Lamat-lamat suara kedatangan kereta jatuh di kedua daun telingaku.
Aku tahu, suara berikutnya adalah bunyi dimana tanda keberangkatanmu sudah ditentukan.
Dan bunyi selanjutnya hanyalah laju mesin-mesin kereta yang beradu padu dengan besi-besi rel itu.
Bunyi orang-orang mengucap selamat jalan bahkan selamat tinggal.
Bunyi pedagang asongan di sepanjang peron, dan bunyi dari detak jantungku sendiri.
Selain bunyi-bunyian itu, bisa kupastikan tak ada bunyi lain yang akan kudengar,termasuk bunyi dari suaramu.
Bagimu mengucap selamat tinggal atau selamat jalan adalah hal pertama yang tak mau kau lakukan,
Dan menitikkan air mata adalah hal kedua yang sama sekali tak ingin kau lakukan saat menjelang kepergian dan perpisahan yang berjarak waktu berbulan-bulan atau mungkin bertahun-tahun, dan berjarak ratusan kilometer dari tempatku berdiri sekarang ini, sebuah peron. Tempat dimana kau masih berdiri mematung, bersandar di satu tiang, menatap satu per satu gerbong yang lewat, lalu baru berbalik menghadapku..
Memelukku tiga menit saja, apa kau mau?
Mendengar detak yang sungguh mengganggu, dan meredamnya biar aku lalu bisa berkonsentrasi mendengar apa-apa yang keluar dari mulutmu.
Aku bisa saja berteriak, menendang tempat sampah, membanting handphone yang nanti akan menjadi satu-satunya sahabat yang bisa menghubungkanmu denganku sewaktu-waktu, menendang tiang yang justru jadi tempatmu bersandar bukannya aku, atau menepis botol-botol air minum dan kaleng-kaleng minuman yang dijajakan di hadapanku, aku mampu melakukannya demi meredam perasaan tak nyaman.
Aku orang yang keras, susah ditaklukkan, dan benar-benar sulit untuk dikendalikan.
Tapi kau tidak keberatan kan?
Aku biasa datang ke arahmu tanpa tahu kau sudah lama menunggu.
Aku tak pernah tepat waktu, aku sering lupa pada janji-janji kecil yang kuucapkan sebelumnya.
Aku bangun-tidur semauku, dan tak pernah kujadwalkan tiap jam berapa dan tiap hari apa aku harus menemuimu,
Aku akan mencium keningmu tanpa menanyaimu terlebih dulu apakah kau mau atau tidak.
Aku selalu begitu...
tapi kau tak marah kan? Kau bahkan tertawa ketika mengingatnya.
Maukah kau memelukku barang tiga menit saja, diantara penuh sesak orang-orang dalam peron?
diantara jeda waktu yang diberikan kereta itu kepada kita sebelum akhirnya mengangkutmu pergi dalam sebuah perjalanan yang panjang? maukah?
maukah kau mendengarkan bunyi detak yang aku sendiri tak mengenalnya.
Detak yang berirama sedih sambil membisikkan, "Jangan pernah mencintaiku karena alasan apa pun. Kecuali satu, karena kau mencintai caraku mencintaimu.. cukup itu"
Saat tiga menitku habis, pergilah. Tiga menit yang menjadi satu dari sekian cara sederhanaku mencintaimu..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Sebentar saja, Tiga Menit Sebelum Kereta Berangkat
Lamat-lamat suara kedatangan kereta jatuh di kedua daun telingaku.
Aku tahu, suara berikutnya adalah bunyi dimana tanda keberangkatanmu sudah ditentukan.
Dan bunyi selanjutnya hanyalah laju mesin-mesin kereta yang beradu padu dengan besi-besi rel itu.
Bunyi orang-orang mengucap selamat jalan bahkan selamat tinggal.
Bunyi pedagang asongan di sepanjang peron, dan bunyi dari detak jantungku sendiri.
Selain bunyi-bunyian itu, bisa kupastikan tak ada bunyi lain yang akan kudengar,termasuk bunyi dari suaramu.
Bagimu mengucap selamat tinggal atau selamat jalan adalah hal pertama yang tak mau kau lakukan,
Dan menitikkan air mata adalah hal kedua yang sama sekali tak ingin kau lakukan saat menjelang kepergian dan perpisahan yang berjarak waktu berbulan-bulan atau mungkin bertahun-tahun, dan berjarak ratusan kilometer dari tempatku berdiri sekarang ini, sebuah peron. Tempat dimana kau masih berdiri mematung, bersandar di satu tiang, menatap satu per satu gerbong yang lewat, lalu baru berbalik menghadapku..
Memelukku tiga menit saja, apa kau mau?
Mendengar detak yang sungguh mengganggu, dan meredamnya biar aku lalu bisa berkonsentrasi mendengar apa-apa yang keluar dari mulutmu.
