Yang Tersiar Diantara Kawah Tangkuban Perahu

Pada tangga-tangga kawah itu
Kudengar lagi suaramu
Semangat mengurai cerita
bukan tentang cinta, pun tidak tentang kita
tapi negara

pada sesuatu yang katanya bernama pemerintahan
Bahwa katamu
di sini,di negara bermartabat
Pun katanya berbudi pekerti
berandal-berandal terminal, para kacung malam,
Gelandangan, pun perempuan penjaja selangkangan
Laris diobral,
Di jual pada rapat bulanan wakil rakyat, di siaran televisi,
Di kampanye para politisi,
Bahkan di sudut-sudutnya toilet di gedung apresiasi seni

Layaknya hama,
kaum yang mengaku beridealisme taat dan baku
(padahal saru)
Berteriak
Menyuruh semuanya diberantas.tuntas.

Tak mau dengar apa uang gedung, seragam, dan buku dari anak salah satu pelacur itu
Sudah ataukah belum lunas
Tak mau berpikir,apa mungkin berandal-berandal terminal dan para kacung malam itu
Terlahir begitu saja
Dengan otak tiba-tiba bebal, laku brutal
kurang ajar
Sebab dulu tak ada ibu yang mau seperti pelacur itu
Rela menjaja selangkang
biar anaknya bisa memakai seragam
Dan belajar di bangku sekolahan

Kau tetap berjalan di depanku,
Menyusuri kerikil-kerikil,kayu lapuk, juga bangkai binatang
Sambil sesekali menyumbat hidung karena bau belerang
Berceloteh tentang negara adikuasa, adidaya
Rakyat jelata
Masih bukan tentang kita

Orang-orang yang rutin lalu-lalang di gerbang sebuah gedung pemerintahan
Tak berpikir
Kira-kira gelandangan renta yang berjejer tidur di trotoar
Yang lalu dibilang pindang-pindang jalanan
masihkah bisa atau tidak buang air besar,
padahal perutnya lama tak diisi makan
Suaramu itu tak kalah dengan celoteh burung dipinggiran hutan

Pun tentang kaum elite politik yang antikritik disetiap rapat
Juga koloni mahasiswa
Di universitas belasan tingkat
Bahwa otak mereka meninggi

Tapi membiarkan model-model yang diperbincangkannya ada di bawah gedung mereka
Sedang mencuci, berak, mandi
di kali yang jadi tempat pembuangan air dan kotoran dari gedung-gedung tinggi
Sedang mangkal berjualan
Yang piring dan gelasnya ia cuci dipinggiran kali tadi
Pun ada yang sedang menengadah diam, sambil malu-malu
Sebab dari atas sana, ia tahu telah menjadi sasaran sebuah tontonan

Mengobral cerita orang miskin, menjual nama pihak terkucil
Dan memakan hak milik yang lain
Kau sebut dzalim

Kau tetap berkobar
mendeklamasikan gugatan-gugatan, tuntutan
bantahan terhadap ketidakadilan,ketidakpedulian sistem pemerintahan
Hingga lupa
Di sini, dibelakang langkahmu
Di tepi kawah tangkuban perahu
ada aku

yang meski bangga, tetaplah merasa sedikit berduka

sebab kau berjalan didepanku
sebab kau memang berbincang banyak hal
tapi tak pernah tahu
bahwa ketidakadilan
bahwa ketidakpedulian
itu yang juga sedang kurasakan

tepat saat sebelumnya sangat kuharap
kau akan berbalik
menggugat aroma belerang yang membuatku sangat sesak
dan bercerita sedikit saja tentang kita, tentang cinta
tentang anak-anak kita
bukan lagi negara
atau pun pemerintahannya

(yang karenanya, sempat kau dihujat pemberontak
dan kini terpaksa berkalung predikat : mantan narapidana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yang Tersiar Diantara Kawah Tangkuban Perahu

Pada tangga-tangga kawah itu
Kudengar lagi suaramu
Semangat mengurai cerita
bukan tentang cinta, pun tidak tentang kita
tapi negara

pada sesuatu yang katanya bernama pemerintahan
Bahwa katamu
di sini,di negara bermartabat
Pun katanya berbudi pekerti
berandal-berandal terminal, para kacung malam,
Gelandangan, pun perempuan penjaja selangkangan
Laris diobral,
Di jual pada rapat bulanan wakil rakyat, di siaran televisi,
Di kampanye para politisi,
Bahkan di sudut-sudutnya toilet di gedung apresiasi seni

Layaknya hama,
kaum yang mengaku beridealisme taat dan baku
(padahal saru)
Berteriak
Menyuruh semuanya diberantas.tuntas.

Tak mau dengar apa uang gedung, seragam, dan buku dari anak salah satu pelacur itu
Sudah ataukah belum lunas
Tak mau berpikir,apa mungkin berandal-berandal terminal dan para kacung malam itu
Terlahir begitu saja
Dengan otak tiba-tiba bebal, laku brutal
kurang ajar
Sebab dulu tak ada ibu yang mau seperti pelacur itu
Rela menjaja selangkang
biar anaknya bisa memakai seragam
Dan belajar di bangku sekolahan

Kau tetap berjalan di depanku,
Menyusuri kerikil-kerikil,kayu lapuk, juga bangkai binatang
Sambil sesekali menyumbat hidung karena bau belerang
Berceloteh tentang negara adikuasa, adidaya
Rakyat jelata
Masih bukan tentang kita

Orang-orang yang rutin lalu-lalang di gerbang sebuah gedung pemerintahan
Tak berpikir
Kira-kira gelandangan renta yang berjejer tidur di trotoar
Yang lalu dibilang pindang-pindang jalanan
masihkah bisa atau tidak buang air besar,
padahal perutnya lama tak diisi makan
Suaramu itu tak kalah dengan celoteh burung dipinggiran hutan

Pun tentang kaum elite politik yang antikritik disetiap rapat
Juga koloni mahasiswa
Di universitas belasan tingkat
Bahwa otak mereka meninggi

Tapi membiarkan model-model yang diperbincangkannya ada di bawah gedung mereka
Sedang mencuci, berak, mandi
di kali yang jadi tempat pembuangan air dan kotoran dari gedung-gedung tinggi
Sedang mangkal berjualan
Yang piring dan gelasnya ia cuci dipinggiran kali tadi
Pun ada yang sedang menengadah diam, sambil malu-malu
Sebab dari atas sana, ia tahu telah menjadi sasaran sebuah tontonan

Mengobral cerita orang miskin, menjual nama pihak terkucil
Dan memakan hak milik yang lain
Kau sebut dzalim

Kau tetap berkobar
mendeklamasikan gugatan-gugatan, tuntutan
bantahan terhadap ketidakadilan,ketidakpedulian sistem pemerintahan
Hingga lupa
Di sini, dibelakang langkahmu
Di tepi kawah tangkuban perahu
ada aku

yang meski bangga, tetaplah merasa sedikit berduka

sebab kau berjalan didepanku
sebab kau memang berbincang banyak hal
tapi tak pernah tahu
bahwa ketidakadilan
bahwa ketidakpedulian
itu yang juga sedang kurasakan

tepat saat sebelumnya sangat kuharap
kau akan berbalik
menggugat aroma belerang yang membuatku sangat sesak
dan bercerita sedikit saja tentang kita, tentang cinta
tentang anak-anak kita
bukan lagi negara
atau pun pemerintahannya

(yang karenanya, sempat kau dihujat pemberontak
dan kini terpaksa berkalung predikat : mantan narapidana)