis di buku usang miliknya.Yang di lembar sebelumnya, sempat kubaca tulisan terakhirnya :
"Aku ingin membawanya ke sebuah puncak.
dimana putik-putik edelweiss bisa ia petik.
Entah mungkin 2 hari lagi, 2 tahun, atau 20 tahun kemudian.."