Aku bisa saja berteriak, menendang tempat sampah, membanting handphone yang nanti akan menjadi satu-satunya sahabat yang bisa menghubungkanmu denganku sewaktu-waktu, menendang tiang yang justru jadi tempatmu bersandar bukannya aku, atau menepis botol-botol air minum dan kaleng-kaleng minuman yang dijajakan di hadapanku, aku mampu melakukannya demi meredam perasaan tak nyaman.
Aku orang yang keras, susah ditaklukkan, dan benar-benar sulit untuk dikendalikan.
Tapi kau tidak keberatan kan?
Aku biasa datang ke arahmu tanpa tahu kau sudah lama menunggu.
Aku tak pernah tepat waktu, aku sering lupa pada janji-janji kecil yang kuucapkan sebelumnya.
Aku bangun-tidur semauku, dan tak pernah kujadwalkan tiap jam berapa dan tiap hari apa aku harus menemuimu,
Aku akan mencium keningmu tanpa menanyaimu terlebih dulu apakah kau mau atau tidak.
Aku selalu begitu... tapi kau tak marah kan? Kau bahkan tertawa ketika mengingatnya.
Maukah kau memelukku barang tiga menit saja, diantara penuh sesak orang-orang dalam peron?
diantara jeda waktu yang diberikan kereta itu kepada kita sebelum akhirnya mengangkutmu pergi dalam sebuah perjalanan yang panjang? maukah?
maukah kau mendengarkan bunyi detak yang aku sendiri tak mengenalnya.
Detak yang berirama sedih sambil membisikkan, "Jangan pernah mencintaiku karena alasan apa pun. Kecuali satu, karena kau mencintai caraku mencintaimu.. cukup itu"
Saat tiga menitku habis, pergilah. Tiga menit yang menjadi satu dari sekian cara sederhanaku mencintaimu..
Aku tahu, suara berikutnya adalah bunyi dimana tanda keberangkatanmu sudah ditentukan.
Dan bunyi selanjutnya hanyalah laju mesin-mesin kereta yang beradu padu dengan besi-besi rel itu.
Bunyi orang-orang mengucap selamat jalan bahkan selamat tinggal.
Bunyi pedagang asongan di sepanjang peron, dan bunyi dari detak jantungku sendiri.
Selain bunyi-bunyian itu, bisa kupastikan tak ada bunyi lain yang akan kudengar,termasuk bunyi dari suaramu.
Bagimu mengucap selamat tinggal atau selamat jalan adalah hal pertama yang tak mau kau lakukan,
Dan menitikkan air mata adalah hal kedua yang sama sekali tak ingin kau lakukan saat menjelang kepergian dan perpisahan yang berjarak waktu berbulan-bulan atau mungkin bertahun-tahun, dan berjarak ratusan kilometer dari tempatku berdiri sekarang ini, sebuah peron. Tempat dimana kau masih berdiri mematung, bersandar di satu tiang, menatap satu per satu gerbong yang lewat, lalu baru berbalik menghadapku..
Memelukku tiga menit saja, apa kau mau?
Mendengar detak yang sungguh mengganggu, dan meredamnya biar aku lalu bisa berkonsentrasi mendengar apa-apa yang keluar dari mulutmu.
Aku bisa saja berteriak, menendang tempat sampah, membanting handphone yang nanti akan menjadi satu-satunya sahabat yang bisa menghubungkanmu denganku sewaktu-waktu, menendang tiang yang justru jadi tempatmu bersandar bukannya aku, atau menepis botol-botol air minum dan kaleng-kaleng minuman yang dijajakan di hadapanku, aku mampu melakukannya demi meredam perasaan tak nyaman.
Aku orang yang keras, susah ditaklukkan, dan benar-benar sulit untuk dikendalikan.
Tapi kau tidak keberatan kan?
Aku biasa datang ke arahmu tanpa tahu kau sudah lama menunggu.
Aku tak pernah tepat waktu, aku sering lupa pada janji-janji kecil yang kuucapkan sebelumnya.
Aku bangun-tidur semauku, dan tak pernah kujadwalkan tiap jam berapa dan tiap hari apa aku harus menemuimu,
Aku akan mencium keningmu tanpa menanyaimu terlebih dulu apakah kau mau atau tidak.
Aku selalu begitu... tapi kau tak marah kan? Kau bahkan tertawa ketika mengingatnya.
Maukah kau memelukku barang tiga menit saja, diantara penuh sesak orang-orang dalam peron?
diantara jeda waktu yang diberikan kereta itu kepada kita sebelum akhirnya mengangkutmu pergi dalam sebuah perjalanan yang panjang? maukah?
maukah kau mendengarkan bunyi detak yang aku sendiri tak mengenalnya.
Detak yang berirama sedih sambil membisikkan, "Jangan pernah mencintaiku karena alasan apa pun. Kecuali satu, karena kau mencintai caraku mencintaimu.. cukup itu"
Saat tiga menitku habis, pergilah. Tiga menit yang menjadi satu dari sekian cara sederhanaku mencintaimu..
:)
BalasHapus